Catatan Malam Penghargaan ARKIPEL homoludens
Jejak Pertemuan-Pertemuan Antar Manusia
ARKIPEL Homoludens: 6th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival telah mencapai puncak acaranya pada Kamis, 16 Agustus 2018 di GoetheHaus, Goethe Institut Indonesien, Menteng, Jakarta Pusat. Acara penutupan sekaligus pemberian penghargaan ini dilaksanakan pukul 19.00 WIB yang akan dilanjutkan dengan pesta kebun pukul 21.00 WIB.
Yuki Aditya selaku Direktur ARKIPEL memberikan sambutan dan menyatakan bahwa dari sekitar seribu empat ratus filem yang masuk dan diseleksi oleh tim selektor, terdapat 21 filem yang lolos untuk ditampilkan dalam delapan program Kompetisi Internasional dan 6 filem dalam satu program khusus filem Indonesia bernama Candrawala. Pada akhirmya, dari puluhan filem tersebut, terdapat lima filem yang mendapat penghargaan, masing-masing pada kategori Peransi Award, Jury Award, Forum Lenteng Award, dan ARKIPEL Award.
Dalam Peransi Award, hal yang menjadi titik tolak dan pertimbangan para juri adalah filem-filem yang dibuat oleh mereka yang berusia di bawah 31 tahun dan mendalami medium-medium unik dalam konteks kehidupan sosial. Penghargaan yang diilhami dari sosok D.A. Peransi ini jatuh kepada filem De Madrugada karya Ines de Lima Torres dari Portugal, yang terdapat diputar dalam Kompetisi Internasional 2.
Selanjutnya, Jury Award adalah penghargaan yang diberikan kepada filem-filem yang memiliki keunikan bahasa ungkap, serta mendalami sisi eksperimentasi dan sosial seni dengan berani. Adapun terdapat dua filem yang memenangkan penghargaan ini, yakni Open Skylight karya Srdan Vukajlovic dari Serbia dan filem A Room with a Coconut View karya Tulapop Saenjaroen dari Thailand.
Penghargaan ketiga merupakan Forum Lenteng Award yang merupakan penghargaan bagi filem yang menjadi pilihan para anggota Forum Lenteng, komunitas seni yang melaksanakan dan membesarkan ARKIPEL. Anggota Forum Lenteng memilih filem Rimba Kini karya Wisnu Dewa Broto dari Indonesia yang masuk pada program Candrawala, yang mampu bereksperimen dengan tegangan antara subjek dan objek, serta ingin mengumandangkan konstruksi penciptaan dalam konstruksi yang naratif dalam sinemanya.
Selanjutnya adalah ARKIPEL Award, yang jatuh kepada filem The Fly Misery of Quame Nyantakyi karya Jan Willem van Dam dari Belanda. Pertimbangan dan penilaian keempat juri terhadap filem ini adalah karena adanya nilai artistik yang tinggi dalam menggambarkan kemanusiaan dalam relung gelapnya, keberanian menubuh pada subjektivitas. Filem ini dianggap mampu membawa penonton kepada sebuah perjalanan spiritual sekaligus bermain-main pada manuver realitas.
Dalam kesempatan ini pula, Hafiz Rancajale selaku Direktur Artistik ARKIPEL mengaku tidak akan menyangka bahwa filem-filem yang masuk ke ARKIPEL akan jauh dari kesan humor dan bermain-main seperti yang dibayangkannya sebelum proses seleksi tiba. Namun ia juga senang dengan banyaknya filem berunsur sarkasme, yang menggambarkan manusia yang hidup di era sekarang. Ia mengatakan ada banyak potensi yang terlihat dari filem-filem yang diputar di ARKIPEL, salah satunya adalah filem Rimba Kini yang baginya seharusnya masuk dalam Kompetisi Internasional.
Setelah para juri meninggalkan panggung dan lampu tempat pemutaran dipadamkan, kedua filem hasil pilihan Jury Award-pun dimulai. Kedua filem yang ditayangkan yaitu A Room with A Coconut View (2018) karya Tulapop Seanjaroen dari Thailand dan Open Skylight (2018) karya Srdjan Vukajlovic dari Serbia.
