Kompetisi Internasional 3: “Dia” yang Melampaui Ruang dan Waktu
Apa esensi murni sinema? Apakah itu sebuah reaksi kimia yang terjadi saat gambar ditangkap selamanya ke dalam seluloid? Atau apakah itu bagaimana frame dihidupkan kembali bersama konteks dan makna? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang dihadapi Robby Ocktavian, sang kurator, saat memilih 5 filem pendek untuk mendefinisikan apa “itu” yang hadir di sinema.
Pada Rabu (28/8) sore Robby mempersembahkan Kompetisi Internasional 3: Dia yang Melampaui Ruang dan Waktu kepada para penonton ARKIPEL 11th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival.
Filem pertama program ini adalah De Occulta Imagine (2024) karya Stefano P. Testa. Sebuah esai video yang bertujuan untuk menangkap “arwah” dari arsip filem Italia dengan mengeksplorasi proses kimia dalam pembuatannya. Gambar-gambar dari filem Italia lama muncul sekilas kemudian hilang dalam sekejap ketika seluloid hancur di layar. Gambar-gambar ini berasal dari filem apa? Siapakah orang-orang yang ada muncul dalam adegan-adegan singkat ini? Melalui kumpulan gambar, De Occulta Imagine memberikan gagasan kuat tentang keabadian dan kefanaan sinema.
Pemutaran berlanjut dengan Light of Light (2023) karya Neritan Zinxhiria, sebuah filem yang menceritakan kembali kehidupan seorang biarawan di Gunung Athos yang terisolasi di Yunani melalui arsip foto peninggalannya. Adegan kehidupan sang biara digambarkan melalui filem Super 8 hitam putih, serta foto-foto arsip. Kadang foto-fotonya buram, dan kadang foto-fotonya jernih. Orang yang berasumsi bahwa rekaman dari Super 8 memperlihatkan kehidupan di biara bertahun-tahun yang lalu akan terkejut ketika mengetahui rekaman diambil oleh sutradara sendiri dalam waktu dekat. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah memungkinkan untuk menciptakan kembali masa lalu sepenuhnya?
Filem berikutnya adalah Luminous Shores (2024) karya Maira Ayala, yang menonjol dari filem-filem sebelum karena direkam secara digital dengan kamera termal. Filem tersebut menunjukkan kegiatan yang dilakukan oleh para pekerja perempuan di perbatasan Paraguay-Argentina pada malam hari. Kamera termal menciptakan efek kabur seperti mimpi. Penonton menebak-nebak terus apa yang sedang terjadi dalam layar. Luminous Shores menunjukkan bagaimana sinema menunjukkan suatu kegiatan yang biasanya tidak terlihat.
Trágame nube (2023) karya Esperanza Collado, membawa penonton ke dunia dalam seluloid. Dua frame yang diproyeksikan secara bersamaan ke layar. Bagian pertama filem menunjukkan sang pembuat filem dan pasangannya, masing-masing memegang kamera, saling merekam sesama ketika berada di Alhambra, Spanyol. Adegan berikutnya mengikuti serangkaian dokumen, yang kemudian diketahui penonton sebagai kertas-kertas pembuat film Spanyol Jose Val del Omar yang dipindahkan seolah-olah sedang dikoreografi. Bagian terakhir menunjukkan alat-alat perekam filem, dan apa yang ada di dalamnya. Filem ini tanpa suara, menciptakan tontonan visual murni.
Filem terakhir La Panadella (2023) karya Joel Jimenez yang juga berasal dari Spanyol. Filem ini menggambarkan para pekerja di sebuah kota kecil yang tengah menunggu kedatangan seorang tamu penting. Saat menonton filem ini, kita ikut merasakan ketakutan dan regresi. Kota ini memiliki beberapa bangunan yang hancur, toko-toko dan restoran hampir kosong, dan tidak ada anak muda sama sekali. Ada denyut aneh yang muncul sepanjang filem, sampai pada akhirnya penduduk hilang sepenuhnya.
Saat filem berakhir, program dilanjutkan dengan sesi tanya jawab dengan Esperanza Collado, sutradara Trágame nube. Ia menjelaskan bahwa film ini awalnya sebagai instalasi yang didukung oleh Museum of the Moving Image untuk merayakan para pembuat filem Spanyol. Ia juga menjelaskan bahwa karya seni tersebut merupakan penghormatan kepada Jose Val del Omar, yang idenya sangat progresif untuk masanya. Bagi Esperanza, filem ini dirancang sedemikian rupa sehingga penonton tidak dapat menonton kedua layar secara bersamaan. Dia juga mengatakan bahwa sebelumnya dia membuat soundtrack untuk filemnya, dimana dia membuat wawancara imajiner dengan Val del Omar.
