Buy Ambien Online Uk Buy Ambien Online Prescription Buy Zolpidem Er Online Buy Zolpidem Tartrate Uk
 In ARKIPEL 2024 - Garden of Earthy Delights, ARKIPEL Garden of Earthly Delights, Festival Stories, Festival Updates, Film Screening Reviews, International Competition, Public Discussion

Kompetisi Internasional 6: Definisi Ulang Peran Perempuan

Saya seorang laki-laki yang lahir dari keluarga yang menganut budaya matrilineal, posisi perempuan sudah menjadi bagian penting dalam budaya masyarakat adat di tempat saya berasal. Aturan adat sudah diatur sejak lama tentang bagaimana posisi perempuan yang menjadi penentu garis keturunan, berperan di dalam peristiwa adat dan pemegang harta warisan. Walaupun terkadang kendalinya masih dominan dipegang oleh laki-laki setidaknya posisi perempuan sangat diperhitungkan di dalam kehidupan masyarakat adat. Di saat terjadinya pergeseran budaya pada lajunya modernisasi, peran-peran perempuan di dalam masyarakat adat masih dapat saya lihat dan rasakan di kampung halaman. 

Mengutip dari tulisan Valencia Winata selaku kurator dari program Kompetisi Internasional 6 di ARKIPEL Garden of Earthly Delights – 11th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival: “Di dalam masyarakat reproduktif ini–reproduktif secara sosiologis di mana masyarakat diatur sedemikian rupa sehingga masyarakat itu terus menerus mereproduksi dirinya – semua manusia sepertinya mempunyai peran yang mereka jalankan. Perihal apakah mereka memilih untuk menjalankan atau tidak, peran itu telah ditetapkan.” Kalimat ini memantik saya dalam melihat fenomena masyarakat sekarang, bagaimana kehadiran teknologi juga ikut serta mendefinisikan ulang peran-peran perempuan di dalam kehidupan masyarakat. Dan juga mempertanyakan lagi aturan-aturan di dalam masyarakat bergender, baik itu secara perkembangan masyarakat adat menuju masyarakat modern. 

Filem Good Morning Young Body (2023) karya Charmaine Poh membawa penonton melihat bagaimana teknologi virtual dapat menimbulkan cyberbullying. Hal itu terjadi karena kehidupan kita dengan kehadiran teknologi yang tidak dapat lagi dipisahkan. Identitas kita sudah terbagi menjadi dua bagian, baik dalam realita maupun dunia maya. Hal ini dapat mendorong terjadi kekerasan dalam bentuk baru, yaitu di dalam dunia virtual. Saya pikir itulah yang coba diperlihatkan oleh Charmaine. Ia mencoba memberikan perspektif bagaimana kehadiran teknologi juga dapat menjadi maskulin dan mengintimidasi. 

Filem kedua yang berjudul The Skin of Mars (2022) karya Maite Redondo Gaztelu menghadirkan perspektif yang sangat komplit bagaimana alam dan perempuan adalah dua  hal paling dirugikan di tengah masyarakat reproduktif. Dua hal itu mempunyai kesamaan yaitu sama-sama mengalami eksploitasi sebagai pihak yang memberikan kehidupan. Dunia masyarakat reproduktif bersifat sangat maskulin karena kekuatan hanya didefinisikan pada  laki-laki yang secara keseluruhan ini tidak mewakili apapun dari sisi perempuan. 

Tubuh terkadang hanya dilihat berdasarkan medis di dalam sudut pandang dunia kesehatan. Ada hal yang terkadang tidak bisa dilihat hanya berdasarkan satu perspektif. Filem There’s Not Much We Can Do (2022) karya Erica Monde mencoba menghadirkan cara lebih dalam memahami tubuh perempuan. Tubuh tidak lagi dilihat hanya melalui sudut pandang sehat atau sakit, ada hal yang harus dilihat bahwa periode menstruasi dan sakit yang dihasilkan bukanlah hal yang bisa dianggap sepele atau dianggap biasa aja. Sudut pandang yang menganggap hal itu normal atau natural coba dipertanyakan kembali di dalam filem ini dan kritik terhadap cara pikir yang hitam-putih serta cara pandang kolonial dalam memahami tubuh perempuan. 

Bleared Eyes of Blue Glass (2023)  karya Kyujae Park menghadirkan bagaimana terkadang tubuh tidak harus terikat dengan aturan gender. Kyuje secara ekspresif menghadirkan bahasa tekstual kepada penonton dengan performative tubuh manusia. 

Moi aussi, je regarde (2024) karya Ingel Vaikla menampilkan arsitektur perumahan yang didefinisikan kembali, seakan-akan mempunyai fungsi baru selain hanya tempat tinggal. Arsitektur kembali didekatkan kepada manusia dengan fungsional dan perspektif baru dari nilai-nilai lama yang dianut. Kamera hadir di filem ini dengan gerakan menyapu secara horizontal, mendekatkan mata kita untuk melihat sisi lain dari arsitektur dan mendeskripsikan kembali fungsi dari sisi feminin. 