A Room with a Coconut View menceritakan tentang Alex yang merupakan seorang turis yang sedang mengunjungi pantai di Thailand, dan Kanya yang merupakan resepsionis di hotel Alex, dan Tessa yang merupakan sebuah entitas tak dikenal yang mengikuti dan mengamati Alex selama liburannya. Filem ini menggunakan media digital selama keseluruhan filem, bahkan ketiga tokoh dalam filem mempunyai suara robot yang berbeda. A Room with A Coconut View mengkritik penggunaan AI (Artificial Intellegence) yang dianggap lebih unggul dibanding manusia, padahal sebenarnya keunggulan mereka adalah sesuatu yang terprogram.
Jika A Room with a Coconut View berbasis digital, maka Open Skylight adalah kebalikannya. Dengan judul asli Svetlarnik, filem ini menujukkan sesuatu yang belum bisa diciptakan AI atau entitas robotik lainnya, yaitu kelahiran dan pertumbuhan dengan berfokus kepada sebuah keluarga merpati yang tinggal di jendela perumahan bertingkat. Walaupun hidup di tempat yang terbuka, keintiman dan kehidupan mereka tidak terganggu oleh orang-orang yang tinggal di sekitar mereka.
Seusai acara penutupan dalam auditorium, para panitia, volunteer, kurator, sutradara filem hingga pengunjung tumpah ruah memadati area terbuka GoetheHaus untuk acara pesta sederhana yang hampir tak pernah absen menjadi penutup rangkaian acara ARKIPEL. Sang DJ dengan khusyuk memainkan musik di sudut pelataran. Sementara itu, minuman serta makanan ringan menjadi teman pesta kami malam itu. Layaknya tiap acara yang telah mencapai puncaknya, selepas ARKIPEL tahun ini tentu menyisakan beberapa kesan dan pesan dari para panitia inti, kurator hingga volunteer. Jadi, bagaimana dengan pelaksanaan ARKIPEL tahun ini?
Bagi Merv Espina, kurator untuk filem Kidlat Tahimik yang menjadi program unggulan ARKIPEL tahun ini, kunjungan keduanya di ARKIPEL kali ini cukup menyenangkan. Sejak kehadirannya pertama kali di acara ARKIPEL pada tahun 2015, ia mengaku selalu menyukai filem-filem yang terseleksi dan keragaman mata acara di ARKIPEL. Dibandingkan pada tahun 2015, Merv juga memuji keputusan panitia untuk menghadirkan ruang pemutaran filem yang terpusat di 2 tempat yang saling berdekatan; GoetheHaus dan Kineforum. “Saya lebih suka lokasi yang seperti ini. Jauh lebih terasa intim.” pujinya sambil tersenyum.
Mengomentari tema ARKIPEL tahun ini, homoludens, ia merasa tema yang diangkat memang sangat monumental dan menganggap bahwa esensi dari bermain itu sendiri sama saja dengan upaya eksperimentasi di dalam filem atau seni secara keseluruhan. Baginya, bermain-main bermakna membebaskan diri dan tak terlalu terpaku dengan aturan yang ada. Ketika ditanya kritik dan saran yang dapat ia berikan untuk ARKIPEL di tahun depan, ia tanpa sungkan langsung bercerita soal sultinya menemukan vegetarian untuknya di ARKIPEL maupun di Jakarta. Lebih serius lagi, Merv berharap bahwa festival ARKIPEL dapat berekspansi dan mengepakkan sayapnya ke daerah-daerah yang lebih luas selain Jakarta. Ia juga meminta agar ARKIPEL dapat terus berjejaring dan berdialog dengan komunitas-komunitas seni di luar Jakarta.
Gita, salah satu volunteer yang bertugas di Forum Festival, mengaku sedih ketika menyadari ARKIPEL telah mencapai puncak acaranya. Menjadi volunteer di ARKIPEL untuk pertama kalinya, Gita mengaku banyak hal yang bisa ia pelajari dan dapatkan selama mengikuti rangkaian acara. Selain teman baru, ia juga bisa memenuhi kegemarannya menonton filem. Satu-satunya masalah yang ia temui selama kepanitiaan, hanyalah fakta bahwa ia tak bisa selalu menonton semua filem yang ditayangkan. Selain itu, Nabila dan Pasha, dua volunteer tahun ini yang juga pernah menjadi volunteer ARKIPEL di tahun-tahun sebelumnya, sepakat bahwa ada kenaikan jumlah pengunjung yang cukup baik di tahun ini.
