CATATAN TENTANG KOMPETISI INTERNASIONAL 4
Kekuatan Bahasa dalam Sinema
Saya percaya dengan kekuatan bahasa. Saya percaya dengan kekuatan kata-kata. Dalam pandangan subjektif saya, kata-kata dapat merubah sejarah, kata-kata dapat menjadi alat perjuangan baik negara maupun kelompok tertentu untuk merdeka. Lihat bagaimana Martin Luther King Jr. menggunakan kata-kata dalam perannya sebagai pemimpin gerakan hak sipil tahun 1954 di Amerika. Lihat bagaimana di negeri kita sendiri, pidato-pidato Soekarno dapat membangkitkan rasa nasionalisme. Ya, walaupun harus diakui, di sisi lain kata-kata pula yang membantu penguasa-penguasa politik melanggengkan kekuasaan tiraninya. Oleh karena itu, dengan tema ‘Bahasa yang Semakin Intim’, program Kompetisi Internasional 4 ini membuat saya penasaran akan bagaimana bahasa akan ditampilkan dalam produksi gambar.
Pemutaran program Kompetisi Internasional 04 dimulai pukul 16.30 di Kineforum, hanya saja Abi Rama selaku perwakilan selektor dalam program ini berhalangan hadir. Jika boleh mengutip tulisan Abi Rama di buku katalog ARKIPEL homoludens (2018), sinema di sini berusaha menawarkan berbagai kemungkinan baru dalam melihat suatu peristiwa dan menjadi sebuah kontruksi realitas yang baru. Ini terlihat dari dua filem yang ditayangkan yaitu ‘The Night between Ali and I’ karya Nadia Hotait serta Laila Hotait dan ‘La Buona Novella’ (Good Tidings) karya Sebastiano Luca Insinga. Kedua filem tersebut sudah pernah diputar sebelumnya pada tanggal 9 Agustus 2018 sebagai bagian dari rangkaian filem pembuka ARKIPEL.
Filem pertama, ‘The Night between Ali and I’, bercerita tentang perampokan Bank of America di Beirut oleh empat pemuda dari Gerakan Revolusioner Sosialis Lebanon tahun 1973 dengan berfokus pada salah satu tokoh yaitu Ali Cheaib. Kejadian ini sendiri dikenal dengan operasi Bank of America yang bertujuan untuk meminta uang sejumlah 10 juta dolar. Uang ini nanti akan digunakan untuk pembebasan tahanan Palestina dan membiayai perang Arab melawan Israel. Filem ini berusaha merekontruksi kembali apa yang terjadi pada saat itu dengan narasi-narasi yang dibangun oleh penuturan narasumber. Narasi dalam filem ini berhasil membuat saya tidak bisa mengalihkan pandangan dari layar. Kekuatan dari narasinya membantu penonton untuk berimajinasi dari potongan-potongan visual yang disajikan. Walau mungkin secara visual ada referensi-referensi yang tidak bisa saya pahami karena perbedaan spasial ruang dan waktu.
Filem kedua, ‘La Buona Novella (Good Tidings)’ memperlihatkan sebuah kapal kecil, Bochra, yang terdampar di Pantai Sisilia di Laut Mediterania. Filem ini berpusat pada interaksi Bochra dengan pengunjung pantai dan waktu yang terus berganti dari pagi hingga malam. Terselip pula kata-kata seperti ‘Awakening’, ‘Arrival’, ‘Mirage’, dan lain-lain tanpa ada penjelasan lebih, seakan membebaskan penonton untuk masing-masing memaknai sendiri arti kata tersebut. Hanya di akhir filem baru ada narasi yang memberikan konteks bahwa Bochra adalah kapal yang membawa 130 pencari suaka dari Afrika ke Eropa. Damar, salah satu penonton dari ITB, berpendapat bahwa filem ini memperlihatkan sebuah relasi yang menarik antara kapal yang diam yang kemudian menjadi eksotisme sendiri bagi orang yang lewat di pantai.
