Ambien Buy Cheap Buy Ambien Online Safely Buy Ambien Next Day Delivery Ambien Epocrates Online
 In Arkipel 2023 Noli Me Tangere, Festival Stories, Festival Updates, International Competition

Kompetisi Internasional 03: Sejarah dan Peran Sinema

ARKIPEL Noli Me Tangere – Festival Film Dokumenter dan Eksperimental Internasional Jakarta ke-10 kembali melanjutkan pemutaran filem kompetisi internasional pada hari Selasa, 26 September 2023. Kali ini, pemutaran bertajuk Fetisisme, Fasisme, dan Luka Sejarah dibuka oleh Otty Widasari, yang bertindak sebagai kurator sesi ini. Ia menyampaikan bagaimana filem pada masa lampau digunakan untuk membentuk persepsi akan masyarakat koloni oleh pihak kolonial. Di masa sekarang, filem tersebut digunakan kembali sebagai bentuk kritik terhadap praktik-praktik kolonialisme. Dalam sesi ini semua filem yang ditayangkan menggunakan arsip-arsip filem dan fotografi sebagai materi utama dalam proses pembuatan filem masing-masing.

Pemutaran dimulai dengan penayangan filem Broken View karya Federico Hannes Verhoustraete, yang sebelumnya telah diputar pada pembukaan ARKIPEL pada hari Minggu, 24 September 2023. Filem ini menunjukkan peran alat bernama “lentera ajaib”  atau filem yang digunakan sebagai aparatus politik di masa kolonialisme. Mulai dari pembentukan persepsi masyarakat koloni sebagai primitif dan eksotis, penggunaan filem dalam penyebaran agama Kristen, bahkan alat propaganda nasionalisme kepada masyarakat provinsi Belgia. Kritik akan praktik-praktik ini disuguhkan dalam filem melalui teknik visual yang indah dan menyihir. Tidak mengejutkan melihat sihir yang mempesona bahkan penonton zaman itu bisa memberikan pengaruh yang signifikan dalam mengubah cara pandang orang-orang di masa gambar-gambar itu ditangkap. 

Filem kedua yang diputar adalah The Porters karya Sarah Vanagt. Filem ini menayangkan respon penuh keterkejutan oleh generasi muda Belgia saat menonton arsip-arsip filem yang menampilkan proses pengangkutan objek-objek dari Kongo ke Belgia dalam Ekspedisi Hutereau 1911-1913. Dalam filem ini terlihat banyak anak muda yang memegang daftar objek-objek tersebut dan menyebutkan barang-barang yang hilang terangkut dari Kongo di masa itu. Cara para generasi muda mengingat luka ini sangat idiosinkratik, mencoba mengingat sejarah tak mengenakkan melalui sebuah permainan dengan sedikit nuansa black comedy.

Pemutaran dilanjutkan dengan filem A Companion for Amateur Cinematographers: Vol. I karya Federico Di Corato. Filem ini mencoba menggambarkan kembali Italia pada masa fasisme, dengan penyampaian yang otoriter sebagai panduan pembuatan filem bagi para amatir, sejalan dengan cara para diktator di masa itu memerintah. Filem ini memberikan sebuah alternatif cara mengkritik pihak penguasa yang anti-kritik melalui metode yang ringan namun subliminal.

Setelah pemutaran, dilakukan diskusi singkat dengan Federico Hannes Verhoustraete melalui Google Meets, yang juga dimoderatori oleh Otty Widasari. Laura Kloeckner menanyakan bagaimana Hannes memperoleh arsip-arsip tersebut. Hannes menjelaskan bagaimana dia mendapatkan arsip-arsip yang kemudian digunakan dalam filemnya dan perasaannya saat melihat gambar-gambar tersebut. Hannes menceritakan bahwa sebagai keponakan yang tertarik pada filem, dia menerima warisan arsip filem dari pamannya yang pernah ke Kongo dan merekam banyak hal di sana. Hal ini mendorongnya untuk menggali lebih dalam dan menghasilkan filem ini dalam waktu empat tahun.