Pasha, yang bertugas di Toko Store, juga mengaku bahwa varian merchandise yang diminati pengunjung tahun ini cukup beragam. Mulai dari katalog hingga kaus panitia tahun ini yang ternyata jadi incaran banyak pengunjung. “Bahkan ada pengunjung yang sampai ninggalin nomor handphone biar dikasih tahu soal pre-order kaus panitia-nya.” jelas Pasha.
Dalam festival filem, ada satu posisi yang memiliki peran penting – selain panitia, kurator, dan pembuat filem – yaitu pengunjung festival. Eksistensi dari ARKIPEL setiap tahunnya tidak akan lengkap tanpa pengunjung yang setia datang untuk mengikuti program yang ada. Newsroom ARKIPEL berkesempatan untuk mewawancari beberapa pengunjung yang hadir pada malam penutupan ARKIPEL homoludens. Daris, dari Bobobobo, mengatakan bahwa sudah mengetahui ARKIPEL sejak lama tetapi baru berkesempatan untuk menonton tahun 2017 dan tahun ini. Tema tahun ini lebih menarik dibanding tahun lalu karena, secara pribadi, lebih tertarik terhadap manusia dan makhluk hidup. Filem kesukaan selama pemutaran adalah Open Skylight karya Srdjan Vukajlovic yang juga mendapat Jury Award tahun ini.
Mengenai tema ARKIPEL, Ali Satri Efendi dari Infoscreening mengungkapkan bahwa tiap tahun tema dari ARKIPEL selalu mengejutkan. Tema tahun ini manusia yang bermain dianggap sangat cocok dengan ARKIPEL yang menayangkan filem-filem eksperimental. ARKIPEL dilihat sebagai festival paling konsisten di bidang festival filem eksperimental dan dokumenter. Kekurangan tahun ini ia lihat hanya pada promosinya terlihat kurang dibanding tahun lalu.
Hal senada juga diungkapkan oleh Geri, seorang mahasiswa dari Bandung, yang baru pertama kali ini datang ke festival filem eksperimental yang ternyata berbeda tetapi tetap menyenangkan. Saran bagi ARKIPEL adalah untuk meningkatkan promosinya agar mereka yang tidak mengerti bisa tertarik untuk mengerti. Luna Hapsari, pekerja freelance, mengapresiasi eksistensi ARKIPEL yang tetap hidup dari tahun ke tahun dan masih mempertahankan nilai-nilai dan filosofinya sejak pertama kali ada.
Layaknya sebuah oase dimana banyak makhluk berkumpul untuk melepaskan dahaga dan saling berinteraksi, sebuah festival juga menawarkan tempat untuk setiap insan yang terlibat di dalamnya untuk saling bertemu, bertukar pikiran dan juga saling memperkaya wawasan. Pertemuan banyak orang dari berbagai latar belakang kebudayaan di dalamnya, juga dapat memberikan kita wawasan tentang latar belakang kebudayan-kebudayan lain di luar diri kita.
Tidak hanya berhenti pada kondisi untuk saling mengenal, festival juga menawarkan tempat bagi yang terlibat di dalamnya untuk melontarkan gagasan-gagasan yang termanifestasikan ke dalam bentuk karya, baik itu dalam bentuk musik, sinema maupun dalam bentuk lainnya. Gagasan-gagasan yang tercermin di dalam karya itu pada akhirnya saling berinteraksi di antara kerumunan manusia yang berjejalan di dalam sebuah festival, gagasan-gagasan itu akan mengalir, saling bertemu, saling beradu, dan mungkin akan menemukan bentuknya yang baru.