Memang jika kita lihat, dalam filem terjadi perubahan makna dari Bochra. Bagi 130 imigran, atau mungkin bisa kita sebut sebagai pencari suaka, kapal tersebut adalah juru selamat dan kesempatan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik sebagaimana memang seharusnya. Walau harus terombang-ambing di laut dan tanpa kepastian apakah mereka akan sampai dengan selamat atau tidak. Kita ketahui bahwa pencari suaka adalah mereka yang ‘terpaksa’ meninggalkan negara asalnya karena ancaman persekusi. Misalnya negara-negara yang sedang mengalami peperangan seperti Suriah. Menurut data UNHCR, di tahun 2015 terdapat 1,2 juta pengungsi yang masuk ke wilayah Eropa dan menjadi suatu dilema sendiri. Pergeseran makna terjadi di sini ketika pengunjung-pengunjung pantai menjadikan Bochra sebagai objek foto yang di kemudian hari akan menghiasi media sosial mereka. Relasi ini menciptakan realita dan sejarah baru bagi Bochra itu sendiri.
NOTES ON INTERNATIONAL COMPETITION 4
The Power of Language in Cinema
I believe in the power of language. I believe in the power of words. In my subjective view, words could change history, words could become instruments of struggle for either country and specific groups as they fight for independence. See how Martin Luther King Jr. used words in his role as leader of the civil rights movement in 1954 in America. See how in our own country, Sukarno’s speech can evoke a sense of nationalism. Even so, it must be admitted that words can also help political authorities perpetuate their tyrannical power. Therefore, with ‘Language at Intimate View’ as the theme, International Competition 04 makes me curious about how language will be displayed in image production.
The screening of International Competition 04 began at 16.30 at Kineforum, however, Abi Rama as the selector host was unable to attend this screening. If I can quote Abi Rama’s writing in the catalogue book of ARKIPEL homoludens (2018), cinema here tries to offer new possibilities in seeing an event and becoming a new construction of reality. This can be seen from the two films screened, The Night between Ali and I by Nadia Hotait and Laila Hotait and La Buona Novella (Good Tidings) by Sebastiano Luca Insinga. Both films have been screened before on August 9, 2018, as part of ARKIPEL’s opening film.
The first film, The Night between Ali and I, tell a story about the robbery that happened in Bank of America in Beirut by four young men from the Lebanese Socialist Revolutionary Movement in 1973. By focusing on one of the figures, Ali Cheaib. This incident itself is known as the Bank of America operation which aim is to ask for 10 million dollars money. This money would later be used to release Palestinian prisoners and finance the Arab war against Israel. This film tries to reconstruct what happened at that time with the narratives built by the interviewees. The narration in this film makes me unable to take my eyes off the screen. The power of the narrative helps the audience to imagine from the visual pieces presented. Although there may be visual references that I cannot understand due to spatial differences in time and space.
The second film, La Buona Novella (Good Tidings) displays a small ship, Bochra, stranded on the Sicilian Coast in the Mediterranean Sea. This film centred on Bochra’s interaction with the beach visitors and the time that changes from morning to night. There were also words like ‘Awakening’, ‘Arrival’, ‘Mirage’, and others without any more explanation as if freeing the audience to interpret with their meaning. Only at the end of the film, there is a narrative that provides context about Bochra as that ship carrying 130 asylum seekers from Africa to Europe. Damar, one of the audiences from ITB, stated that this film showed an interesting relationship between a silent ship which later became its own exoticism for people passing on the beach.
Indeed, if we see, in the film there is a change of meaning from Bochra. For 130 immigrants, or maybe we can call them as asylum seekers, the ship is a savior and an opportunity to get a better life as how it should be. Even though they have to be swayed in the sea and without certainty whether they will arrive safely or not. We know that asylum seekers are those who are ‘forced’ to leave their home countries because of the threat of persecution. For example, countries that are experiencing war like Syria. According to UNHCR data, in 2015 there were 1.2 million refugees who entered Europe and became a dilemma for Europe itself. The shift on its meaning occurs here when the beach visitors made Bochra as their photo object that and they would upload it later to social media. This relationship creates a new reality and history for Bochra itself.