Filem terakhir A Town of One’s Own (2023) karya Aude Thuries adalah filem yang menyita perhatian saya secara personal karena ia menceritakan sejarah keturunan keluarganya tetapi menyingkap keseluruhan sejarah kota dan sejarah kehidupannya dari generasi ke generasi. Aude menceritakan dalam filemnya bagaimana sejarah keluarganya dari sisi ibunya juga menjadi representasi dirinya sebagai seorang ibu. Saya berpikir ketika melihat Aude menelisik sejarah keluarganya, saya juga membayangkan jika saya melakukan hal sama. Apakah saya akan menghasilkan hal yang sama juga, karena perspektif saya sebagai laki-laki terkadang tidak bisa mengerti secara mendalam sejarah keluarga saya yang menggunakan sistem matrilineal.  

Dari enam filem di atas saya mencoba mempelajari dan memahami hal baru dalam melihat suatu peristiwa melalui perspektif seorang perempuan, tidak hanya melalui perspektif saya sebagai laki-laki yang dibesarkan dengan maskulinitas di tengah budaya matrilineal. Kemajuan teknologi tidak melakukan banyak hal di lingkungan adat saya dalam bagaimana memposisikan wanita, cara pikir biner dan syarat akan maskulinitas masih mengungkung perempuan dalam sistem yang terkadang diskriminatif dan non konsensual.

International Competition 6: Redefining the Role of Women

As a man born from a matrilineal family, the position of women remains important in the culture of the indigenous people in my community. The customary rules have long regulated the position of women in determining lineage, taking part in traditional events and holding inheritance property. Although sometimes the control is still dominantly held by men, at least the position of women is very much taken into account in the lives of indigenous communities. Even when there is a cultural shift in the pace of modernization, I can still see and feel the roles of women in my hometown. 

Quoting from Valencia Winata‘s article as the curator of International Competition 6 at ARKIPEL Garden of Earthly Delights – 11th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival: “In this reproductive society – sociologically reproductive in which people are organized in such a way that the society continuously reproduces themselves – all humans apparently have roles that they play. Whether they choose to fulfill them or not, these roles have already been assigned.” This sentence sparked me to look at the phenomenon of today’s society, how the presence of technology also participates in redefining the roles of women in society. And also questioning the rules in gendered societies, whether it is in the evolution of indigenous societies to modern ones. 

Good Morning Young Body (2023) by Charmaine Poh brings the audiences to see how virtual technology can lead to cyberbullying. This happens because our lives cannot be separated with technology anymore. Our identity has been divided into two parts, both in reality and cyberspace. This can trigger a new form of violence, which is in the virtual world. I think that is what Charmaine is trying to show. She gives a perspective on how the presence of technology can also be masculine and intimidating. 

The second film, The Skin of Mars (2022) by Maite Redondo Gaztelu presents a very complete perspective on how nature and women are the two most disadvantaged subjects in a reproductive society. These two have in common that they both experience exploitation as agents of life. The world of reproductive society is very masculine as power is only defined in men, which does not represent anything on the women’s side.

Bodies are sometimes only seen in medical terms from a health perspective. There are things that sometimes cannot be seen from only one perspective. There’s Not Much We Can Do (2022) by Erica Monde tries to present a deeper way of understanding women’s bodies. Instead of being seen only through the perspective of being healthy or sick, there are things that must be seen that menstruation and the resulting pain are not things that can be considered lightly or taken for granted. The perspective that considers it normal or natural is questioned in this film and criticizes the black-and-white way of thinking and the colonial perspective in understanding women’s bodies. 

Bleared Eyes of Blue Glass (2023) by Kyujae Park presents how sometimes the body does not have to be bound by gender rules. Kyuje expressively presents textual language to the audience with the performative human body. 

Moi aussi, je regarde (2024) by Ingel Vaikla shows housing architecture being redefined, as if it has a new function other than just a place to live. Architecture is brought back closer to humans with new functionalities and perspectives from old values. The camera moves horizontally through the film, bringing our eyes closer to see the other side of architecture and redefining function from the feminine side.

The last film A Town of One’s Own (2023) by Aude Thuries is a film that caught my attention personally because it tells the history of her family’s descendants but reveals the whole city’s history along with its life history from generation to generation. Aude narrates her film how her family history from her mother’s side also represents herself as a mother. I thought when I saw Aude examining her family history, I wondered if I would do the same. Would I come up with the same thing, because my perspective as a man sometimes cannot deeply understand my family history that uses the matrilineal system.  

Based on these six films, I can learn and understand new things in seeing an event through the perspective of a woman, not only through my perspective as a man who was raised with masculinity in the midst of matrilineal culture. Technological advances have not done much in my indigenous environment in how to position women, binary thinking and the requirement of masculinity still confines women in a system that is sometimes discriminatory and non-consensual.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Contact Us

We're not around right now. But you can send us an email and we'll get back to you, asap.

Not readable? Change text. captcha txt

Start typing and press Enter to search

X