Kelas Bersama Scott Miller Berry: Mengenal Seluloid sebagai Medium Awal Perekaman Gambar Bergerak
Berakhirnya ARKIPEL bromocorah – 7th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival masih belum meredupkan semangat para penyelenggara serta partisipan di dalamnya. Sebab sehari setelah penutupan ARKIPEL, kegiatan kelas praktik penggunaan seluloid filem diadakan di Forum Lenteng, Tanjung Barat, Jakarta Selatan. Kelas ini diisi oleh Scott Miller Berry. Kelas tersebut berisikan materi tentang pengoperasian kamera 16mm, cara memasang filem ke dalam kamera, mencuci filem, hingga melaksanakan pemutaran filem yang telah dilakukan oleh partisipan. Pada kelas kali ini, terdapat 9 orang partisipan, yaitu Valencia Winata, Maria Deandra, Taufiqurrahman, Afrian Purnama, Dhanurendra Pandji, I Gede Mika, Dhuha Ramadhani, Theo Nugraha dan saya sendiri. Beberapa orang lain yang tidak menjadi partisipan menjadi observer yang sesekali juga ikut mengalami proses interaksi dengan seluloid yang dibawa Scott.
Kelas yang berlangsung selama dua hari ini dimulai pada hari Selasa, 27 Agustus 2019 sejak pukul 13.00. Scott membuka acara dengan memutarkan filem-filem dari hasil workshop sebelumnya sebagai contoh kepada para partisipan. Kemudian ia melanjutkan acara dengan mendemonstrasikan cara pengoperasian kamera 16mm. Semua partisipan yang hadir memperhatikan dengan cermat dan penuh dengan rasa penasaran.
Selain itu, kami juga belajar bagaimana memasang gulungan filem ke dalam kamera. Awalnya kami mengalami kesulitan dalam pemasangan filem tersebut karena memang ukuran filem yang cukup kecil. Sebetulnya, proses pemasangan gulungan filem ke dalam kamera harus dilakukan di dalam kamar gelap yang kedap cahaya. Namun dalam kelas ini, kami melakukan hal tersebut di ruang yang bercahaya dengan menggunakan filem contoh sebagai latihan untuk memasang filem yang asli nantinya.
Acara berlanjut dengan mengoperasikan kamera dan mulailah para partisipan mengambil gambar. Sebetulnya, ketika menggunakan filem, penggunanya harus berhati-hati dalam mengambil gambar yang hendak direkam. Hal itu dikarenakan terbatasnya jumlah durasi gambar yang bisa direkam serta keterbatasan alat kamera yang bermesin mekanik tanpa listrik. Kami semua mulanya memang cukup hati-hati dan selektif dalam mengambil gambar. Namun, pada akhirnya kami cenderung mengikuti intuisi dalam pengambilan gambar dan kami sangat senang dengan kegiatan tersebut.
Hari pertama diakhiri dengan kegiatan mencuci filem. Beberapa dari partisipan ikut masuk ke dalam kamar gelap. Hanya dengan ditemani cahaya lampu merah, pandangan kami terbatas dan hanya mengandalkan rabaan saja. Larutan-lautan kimia diletakkan di dalam ember, dan seluloid siap untuk dicemplungkan ke dalamnya. Kurang lebih sekitar 10 menit, proses pencucian pun berakhir. Kami semua yang ada di dalam kamar gelap sangat kesilauan begitu keluar dari ruangan. Namun kesilauan tersebut langsung teralihkan dengan kegirangan dan kesenangan kami yang melihat munculnya gambar-gambar kecil dari seluloid hasil tangkapan gambar kami di sore itu.
Keesokan harinya, kurang lebih kami melakukan hal yang sama. Namun pada hari kedua, para partisipan dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama syuting dengan kamera, sedangkan kelompok yang kedua mengambil gambar-gambar dari tanaman. Mengambil gambar dari tanaman adalah salah satu eksperimentasi yang kami lakukan dengan seluloid. Metode in disebut dengen phytogram. Tanaman-tanaman, bunga, helaian rambut, bahkan makhluk hidup seperti semut kami jadikan bahan percobaan untuk diabadikan dalam seluloid. Objek-objek yang kami kumpulkan kemudian kami rendam di dalam larutan khusus yang terdiri dari boraks dan vitamin C. Selang 30 menit berlalu, objek-objek tersebut kami angkat lalu kami letakkan di atas seluloid. Objek-objek tersebut nantinya akan terekam ke dalam filem karena hasil rendaman yang telah kami lakukan. Selang beberapa jam berakhir, kelompok dua bertukar kegiatan dengan kelompok pertama.
