Kutukan dalam Kultur Pengguna
Konon, putri seorang kaisar tetap perawan sampai tua karena kecantikannya, cantik yang mengintimidasi pria. Di kuburan putri itu, tumbuh sekuntum bunga di antara payudaranya, menghasilkan buah yang mengeluarkan nektar. Bila menghisap nektar itu, kita akan melupakan segala tentang cinta, karena itu menghilangkan rasa sakit dan menyebabkan tidur.
Itulah kisah munculnya tumbuhan opium yang diceritakan oleh seorang pria dalam filem Century of Smoke (2019). Filem ini merupakan salah satu dari tiga filem dalam program Kompetisi Internasional 02: Riwayat Kultur Pengguna dalam Jejaring Penaklukan yang tayang pada gelaran ARKIPEL Twilight Zone – Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival.
Century of Smoke disutradarai oleh Nicolas Graux dari Belgia. Sebelumnya, filem ini telah diputar dalam beberapa festival, seperti di International Competition Visions du Réel 2019, DokFest München 2019, Brussels International Film Festival 2019, dan mendapat penghargaan sebagai Best Documentary Feature Film pada acara Sydney World Film Festival 2020.
Filem ini memperlihatkan kehidupan sebuah keluarga di pedesaan terpencil di tengah hutan Laos bagian utara, yang terjebak dalam “kutukan” opium sang putri kerajaan. Mulanya, filem ini banyak menghadirkan gambar keluarga ini dari dalam rumahnya yang sangat sederhana, ruangan yang berasap karena seorang pria menghisap opium, sementara anaknya yang masih kecil tidur di sampingnya. Perlahan kamera mulai menyorot luar ruangan, terlihat beberapa rumah di tengah hutan lebat yang berkabut. Seterusnya, film banyak menampilkan bingkaian yang berasap dan berkabut. Asap dan kabut yang secara figuratif menjadi kehadiran kutukan opium.
Bagi Anggraeni Widhiasih, penyaji program ini, Century of Smoke merupakan gambaran dari kekalahan kolektif akibat kejahatan perang (efek Perang Dingin, perang sipil di Laos, dan seterusnya) yang membuat orang Akha (etnis yang berakar dari Cina) terperangkap dalam kutukan lingkaran setan opium. Di satu sisi, masyarakat Akha harus bertahan hidup dengan menjual tanaman opium. Mereka, terutama para pria, kecanduan mengosumsi opium, sehingga menyisakan perjuangan perempuan untuk bertahan hidup. Di sisi lain, pemerintah enggan untuk melarang pertanian opium tersebut.
Filem kedua berjudul ICUCICU (2019), disutradarai oleh Giuliana Rossi Foulkes (US) dan Charlotte Hong (Singapura). Sebelumnya filem ini telah mengikuti berbagai festival seperti, Leeds Queer Film Festival 2020, Wasteland Film Festival 2019, San Diego Underground 2019, dan lain-lain.
ICUCICU merupakan film dengan teknik campuran antara stop motion dan perekaman aksi langsung. Memperlihatkan dua perempuan yang sedang bermain, bercakap tentang persahaban dan cinta mereka, sambil menelusuri internet pada telepon genggamnya. Beberapa kata dan kalimat yang mereka temukan kemudian diucapkan, diperlihatkan di layar, dan dibahas oleh mereka. Bagi Anggraeni, representasi internet yang serba dangkal dan manasuka dalam film ini dihadirkan sebagai bahasa untuk melawan dominasi dari internet tersebut.
Filem ketiga dalam program ini berjudul Di Pinggir Kali Citarum (2019), sutradara Ali Satri Efendi yang berasal dari Indonesia. Filem ini sebelumnya masuk dalam program Lanskap dalam Festival Film Dokumenter 2020.
