Buy Ambien Generic Order Zolpidem Uk Ambien Buying Online Buy Non-Generic Ambien Get Zolpidem Online Ambien Cr Order Online
 In ARKIPEL 2024 - Garden of Earthy Delights, ARKIPEL Garden of Earthly Delights, Festival Stories, Festival Updates, Film Screening Reviews, International Competition, Public Discussion

Kompetisi Internasional 4: Tubuh dan Ruang Sinematik

Jam menunjukkan pukul 19.10 WIB, orang-orang mulai berdatangan, energi antusiasme seakan terasa di udara. Mereka bergegas mencari tempat duduk favorit, siap untuk kembali menatap layar setidaknya hingga dua jam ke depan. “After five hours, and now two hours,” ucap salah seorang anggota juri Arkipel musim ini sambil berlalu menuju pojok sofa, yang sedari awal menjadi tempat setianya. Kami hanya merespon dengan melempar tawa, memahami bagaimana rasanya tubuh dihadapkan pada maraton filem sebanyak tiga kali sehari, dengan durasi dan jumlah yang berbeda dalam setiap pemutaran.

Tidak lama kemudian, semua bangku sudah terisi penuh. Luthfan NurRochman, Direktur ARKIPEL Garden of Earthly Delights – 11th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival dan kurator pada program malam itu, mengambil alih perhatian penonton. Ia menyampaikan bahwa filem yang akan ditonton berjudul Staying Put (2023), karya sutradara Nico Bunnik. Dengan nada yang penuh antusias, ia menyebutkan bahwa filem ini akan membawa kita kembali ke masa di mana ada kelenturan dalam mengadaptasi cerita-cerita eskatologi menjadi mitologi lokal, sebuah konsep yang di Indonesia dikenal sebagai carangan. Lampu pun padam, dan filem mulai berputar.

Mata penonton serius mengikuti setiap gerakan di layar, terkadang diselingi dengan tawa ketika teks dialog antara tokoh utama dan teman sejawatnya muncul di layar. Tawa tersebut seolah mencerminkan refleksi kolektif atas bagaimana kita sering kali menertawakan sesuatu yang berbeda dari pemahaman kita sendiri. Ali, seorang penonton setia di Forum Lenteng, mengungkapkan, “Seringkali kita mentertawakan sesuatu yang tidak sepemahaman dengan kita, mungkin karena logikanya tidak sejalan dengan kita, sehingga orang tersebut dianggap terasing dari pemikiran kita.”

Filem ini, dengan segala kompleksitasnya, berhasil menggabungkan berbagai elemen yang tampak paradoksal namun saling melengkapi: mitologi, keyakinan, terorisme, akses pendidikan yang minim, lapangan kerja yang sulit, dan kemiskinan yang merajalela. Tokoh utama di filem ini tampaknya mampu membawa penonton masuk ke dalam kesadaran tubuh-tubuh yang terjebak dalam situasi polemik sistemik sebuah negara. Ide dari sutradara yang membingkai antara mitologi dan realitas ini memberikan pengalaman sinematik yang kaya akan makna dan emosi.

Salah satu elemen paling menarik dari Staying Put adalah bagaimana Bunnik menggunakan visual untuk menggambarkan situasi yang dihadapi tokoh utama. Ketika image tokoh utama melewati orang-orang di sebuah tempat yang padat dengan berbagai aktivitas manusia, gambar tersebut mengisyaratkan Garden of Earthly Delights, karya legendaris Hieronymus Bosch. Imaji ini seolah-olah meletakkan penonton di tengah-tengah keramaian, membuat mereka merasakan suhu panas, sensasi riuh suara-suara, hingga desakan tubuh-tubuh lain, bahkan seolah bisa mencium aroma yang memenuhi latar tempat tersebut.

Selain itu, komunikasi yang terjadi di antara para tokoh dalam filem ini juga membawa penonton ke dalam sebuah pengalaman yang unik. Misi pengembaraan sang tokoh utama mempertemukan penonton dengan tubuh-tubuh yang terbiasa dengan teknologi, namun tetap berkomunikasi dengan dialog lokal yang tidak selalu dimengerti oleh penonton. Dialog tersebut terdengar seperti mantra yang penuh misteri dan puitis, menyampaikan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kata-kata.

