catatan tentang kompetisi internasional 8
Eksplorasi Medium dan Pesimisme Masa Depan dalam Kompetisi Internasional 8
Dalam filem-filem ARKIPEL homoludens – 6th Jakarta International Experimental and Documenter Film Festival, gagasan Homo ludens tidak hanya direpresentasikan melalui narasi-narasi filem yang ditayangkannya, namun juga melalui pemanfaatan medium dalam mengolah narasi tersebut. Posisi ini cukup direpresentasikan dalam Kompetisi Internasional 8: Ludic dan Eksperimentasi yang ditayangkan pada hari Minggu, 12 Agustus 2018, di GoetheHaus, Goethe-Institut Indonesien, Jakarta. Program dimulai pukul 13.00, didampingi oleh penyaji program Afrian Purnama.
Dua filem yang ditayangkan dalam sesi tersebut adalah Tremor karya Annik Leroy, dan A Room with a Coconut View karya Tulapop Saenjaroen. Sulit untuk membayangkan bahwa kedua karya ini dapat terhubung dalam satu kubah program. Tremor menunjukkan sebentuk teror yang seolah selalu hadir sepanjang sejarah Eropa, melalui dualisme visual yang menarik: berbagai lanskap alam dihadapkan dengan berbagai kondisi peradaban di Eropa, dan narasi dari empat penyintas tragedi-tragedi peradaban di sana. Ditampilkan dalam hitam-putih, trauma yang diungkapkan terasa semakin intens. Sesekali, visual dan suara beralih kepada permainan piano yang penuh kegelisahan dan menegangkan. Melalui gaya penceritaan yang tak konvensional, dramatika terbangun dengan baik melalui permainan elemen audiovisual tersebut. Namun, memang agak sulit untuk mencerna gagasan yang padat seputar sejarah, peradaban, dan hakikat manusia itu sendiri—apalagi dengan tempo visual yang lumayan lambat.
Atmosfer di antara 11 penonton berubah 180 derajat di filem kedua, A Room with A Coconut View. Filem tersebut diawali dengan percakapan antara pegawai sebuah hotel di kota turis Bangsaen, Tanya, dan seorang turis Inggris, Alex. Percakapan tersebut direpresentasikan melalui suara perempuan dan laki-laki yang diproduksi secara digital, namun secara visual pertukaran tersebut berupa gambar-gambar yang muncul sesuai dengan konteks pembicaraan mereka. Sekilas timbul kesan bahwa dua entitas ini bukanlah manusia, melainkan kesadaran artifisial yang mengambil data dari mesin pencari internet. Tentu hal ini menimbulkan pertanyaan baru atas keadaan manusia saat ini: jika interaksi kita hari ini telah termediasi sedemikian rupa melalui gambar dan video dari internet, bahkan juga emoji, bukankah kita sama saja dengan Tanya dan Alex?
Sayang sekali para pembuat filem tidak menghadiri penayangan, karena kedua filem menimbulkan cukup banyak pertanyaan dalam diri saya, terutama filem kedua, yang dalam satu adegan menghadirkan berbagai campuran gambar abstrak yang cukup membingungkan. Di penghujung filem A Room with A Coconut View, Alex mengajak kita merenungkan di mana posisi kita pada saat ini, dan betapa konsep waktu menjadi baur dalam era teknologi.
Tremor dan A Room with A Cococnut View mendemonstrasikan betapa luwesnya medium filem dalam mengungkapkan gagasan-gagasan pembuatnya. Eksplorasi visual mencapai titik lempar terjauhnya dalam kedua filem tersebut. Selain dari segi medium, saya rasa kedua filem tersebut menyimpan sedikit pesimisme akan masa depan dalam narasinya, meskipun diungkapkan dengan cara yang sangat bertolak belakang.
notes on international competition 8
Exploring Medium and Pessimism of the Future on the International Competition 8
In the films screened in ARKIPEL homoludens – 6th Jakarta International Experimental and Documenter Film Festival, the notion of Homo ludens is not only represented through the narrative, but also the usage of medium in processing that narrative. This standpoint is represented in International Competition 8: Ludic and Experimentation, screened on Sunday, August 12, 2018 in GoetheHaus, Goethe-Institut Indonesien, Jakarta. This program was started at 01.00 PM, opened by Afrian Purnama.
The two films in the session are Tremor by Annik Leroy and A Room with A Coconut View by Tulapop Saenjaroen. It is difficult to imagine that these two works can be connected under the same program. Tremor depicts a form of terror that had always been present throughout European history, through an interesting visual dualism: natural landscape and European civilization, narrated by four survivals of those historical tragedies. Visualized in black and white, the trauma they told becomes more intense. Sometimes, those narratives switched into an anxious, tenseful piano performance. Through the unconventional storytelling, the dramatic of the story accelerated well through the play of those audiovisual elements. But, it is still hard to absorb a heavy notion of history, civilization, and the essence of humanity itself—let alone with a slow visual tempo.
The atmosphere among the 11 audiences completely changed upon the next film, A Room with A Coconut View. The film was opened with a conversation between a hotel employee in Bangsaen tourist town, Tanya, and an England tourist, Alex. The conversation was represented through a digitally produced voice of a man and woman, but it also happened in a visual exchange through images appearing according to the context of their conversation. It evokes an impression that these two entities were not human, but artificial intelligences that collected their data from the internet’s search engine. This gives rise to another question on the condition of human today: if our interactions were mediated through images and videos from the internet, sometimes even emojis, does that make us the same with Tanya and Alex?
Unfortunately, the filmmakers did not attend the screening. Both of the films raised many questions from me, especially the second one, in which one of the scenes presented a mix of abstract pictures that confused me. At the end of A Room with A Coconut View, Alex took us to reflect on where we are now, and how the concept of time gets blurry in the era of technology.
Tremor and A Room with A Coconut View demonstrated the flexibility of medium to express the ideas from the filmmakers. The visual exploration reaches its farthest point on those two films. Apart from the medium, I think they hold certain pessimism for the future in its narration, even though it was expressed in different ways.