Festival dalam beragam bentuk dan gagasan yang melatar belakangi kehadirannya di antara ritme kehidupan manusia, pada akhirnya juga menjadi salah satu media refleksi atas kehidupan manusia itu sendiri. Darinya jugalah kita dapat membaca apa yang telah terjadi di masa lampau, melihat apa yang terjadi saat ini dan mungkin juga “memprediksikan” masa depan. Semoga ARKIPEL akan terus ada dan terus mengisi relung-relung kehidupan serta menjadi media bagi setiap insan untuk berdialektika dengan dirinya sendiri maupun dengan lingkungannya.
Notes from The Awarding Night of ARKIPEL homoludens
Traces of Humans Encounter
ARKIPEL homoludens: 6th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival has reached its peak on Thursday, August 16, 2018 in GoetheHaus, Goethe Institut Indonesien, Menteng, Central Jakarta. The closing ceremony, also the awarding night, was started at 07.00 PM, followed by a garden party on 09.00 PM.
Yuki Aditya as the Director of ARKIPEL gave his opening speech, stating that out of more than a thousand films that were selected by the team, 21 films qualified to be screened in eight International Competition programs, and 6 films in a special Indonesian program titled Candrawala. At the end, from thousands of films, five films were awarded for the Peransi Award, Jury Award, Forum Lenteng Award, and ARKIPEL Award.
In Peransi Award, the jury’s consideration was centered on films made by directors under 31 years old, focusing on unique mediums in the context of social life. This award inspired by David Albert Peransi was given to De Madrugada by Ines de Lima Torres from Portugal, which was screened in the International Competition 2.
Next, the Jury Award was given to the films that spoke in a unique cinematic language, while experimenting in a bold way in the social and artistic aspects of the film. Two films that won this award was Open Skylight by Srdan Vukajlovic from Serbia, and A Room with a Coconut View by Tulapop Soenjaroen from Thailand.
The third award was the Forum Lenteng Award, awarded to the films chosen by members of Forum Lenteng, an arts community that organized and raised ARKIPEL. They had chosen Rimba Kini by Wisnu Dewa Broto from Indonesia, from the Candrawala program, which was deemed capable to experiment with the tension between subject and object, while proclaiming a creation of construction within its cinematic narrative.
The next award was ARKIPEL Award, awarded to The Fly Misery of Quame Nyantakyi by Jan Willem van Dam from Netherlands. The four judges considered its high artistic value in depicting humanity in its dark niche, when bravery is embodied in its subjectivity. This film was able to bring forth the audience on a spiritual journey, while playing within the maneuver of reality.
Upon this chance, Hafiz Rancajale as the Artistic Director of ARKIPEL admitted that he did not expect the films submitted to ARKIPEL will be far from humor and playfulness. But, he was also glad with the variety of films embodying sarcasm, depicting the life of the modern-day humans. He said that the films screened in ARKIPEL were very potential, one of them was Rimba Kini, which he thought should had been in the International Competition category.
After the juries had left the stage, and the stage light was turned off, two of the films that won Jury Award: A Room with A Coconut View and Open Skylight started playing. A Room with A Coconut View tells the story of Alex, a tourist visiting a beach in Thailand, and Kanya, a receptionist in Alex’s hotel, also Tessa, an unknown entity following and observing Alex throughout this vacation. This film uses digital media throughout the film even three of the characters had a different robotic voice. A Room with A Coconut View criticized the use of AI (Artifical Intelligence), which is always deemed more advance than human, when their advancement was programmed.
If A Room with A Coconut View were digital-based, then Open Skylight was the opposite. Originally titled Svetlarnik, this film showed something that is yet to be created by AI or other robotic entity, which is birth and growth, focusing on a family of pigeons living in the window of an apartment building. Even though they lived in an open space, intimacy in their lives is not disturbed by the people living around them.
After the closing ceremony in the auditorium, the committee, volunteer, curator, directors, and visitors filled the GoetheHaus’ open area for a small party, which had always become a part of the ARKIPEL closing night. The DJ solemnly played some music at the corner of the backyard, while food and drinks accompanied the party for the night. As every event that had reached its ending, this year’s ARKIPEL will leave some memories and impression from the committee, curators, and volunteers. So, how did this year’s ARKIPEL go?