Di Pinggir Kali Citarum mengikuti seorang tukang rakit di salah satu bagian sungai Citarum. Dengan sorotan lanskap yang acap kali dipakai, bidikannya turut memperlihatkan keadaan di sekitar tukang rakit itu bekerja, kemudian mengeksplorasi pula apa-apa yang menjadi bagian dari ekosistem sungai tersebut; sawah, batako, tanah yang digali, beberapa rumah, dan lain-lain. Bagian akhir memperlihatkan sungai Citarum meluap, kita akan melihat tali-tali rakit yang tidak terjangkau oleh aliran sungai, meskipun ekosistem lainnya sudah tergenang, tenggelam.
Program ini bisa diakses secara daring melalui situs ARKIPEL mulai dari 28 November hingga 4 Desember 2021. Program ini juga akan ditayangkan secara luring di Bioskop Forum Lenteng pada hari Kamis, 2 Desember 2021.
Terjemahan Bahasa Inggris oleh Innas Tsuroiya
The Curse of the User Culture
It is said that the daughter of a monarch remained a virgin to old age because of her beauty, a kind of beauty that intimidated men. On the princess’s grave, a flower grew between her breasts, bearing fruit that produced nectar. If we sucked the nectar, we would forget all about love, because it relieved pain and induced sleep.
It is the story of the appearance of poppy plants as told by a man in the film Century of Smoke (2019), one of the three films in in the International Competition program 02: The History of User Culture in a Network of Conquest, at ARKIPEL Twilight Zone – Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival.
Century of Smoke is directed by Nicolas Graux from Belgia. It was previously screened at several festivals such as International Competition Visions du Réel 2019, DokFest München 2019, Brussels International Film Festival 2019, and awarded the Best Documentary Feature Film at Sydney World Film Festival 2020.
This film shows the life of a rural family in the middle of northern Laotian woods, trapped in the opioid “curse” of the monarch’s daughter. At first, this film presents the familial images from inside their small home, a room that is smokey because a man was smoking opium, while his young child slept beside him. Slowly the camera started gliding outside, there were several houses in the middle of a dense foggy forest. Furthermore, the film shows a lot of smoky and foggy frames. Smoke and fog figuratively become the presence of the opioid curse.
For Anggraeni Widhiasih, the curator of this program, Century of Smoke is a reflection of collective defeat due to war crimes (the aftermath of Cold War, civil war in Laos, etc) which made Akha people (ethnic group of a Chinese origin) trapped in the endless loop of opium. On the one hand, the Akha people have to survive by trading poppy plants, while they are, especially the men, addicted to smoking opium, leaving the women to struggle to survive. On another hand, the government is reluctant to ban opium farming.
The second film ICUCICU (2019) is directed by Giuliana Rossi Foulkes (US) and Charlotte Hong (Singapura). Previously this film was screened at various festivals such as Leeds Queer Film Festival 2020, Wasteland Film Festival 2019, San Diego Underground 2019, etc.
ICUCICU is a film with a hybrid technique of stop motion and live action recording. It shows two women hanging out, talking about their friendship and love, while scrolling the internet on their phones. Few words and sentences that they find are spelled, shown on screen, and discussed by them. For Anggraeni, the shallow and unrestrained representation of the internet in this film is brought up as the language to confront the domination of the internet itself.
The third film in the program is titled Di Pinggir Kali Citarum (2019), directed by Ali Satri Efendi from Indonesia. Previously this film was screened as a part of Lanskap program at Festival Film Dokumenter 2020.
Di Pinggir Kali Citarum follows a raftman on a part of the Citarum river. Frequently using landscape shots, the film also captures the surrounding working condition of the raftman, exploring whichever is a part of the river ecosystem; rice fields, bricks, excavated soil, several houses, and so on. The end shows the Citarum river overflowing, we see the raft ropes that are beyond the reach of the river flow, even though other ecosystems have been flooded, drowned.
This program can be accessed online via ARKIPEL Festival website from November 28 until December 4, 2021. It was screened offline in Bioskop Forum Lenteng on Thursday, December 2, 2021.
English translation by Innas Tsuroiya