Malam, 24 Agustus 2013, adalah sejarah. Festival filem pertama di Indonesia yang mengusung tiga gagasan sekaligus, “eksperimental”, “dokumenter” dan “dokumenter eksperimental”, dalam konteks wacana sinema, dan dihelatkan dalam skala internasional, Arkipel International Documentary & Experimental Film Festival 2013, dibuka dengan begitu elegan di GoetheHaus, Jl. Dr. Sam Ratulangi No. 9 – 15 Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat, DKI Jakarta.
Acara yang dinisiasi oleh Forum Lenteng ini berlangsung dari pukul 19:00 hingga 22:00 WIB, dan menayangkan lima filem, yakni Tears of Inge (2013) karya Alisi Telengut, J. Werier (2012) karya Rhayne Vermette, Momentum (2013) karya Boris Seewald, The Ghost and The Escarlate (2012) karya Julie Nguyen Van Qui, dan Hermeneutics (2012) karya Alexei Dmitriev. Lima filem tersebut dianggap oleh Arkipel sebagai contoh filem yang berhasil menyajikan capaian-capaian estetika yang dihadirkan secara baru dalam bahasa sinema.
Dalam kata sambutannya, Hafiz, Direktur Artistik Arkipel, yang juga merupakan Ketua Forum Lenteng, menegaskan bahwa Arkipel merupakan sebuah pernyataan dan kritik yang secara sadar diwacanakan oleh Forum Lenteng dalam menanggapi perkembangan sinema di Indonesia. Selama ini, wacana perfileman kita melulu berkiblat pada keberhasilan-keberhasilan yang ditakar melalui angka-angka dalam perhitungan industri. Selain itu, wacana sinema yang dikembangkan juga mengalami kebuntuan karena selalu merujuk pada bahasa filem yang itu ke itu saja, khususnya dokumenter, di mana masyarakat kita telah begitu lama dijejali dan terkontaminasi oleh dominasi bahasa dokumenter TV. Melalui penyelenggaraan festival ini, Forum Lenteng menyatakan bahwa kesadaran publik yang sangat perlu dibangun untuk mengembangkan wacana sinema, tidak lain, adalah kesadaran dan pemahaman terhadap estetika filem itu sendiri. Ada semacam niatan yang begitu kuat dari Forum Lenteng untuk memberitahu khalayak bahwa dalam sinema, eksperimentasi-eksperimentasi bahasa visual dalam film itu ada, tetapi bukan diada-adakan, dan bisa dinilai secara empirik serta dapat menjadi rujukan sahih bagi perkembangan ilmu pengetahuan yang lebih luas.
Selain sebagai usaha untuk memperkenalkan kepada masyarakat Indonesia tentang perkembangan wacana perfileman dunia saat ini, festival ini juga menjadi tawaran alternatif bagi khalayak terkait tontonan. Dalam perhelatan ini, masyarakat dapat melihat filem-filem yang memiliki eksperimentasi dalam bahasa-bahasa visualnya, yang mana selama ini jarang sekali dihadirkan kepada publik oleh media-media atau kanal-kanal tontonan di ranah mainstream.
Pada malam acara pembukaan festival tersebut, antusiasme pengunjung cukup besar. Hal itu dapat dilihat dari jumlah para hadirin yang memenuhi bangku penonton di ruangan auditorium GoetheHaus, yang ingin menonton tayangan lima filem pilihan yang diputar secara khusus di malam itu.
Malam pembukaan Arkipel International Documentary & Experimental Film Festival 2013 itu juga dimeriahkan oleh penampilan Dendang Belantara, yang membawakan beberapa lagu melalui permainan piano yang begitu menghibur para hadirin, dan pameran karya instalasi Ricky Janitra, Square Disintegrated (2013), sebuah karya yang mencoba memaknai kembali bagaimana sebenarnya konstruksi bahasa sinema Indonesia, di ruang Galeri GoetheHaus. Acara ditutup dengan kegiatan menyantap sajian yang dihidangkan di halaman belakang GoetheHaus.