Seiring berjalannya filem, seorang kawan sempat berkomentar bahwa tubuh-tubuh yang ada dalam filem ini sudah melalui pendekatan yang tidak sebentar selama proses riset. Ini menunjukkan betapa Nico Bunnik sangat memperhatikan detail dalam membangun dunia sinematiknya, memberikan kedalaman pada setiap karakter dan adegan yang ada. Filem ini, dengan segala kekuatan dan kelemahannya, menjadi sebuah perjalanan sinematik yang tidak hanya menghibur, tetapi juga memberikan refleksi mendalam tentang kehidupan dan makna di balik mitologi serta eskatologi yang diterjemahkan ke dalam kehidupan modern.

Dengan demikian, Staying Put bukan hanya sekadar filem, tetapi juga sebuah pengalaman yang mempertemukan penonton dengan realitas yang kompleks melalui lensa mitologi dan eskatologi, menantang untuk melihat dunia dengan cara yang berbeda.

International Competition 4: The Body and Cinematic Space

As the time hit 7.10pm, people started to arrive, the energy of enthusiasm was in the air. They rushed to find their favorite seats, ready to stare at the screen for at least the next two hours. “After five hours, and now two hours,” said one of the jury members of this year’s Arkipel as he moved towards the corner of the sofa, which had been his loyal spot since the beginning. We only responded with laughter, understanding how the body would feel to be exposed to a film marathon three times a day, with different durations and numbers in each screening.

Soon, all the seats were filled. Luthfan NurRochman, Director of ARKIPEL Garden of Earthly Delights – 11th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival and the curator of the evening’s program, took over the audiences’ attention. He announced that the film to be watched was Staying Put (2023), by Nico Bunnik. In an enthusiastic tone, he mentioned that this film would take us back to a time when there was flexibility in adapting eschatological stories into local mythology, a concept known in Indonesia as carangan. The lights went out, and the movie began to play.

The audiences’ eyes seriously followed every movement on the screen, sometimes interspersed with laughter when the text of the dialog between the main character and his peers appeared on the screen. The laughter seemed to reflect a collective reflection on how we often laugh at something different from our own understanding. Ali, a loyal audience member at Forum Lenteng, said, “ We often laugh at something that we don’t understand, maybe because it doesn’t follow our logic, so the person is considered alienated from our thinking.”

The film, in all its complexity, manages to combine elements that seem paradoxical yet complementary: mythology, faith, terrorism, poor access to education, scarce job opportunities, and rampant poverty. The main character in this film seems to be able to bring the audiences into the consciousness of bodies trapped in the systemic polemic situation of a country. The director’s idea of framing between mythology and reality provides a cinematic experience that is rich in meaning and emotion.

One of the most interesting elements of Staying Put is how Bunnik uses visuals to depict the situation that the character encounters. When he passes people in a place crowded with human activities, it hints at Hieronymus Bosch’s legendary “Garden of Earthly Delights”. This image seems to put the audiences in the middle of the crowd, making them feel the heat, the sensation of noisy voices, and the press of other bodies, as if they can even smell the aroma that fills the location.

In addition, the communication between the characters in this film also brings the audience into a unique experience. The main character’s wandering mission brings the audience together with bodies that are accustomed to technology, but still communicate with local dialog that the audiences do not always understand. The dialog sounds like a mysterious and poetic mantra, conveying something deeper than just words.

As the film continued, a friend commented that the bodies in the film had gone through a lengthy approach during the research process. This shows how much Nico Bunnik pays attention to detail in building his cinematic world, giving depth to each character and scene. The film, with all its strengths and weaknesses, becomes a cinematic journey that not only entertains, but also provides a deep reflection on life and the meaning behind mythology and eschatology translated into modern life.

Thus, Staying Put is not just a film, but also an experience that brings the audiences together with a complex reality through the lens of mythology and eschatology, challenging them to see the world in a different way. 

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Contact Us

We're not around right now. But you can send us an email and we'll get back to you, asap.

Not readable? Change text. captcha txt

Start typing and press Enter to search

X