CATATAN TENTANG KOMPETISI INTERNASIONAL 1
Merayakan Marjinalitas Bersama Quame Nyantakyi
“Apakah hidup itu indah?”
Pertanyaan filosofis itu dilontarkan oleh Quame Nyantakyi kepada terapisnya di salah satu sesi terapi rutin yang dijalaninya. Terapis perempuan yang sebenarnya terkesan tidak terlalu peduli pada Quame itu hanya menanggapi sekenanya. “Ya. Menurutku, hidup itu indah dan menggairahkan.” jawabnya singkat. Beberapa menit kemudian, terapis perempuan itu kehilangan kesabarannya terhadap Quame, yang dianggapnya tak peduli dengan terapi yang dijalaninya dan mengusirnya keluar. Adegan tersebut merupakan salah satu cuplikan dari filem “The Fly Misery of Quame Nyantakyi”, filem yang harus saya tonton dan pahami untuk tugas peliputan hari itu.
Suasana di GoetheHaus, Goethe-Institut Jakarta siang itu cukup sepi. Hanya ada beberapa pengunjung atau siswa yang berlalu lalang di sekitar gedung. Saya datang terlalu cepat untuk tugas peliputan hari ini. Padahal, jam telah menunjukkan waktu 12.15. Hari itu, Jumat, 10 Agustus 2018, merupakan hari penayangan perdana Kompetisi Internasional 1 sebagai salah satu program dari ARKIPEL homoludens – 6th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival 2018. Sekitar pukul 13.40, penayangan filem dibuka oleh Otty Widasari, selaku selektor filem, dengan menjelaskan sedikit banyak tentang filem dengan ber-Bahasa Inggris. Mau tidak mau harus ber-Bahasa Inggris, karena jumlah pengunjung mulanya hanyalah 3 orang — saya, seorang laki-laki dan Isabelle Vander Stockt (tim distribusi salah satu filem Kompetisi Internasional ARKIPEL homoludens dari Belgia). Di sela-sela penayangan, Sonal Jain, yang juga menjadi salah satu curator pada ARKIPEL homoludens, dan sekitar 2 orang pengunjung lainnya ikut duduk di kursi penonton.
Filem yang disutradarai Jan Willem van Dam ini, mengisahkan tentang Quame Nyantakyi, seorang pasien psikiatrik dan mantan kriminal, yang direhabilitasi oleh ID-Care, sebuah program perlindungan saksi, dengan tujuan mengembalikan Quame ke lingkungan masyarakatnya kembali. Selain disibukkan dengan kegiatan rutin bersama para terapisnya, Quame juga disarankan untuk ikut andil sebagai aktor dalam sebuah produksi filem fiksi bertema kejahatan pembunuhan.
Secara garis besar, filem berdurasi 120 menit ini memang berusaha memperlihatkan bagaimana Quame, dengan segala bagasi masalah, kebudayaan dan penyakit yang dideritanya, bisa bertahan di dalam lingkungan filem yang bersifat fiksi. Tak hanya hidup sebagai penderita penyakit kejiwaan dan mantan kriminal saja, status Quame juga semakin marjinal dengan fakta bahwa ia termasuk kelompok homoseksual dan lahir dari bangsa bekas jajahan negara yang mengurusinya. Dalam filem ini, kita diajak untuk menyelami kepribadian dan pengalaman hidup Quame, yang sekilas terlihat sebagai orang yang baik-baik saja, namun sebenarnya sangat pemikir dan terkadang cenderung nihilistik. Begitu banyak pertanyaan maupun pemikiran menggelitik dari Quame yang dapat membuat penonton tersentak dan mengevaluasi ulang kehidupan yang dijalaninya. Jan Willem van Dam mengaburkan realitas dengan fiksi di dalam filem ini. Saya sempat kebingungan membedakan antara adegan filem yang fiksi dengan yang nyata. Hal ini juga diamini oleh Ryan, salah satu penonton yang setia menonton filem sampai habis. Namun baginya, proses pengaburan itu justru membuat filem ini semakin menarik.
Para terapis, psikolog dan psikiater yang mengurusi Quame bisa dibilang menjadi representasi bagi negara yang antagonistik terhadap kelompok marjinal seperti Quame. Perlakuan tidak menyenangkan yang diterima Quame, mulai dari memaksa memanggil nama Quame sebagai Freddy Inderson, mengelompokkan Quame sebagai makhluk primata, hingga pada sesi terapi yang tidak berempati dengan kondisi Quame. Apa gunanya membantu tanpa adanya ketulusan? Betapa isu political correctness menjadi sebuah kewajiban kosong yang tak dapat dinilai lagi maknanya. Pada akhirnya, keputusan suntik mati atau eutanasia, yang sering dipertimbangkan untuk menjadi jalan akhir hidup Quame, pada dasarnya bisa menjadi pilihan yang justru subversif dari Quame.
Notes on International Competition 1
Celebrating Marginality with Quame Nyantakyi
“Is life beautiful?”
That philosophical question was raised by Quame Nyantakyi to his therapist during one of his regular therapy session. The therapist who seemed to be indifferent only responded to Quame’s question casually. “Yes. In my opinion, life is beautiful and exciting,” She answered briefly. A few minutes later, the therapist lost her patience with Quame, who she thought did not care about the therapy and drove him out. This is one of the scenes from the film The Fly Misery of Quame Nyantakyi, a film that I have to watch and understand for that day’s reporting tasks.
The atmosphere at GoetheHaus, Goethe-Institut Indonesien, Jakarta, that afternoon was rather quiet. There are only a few visitors or students passing by around the building. I came too fast for today’s reporting assignment. In fact, the clock was showing 12.15. That day, Friday, August 10, 2018, was the premiere of the International Competition 1 as one of the programs of ARKIPEL homoludens – 6th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival 2018. Around 13.40, the film screening was opened by Otty Widasari, as the film selector, by explaining a bit about the film in English. Inevitably it must be in English, because the number of visitors was initially only 3 people – me, a guy and Isabelle Vander Stockt (the distribution team of one of the ARKIPEL homoludens International Competition films from Belgium). In the middle of screening, Sonal Jain who was also one of the curators at ARKIPEL homoludens, and about 2 other visitors sat in the audience seats.
The film, directed by Jan Willem van Dam, tells the story of Quame Nyantakyi, a psychotic patient and former criminal, who was rehabilitated by ID-Care, a witness protection program, with the aim of returning Quame to the society. Besides being preoccupied with routine activities with his therapists, Quame was also advised to take part as an actor in the production of fictional films with the theme of murder crimes.
Therapists, psychologists and psychiatrists in charge of Quame are arguably a representation of an antagonistic country towards marginal groups such as Quame. The unpleasant treatment received by Quame, ranging from force-naming Quame as Freddy Inderson, classifying Quame as a primate, to the therapy session that did not empathize with Quame’s condition. What’s the point of helping without sincerity? It appears that the issue of political correctness has become a banal obligation with no meaning in it. In the end, the decision to die with euthanasia, which is often considered as Quame’s endline, can actually be considered as Quame’s subversive decision.