Pertanyaan kedua datang dari Yuki Aditya yang menanyakan apakah Hannes melakukan perjalanan ke Kongo selama proses pembuatan filem. Hannes menjelaskan bahwa ia memang pernah ke Kongo, tetapi bukan saat proses pembuatan filem. Meskipun ada keinginan untuk merekam di sana, ia merasa bahwa itu bukan tempat yang tepat dan akhirnya membatalkan niat tersebut.

Pertanyaan terakhir, yang juga menjadi penutup diskusi, diajukan oleh Luthfan Nur Rochman yang ingin tahu seberapa familier publik dengan arsip-arsip yang ditampilkan dalam filem Broken View. Hannes merasa bahwa saat melihat gambar-gambar tersebut, ia merasa seakan pernah melihatnya sebelumnya, meskipun ia tahu bahwa itu pertama kalinya ia melihat gambar-gambar tersebut. Menurut Hannes, pengalaman serupa juga dialami oleh orang-orang Belgia lainnya. Ia merasa bahwa rekam jejak kolonialisme ini adalah sesuatu yang diketahui oleh orang-orang di negaranya, namun jarang dibicarakan di antara mereka.

International Competition 03: The History and Role of Cinema

ARKIPEL Noli Me Tangere – Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival continued the screening of international competition films on Tuesday, September 26, 2023. This time, the screening titled Fetishism, Fascism, and the Wounds of History was opened by Otty Widasari, who was the curator of this session. She conveyed how films in the past were used to shape perceptions of colonized societies by the colonials. Nowadays, the films are reused as a form of criticism against colonialism practices. In this session, all the films shown used films and photo archives as the main material in the process of making each film.

The screening began with Federico Hannes Verhoustraete‘s Broken View, which had previously been screened at the opening of ARKIPEL on Sunday, September 24, 2023. This film shows the role of a tool called “magic lantern” or film used as a political apparatus during colonialism. From shaping the perception of colonists as primitive and exotic, the use of film in the spread of Christianity, and even as a propaganda tool for nationalism to the people of the Belgian provinces. The critique of these practices is presented in the film through beautiful and bewitching visual techniques. It is not surprising that the magic that enchanted even the viewers of that era could have a significant influence in changing the perspective of the people at the time the images were captured.

The second film screened was Sarah Vanagt‘s The Porters, which shows the shocked response of the younger generation of Belgians to watching archive films showing the transportation of objects from the Congo to Belgium during the 1911-1913 Hutereau Expedition. The film shows many young people holding lists of objects and naming the missing items transported from the Congo at that time. The way in which the younger generation remembers this wound is idiosyncratic, trying to recall an unpleasant history through a game with a hint of black comedy.

The screening continued with the film A Companion for Amateur Cinematographers: Vol. I by Federico Di Corato. The film attempts to recreate Italy during fascism, with an authoritarian approach as a filmmaking guide for amateurs, in line with the way the dictators of the time ruled. The film provides an alternative way to criticize the anti-criticism of the authorities through a light-hearted yet subliminal method.

After the screening, there was a brief discussion with Federico Hannes Verhoustraete via Google Meets, which was also moderated by Otty Widasari. Laura Kloeckner asked how Hannes obtained the archives. Hannes explained how he got the archives that were later used in his films and how he felt when he saw the images. Hannes shared that as a nephew interested in film, he received a legacy of film archives from his uncle who had been to the Congo and filmed many things there. This encouraged him to dig deeper and produce this film in four years.

The second question came from Yuki Aditya who asked did Hannes travel to Congo during the filmmaking process. Hannes explained that he had indeed been to Congo, but not during the filmmaking process. Although there was a desire to film there, he felt that it was not the right place and eventually canceled the intention.

The last question, which also closed the discussion, was asked by Luthfan Nur Rochman who wanted to know how familiar the public was with the archives featured in Broken View. Hannes felt that when he saw the images, he felt as if he had seen them before, even though he knew it was his first time seeing them. According to Hannes, other Belgians had similar experiences. He feels that this track record of colonialism is something that people in his country know about, but rarely talk about among themselves.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Contact Us

We're not around right now. But you can send us an email and we'll get back to you, asap.

Not readable? Change text. captcha txt

Start typing and press Enter to search

X