For Merv Espina, the curator for the films of Kidlat Tahimik that becomes the highlight program in ARKIPEL this year, his second visit to ARKIPEL this time was exciting. Since his first visit to ARKIPEL in 2015, he admitted that he always loves the films selection and the diverse program in ARKIPEL. Compared to ARKIPEL 2015, Merv praised the decision of the committee to set up the venues in two nearby locations; GoetheHaus and Kineforum. “ I like this set up. It feels more intimate.” He said while smiling.
Commenting on ARKIPEL’s theme this year, homoludens, he thought that it is a very monumentel theme and the essence of playing is just equal to the attempt to experiment in film or art in general. For him, playing can be also interpret as liberating onself and not stucked on te existing rules. When he was aksed about advices and critics for ARKIPEL in the next year,with no hestiation he told me his difficulty in finding vegetarian food in ARKIPEL and in Jakarta. More serious, Merv expected that ARKIPEL coud expand further to other regions outside Jakarta. He wished that ARKIPEL will keep on building its network and having dialogue with art communities outside Jakarta.
Gita, one of volunteers in Forum Festival, ARKIPEL, admitted that she is sad to know that ARKIPEL this year has came to end. Being a volunteer in ARKIPEL for the first time, Gita said that she laerned many things during the event. Aside of new friends, she could also fulfill her hobby to watch films. The only obstacle for her during event, is the fact that she couldn’t always watch the films in ARKIPEL because she was on duty. Nabila and Pasha, two volunteers who have participated in ARKIPEL in its previous years, agreed that there have been some increase in the number of audience this year.
Pasha, who was responsible in Toko Store, also said that the audiences and visitors were interested into various merchandises of ARKIPEL. They eye on the many merchandises, starting from catalogue book up to the T-Shirt wore by the committee this year.” Even one of the visitor left a phone number for the update of our T-Shirt preorder.” Said Pasha.
Toko.Store at the garden party of ARKIPEL homoludensIn a film festival, one of the important positions – aside of committe, curators, filmmakers – is the festival audiences. The existence of ARKIPEL each year is incomplete without its loyal audiences who always come to its program. ARKIPEL Newsroom team get a chance to make some interviews to the audiences in the Closing Night of ARKIPEL homoludens. Daris, from Bobobobo, said that he has known ARKIPEL for some time but he just watched it starting from 2017 and this year. The theme for this year is more interesting thank last year because, personally, he is more interested to human and living creatures. His favorite film during the screening id Open Skylight from director Srdjan Vukajlovic who received the Jury Award this year.
Regarding the ARKIPEL’s theme this year, Ali Satri Efendi from Infoscreening revealed that there are always suprising themes from ARKIPEL. This year theme, bringing up notion about the playing human, is considered as very suitable for ARKIPEL that always screens experimental and films. ARKIPEL is perceived as the most consistant festival in the field of experimental and documentary cinema. The only lack for this year festival is only in its promotion which seems to be less than the years before.
Similar thing was also expressed by Geri, a student from Bandung, who came for the first time to experimental film festival, which is surprisingly different but also exciting. A suggestion for ARKIPEL is to increase its promotion so more people will understand this scene too. Luna Hapsari, a freelance worker, gave her appreciation to the existence of ARKIPEL from year to year and still holding up its values and philosophy since its very first existence.
Just like an oasis where many creatures gather to release thirst and interact with each other, a festival also offers a place for everyone involved to meet each other, exchange ideas and also enrich each other’s insights. The encounter with many people from various cultural backgrounds within a festival, can also give us insight into the background of other cultures outside ourselves.
Not only does it stop at knowing each other, a festival also offers a place for those involved in it to express ideas that are manifested in the form of works, whether in the form of music, cinema or other forms. The ideas reflected in such works eventually interact among the crowds of people in a festival, the ideas will flow, meet each other, having dialogue with one another, and may find a new form.
Festivals in its various forms and ideas that brought it up among the rhythms of human life eventually became one of the media for reflection on human life itself. Of course, we can also read what has happened in the past, seeing what is happening now, and maybe also predict the future. Hopefully, ARKIPEL will continue to exist and continue to fill the niches of life and become a media for every human being to interact with themselves and the environment.