Ambien By Mail Order Can I Buy Ambien Online Order Ambien Online Usa Buy Zolpidem Online India Buy Ambien Online Australia Ambien Buy Cheap
 In ARKIPEL 2022 - catch-22, Festival Updates, International Competition

Kompetisi Internasional 06: Apa yang Bisa Dinarasikan Hal-hal Non-Manusia Melalui Film?

Apa yang bisa dinarasikan hal-hal non-manusia melalui filem? Apabila biasanya ada subjek manusia yang menjadi sumber narasi dalam sebuah filem atau tokoh yang menjalin cerita, dua filem yang diputar dalam kuratorial Hafiz Rancajale, Kompetisi Internasional 06: Membingkai Penyakit Sosial, menyuguhkan persoalan yang dimediasi oleh hal non-manusia: boneka seks dan bunga Sedap Malam. Filem tersebut berjudul Broca’s Aphasia (2022) sutradara Sung Ming-yen dan Sedap Malam (2022) sutradara Gembong Nusantara, ditayangkan di bioskopforlen pada 28 November 2022. Boneka dan bunga dalam filem-filem ini menjadi korpus dalam menyoal tentang dirinya sendiri serta persoalan yang terikat dengan dirinya; sosial, ekonomi hingga politik. 

Mengikuti sebuah lapak jasa sewa boneka seks beserta kamar layaknya kamar hotel, filem Broca’s Aphasia membingkai boneka-boneka yang menjadi barang jasa bagi para konsumen. Proses transaksi, persiapan boneka untuk digunakan, datangnya konsumen, masuk ke kamar, tutorial penggunaan, konsumen pergi, mencuci boneka, dan menyiapkan kembali boneka. Hampir semua proses yang melibatkan boneka seks tersebut direkam oleh kamera kecuali apa yang terjadi di dalam kamar, apa yang dilakukan konsumen dengan boneka.

“. . . jangan mengimpit tangannya, badannya sama seperti kita,” ujar seorang karyawan penyedia jasa memberikan tutorial penggunaan boneka kepada konsumen. Penyedia jasa memosisikan boneka seks itu “setara” dengan kita manusia, meski hanya sebatas kegunaannya, supaya boneka itu tidak rusak dan melalui proses reparasi yang sulit. Anggapan boneka seks sebagai “kita” manusia juga ada dalam persepsi konsumen, dengan posisi yang sama, fungsinya sebagai yang memfasilitasi seksual. 

Broca’s Aphasia menampilkan posisi boneka seks sebagai bagian dari “kita” dengan cara memanusiakan perlakuan terhadap boneka tersebut. Tidak hanya sebagai moda ekonomi dan alat penyaluran seksual, ia diandaikan bisa berbicara dengan suara perempuan layaknya seorang manusia. Efek ini dicapai dengan menampilkan visual bukan boneka, melainkan hal-hal di luar tempat jasa boneka seks, seperti langit, pohon, saluran air pembuangan, dll., disertai suara perempuan yang bercerita banyak hal. Suara perempuan ini diandaikan sebagai suara boneka-boneka dalam roda ekonomi dan seksual. Suara yang membawa boneka seks lebih menjadi manusia.

Sementara itu, Sedap Malam mengikuti perjalanan bunga dari kebunnya di daerah hingga ke kota. Bunga yang biasanya ditancapkan pada liang kubur seseorang, Sedap Malam, mekar di malam hari. Bingkai-bingkai bunga Sedap Malam dimontasekan dengan proses penguburan jenazah korban Covid-19 di kota saat malam hari. Filem diakhiri dengan proses penguburan yang telah selesai dan serumpun Sedap Malam hinggap di atas tanah kuburan.     

Dalam diskusi sesudah pemutaran, Gembong Nusantara mengungkapkan bahwa ide untuk membingkai bunga sedap malam dalam kondisi kecamuk pandemi di Indonesia, merupakan suatu tawaran lain dari media massa yang menampilkan informasi pandemi yang semakin membuat masyarakat depresi. Begitu pula Hafiz Rancajale yang menganggap filem ini sebagai suatu temuan, suatu sudut pandang lain dalam kekelaman pandemi Covid-19 di Indonesia.

International Competition 06: What Can Non-Human Things Narrate Through Film?

What can non-human entities narrate through film? If commonly human subjects become the source of narrative in a film, or a character to weave the story, two films in Hafiz Rancajale‘s curatorial, International Competition 06: Framing Social Maladies, present issues mediated by non-humans: sex dolls and tuberose flower. The film, titled Broca’s Aphasia (2022) directed by Sung Ming-yen and Sedap Malam (2022) directed by Gembong Nusantara, was shown at bioskopforlen on 28 November 2022. Dolls and flowers in these films become a corpus in asking about itself and the issues that are bound up with it; social, economic and political.

Following a sex doll rental service with rooms like hotel rooms, the film Broca’s Aphasia frames dolls as goods and services for consumers. Transaction process, doll preparation, customer arrival, entry into the room, usage tutorial, consumer leaves, washes the doll, and prepares the doll again. Almost all processes involving sex dolls are recorded by the camera except what happens in the room, what consumers do with the dolls.

“. . . don’t squeeze her hands, her body is the same as ours,” said an employee giving a tutorial on using a doll to consumers. Service providers position sex dolls as “equivalent” to us humans, even if they are only limited to their utility, so that the dolls are not damaged and won’t have to undergo a difficult reparation process. The perception of sex dolls as “we” humans also exist in consumer perceptions, with the same position, their function as sexual facilitation.

Broca’s Aphasia presents the position of the sex doll as one of “us” through the humanized treatment towards them. Not only as economic capital and sexual means, but sex dolls are also imagined to be able to speak with a woman’s voice like a human being. This is achieved displaying visuals other than the sex dolls, but things outside the service area, such as the sky, trees, sewers, etc., with a woman’s voice that tells many things. This woman’s voice is assumed to be the voice of a sex doll in the wheel of economics and sexuality. The voice that makes sex dolls more human.

Meanwhile, Sedap Malam follows the journey of flowers from their garden in the suburbs to the city. These flowers, tuberose, are commonly planted at graves and blooms at night. The frames containing the tuberose flower are montaged with the burial process of Covid-19 victims in the city at night. The film ends with the burial process being completed and the Tuberose flowers landing on the graves.

During the Q&A session, Gembong Nusantara revealed that the idea was to frame the Sedap Malam flowers amid the raging pandemic in Indonesia, is an offer rather than the mass media that displays information about the pandemic which is increasingly depressing the public. Likewise, Hafiz Rancajale considers this film as a discovery, another perspective in the darkness of the Covid-19 pandemic in Indonesia.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Contact Us

We're not around right now. But you can send us an email and we'll get back to you, asap.

Not readable? Change text. captcha txt

Start typing and press Enter to search

X