Direktur Artistik Arkipel, Yuki Aditya, menanyakan tentang surat-surat yang ditampilkan dalam filem tersebut, dan Esperanza menjelaskan bahwa walaupun sebagian besar dokumen berbahasa Spanyol, Val del Omar juga menulis dalam bahasa Prancis dan Italia yang juga ditampilkan dalam filem tersebut. Luthan Nur Rochman, Direktur Festival, mengatakan bahwa filemnya seperti komposisi musik. Phoebe Wong, seorang anggota Juri, menanyakan tentang isi wawancara tersebut, dan Esperanza menjelaskan dalam wawancara tersebut Val del Omar bercerita tentang obsesinya dengan waktu, gagasannya tentang cinta, dan bagaimana sinema memiliki kewajiban untuk menginspirasi penontonnya. Wildan, seorang penonton, menanyakan tentang perasaan Esperanza mengenai perbedaan eksibisi, antara ditayangkan sebagai instalasi dan pemutaran festival. Ia menjawab bahwa instalasi aslinya memiliki kekuatannya sendiri, dan ada perasaan sedih bahwa karena ada sesuatu yang hilang ketika tayang dalam festival.
Secara keseluruhan, lima filem dalam seleksi ini mengeksplorasi bagaimana sinema memiliki kemampuan untuk menghidupkan cerita dan orang-orang, dan menangkap esensinya secara langsung, seperti dalam kasus Luminous Shores, atau secara tidak langsung, seperti dalam Trágame nube dan Light of Light.
International Competition 3: The Thing Which Transcends Space and Time
What is the pure essence of cinema? Is it the chemical reaction that occurs when an image is forever captured into a celluloid? Or is it the way each frame is brought to life along with the context and meaning behind them? These are the questions that curator Robby Ocktavian grapples with his selection of 5 short films as he attempts to define the “it” that exists in all of cinema.
On Wednesday (28/8) afternoon Robby presented International Competition 3: The Thing Which Transcends Space and Time to the audiences of ARKIPEL Garden of Earthly Delights – 11th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival.
The first film of the selection was De Occulta Imagine (2024) by Stefano P. Testa, a video essay that aims to capture the spirit from an archive of Italian films by exploring the almost alchemical process that went on in the process of their creation. Images from old Italian films flash by and are abruptly cut when their old celluloid film literally falls apart on screen. Which films are these images from? Who are the people in these brief scenes? With these images, De Occulta Imagine proves to be a film that provides a strong statement about the contradicting ideas of permanence and ephemerality in cinema.
The screening continued with Light of Light (2023) by Neritan Zinxhiria, a film that aims to recreate the life of a monk who lived in the isolated Mount Athos monastery in Greece through the photographic archives that he left behind. Black and white scenes of monastic life film are spliced together with archival photographs of monks. Sometimes the photos are falling apart, and other times clear and pristine. While one can assume that the Super 8 footage depicts life in the monastery many years ago, it was surprising to learn that it was shot recently by the director himself. This raises the question, is it possible to fully recreate the past?
The next film in the screening, Luminous Shores (2024) by Maira Ayala stood out from the other films by being shot with a thermal camera. The film depicts nocturnal movements made by women workers in the Paraguayan-Argentinian border. The thermal camera creates a hazy, almost dreamy effect, and audiences are kept guessing on what is happening on screen. Luminous Shores shows how cinema brings to life the often unseen and subversive activities, creating a testimony for the world to see.
Trágame nube (2023) by Esperanza Collado brings the audiences back to a world rendered in celluloid. This time there are two frames simultaneously projected into the screen. The first part of the film shows the filmmaker and her partner, each holding a camera, recording each other while in the Alhambra in Spain. The next scene follows a set of documents, the papers of Spanish filmmaker Jose Val del Omar moving as if in a choreographed dance. The third and final part shows film equipment. The film is completely silent, creating a pure visual spectacle.
This was followed by another Spanish film, La Panadella (2023) by Joel Jimenez. It depicts the workers in a small town awaiting the arrival of an important guest. When watching this film, one can’t help but feel a sense of dread and decline. The town has several ruined buildings, the shops and restaurants are almost empty, and the town is completely devoid of young people. There’s a strange signal that pulses through the film, as the film continues, the residents eventually disappear from the frame.
As the films ended, the screening continued with a Q&A session with Esperanza Collado, the director of Trágame nube. She explained that the film was originally an installation commissioned by the Museum of the Moving Image as part of an exhibition celebrating Spanish filmmakers. She also explained that the artwork was in tribute to Jose Val del Omar, whose ideas were forward thinking for their time. According to her, the installation was designed in a way where audiences cannot watch both screens at the same time, representing the missing interval between frames in film. She also said that has previously soundtracked the film, where she performed an imaginary interview with him.
The Artistic Director of Arkipel, Yuki Aditya, asked about the letters shown in the film, to which she explained that while most of the documents were in Spanish, Val del Omar also wrote letters written in French and Italian which were shown in the film. Luthan Nur Rochman, the Festival Director, remarked that her film was like a musical composition. Phoebe Wong, a member of the Jury, asked about the contents of the aforementioned interview, to which she explained that Val del Omar talked about his obsession with time, his ideas on love and how cinema has a duty to inspire. Wildan, an audience member, asked about her feelings regarding the difference between the installation and the festival screening to which she replied that the original installation has a power of its own, and that she cannot help but feel some sort of phantom pain regarding the missing live soundtrack.
Overall, these five films explore how cinema has the ability to bring stories and people to life, and capture their essence either directly, as in the case for Luminous Shores or indirectly as in Trágame nube and Light for Light.