Sama halnya seperti kemarin, kami mencuci kembali filem-filem yang telah digunakan untuk merekam. Kami sedikit mengalami kesulitan pada saat proses pengeringan. Kesulitan tersebut muncul karena gulungan filem yang hendak kami jemur sampai kering ukurannya terlalu panjang. Ia jadi mudah kusut dan sulit diatur. Namun dengan sabar kami mulai bisa mengatur filem tersebut agar bisa tergulung dengan rapi.
Puncaknya, gambar-gambar yang telah diambil dan kami cuci ditayangkan di proyektor 16mm. Kami tidak bisa membendung rasa gembira melihat gambar-gambar yang telah kami ambil terlihat hasilnya. Memang gambar tersebut tidak begitu mulus. Namun karena ini adalah sebuah pembelajaran, kami tidak begitu mempedulikan kualitas gambar yang dihasilkan.
Melalui kegiatan kelas seluloid yang telah terlewati, saya mempunyai sedikit gambaran mengenai proses perekaman gambar yang dilakukan oleh generasi pendahulu saya. Begitu terbatas material yang tersedia dan membutuhkan ketelitian yang cukup tinggi. Selama proses itu itu berlangsung, banyak pula kebutuhan-kebutuhan yang harus terpenuhi, salah satunya adalah membangun kamar gelap. Selain pengetahuan tentang gambar bergerak yang bertambah, saya juga belajar untuk menghargai proses, menghargai waktu, dan juga menghargai frame saat pengambilan gambar sedang berlangsung.
Saya menjadi teringat perkataan Afrian Purnama yang menjadi salah satu partisipan. Ia melontarkan pendapatnya pada hari pertama kelas, bahwa ia ingin tahu bagaimana prosesi ritual pengambilan gambar itu berlangsung. Saya menganggap bahwa mengambil gambar analog itu memanglah suatu ritual yang harus melalui prosesi yang panjang dari pemasangan filem ke dalam kamera, menyeleksi gambar-gambar yang ingin diambil, proses pencucian hingga bisa ditampilkan ke khalayak. Mengambil gambar menggunakan analog pada akhirnya tidak melulu soal perkara melihat hasil akhir dari apa yang diambil, namun hal ini adalah soal bagaimana kita menikmati kesulitan, kerepotan serta proses-proses yang terjadi di dalamnya.
Master Class with Scott Miller Berry: Getting to Know Celluloid as The Early Medium for Moving Image Recording
The end of ARKIPEL bromocorah – 7th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival doesn’t reduce the passion of its organizers and participants. Just a day after ARKIPEL’s closing night, a master class studying the use of celluloid in filmmaking was held in the headquarter of Forum Lenteng in Tanjung Barat, South Jakarta. Scott Miller Berry led this master class. The lessons were about exercise on using 16 mm camera, how to put a film in the camera, washing the film, up to the screening of a film made by the participants. In this occasion, there are 9 participants in the master class, namely Valencia Winata, Maria Deandra, Taufiqurrahman, Afrian Purnama, Dhanurendra Pandji, I Gede Mika, Dhuha Ramadhani, Theo Nugraha and myself. Some other Forum Lenteng’s member who wasn’t participant observed the process, and at times the joined the interaction with the celluloid Scott has brought.
The class was held for two days, started from Tuesday, 27 August 2019 since 1 PM. Scott opened the class by screening some films produced in his previous workshops as an example for the participants. Then he continued it by demonstrating the way to operate a 16 mm camera. All participants observed him full of curiosity.
Aside from that, we also learned to put the film roll into the camera. At first, we found it difficult because the size was quite small. Actually, the installation of a film roll to the camera must be done in the darkroom. However, in this class, we did it in a lighted room by using a sample film as an exercise to install the real one.
The class was continued by operating the camera, and the participants began to record. When using the film to record, the operator needs to be careful because of the limited duration of image to record and the limitation of this mechanic camera that doesn’t use any electricity in its mechanism. At first, we recorded carefully and selectively. But at last, we tend to follow our intuition during the recording process, and we were thrilled.
The activity of washing film ended our first day. Some participants went into the darkroom. Lighted by only red light, our vision was limited, and we used only our sense of touch. Chemical solutions were put in plastic buckets, and the celluloid was ready to dip into it. The washing process was ended in about 10 minutes. Those who went into the darkroom was dazzled by the light once they went out. But afterward, we were focused on our happiness in seeing small images on the celluloid as the result of our recording that afternoon.
The next morning, we also did similar activities. But that day, Scott divided the participants into two groups. The first group recorded images by using a camera, the second one recorded images by using plants. Capturing images by using plants is a kind of experiment we did by using celluloid. The method was named as phytogram. Plants, flowers, strains of hair, and even a creature such as dead ant were eternalized by using celluloid as part of our experiment. We dipped the collected objects into a special solution consisted of borax and vitamin C. The film could record those objects because of the chemical process we have done previously. After a few hours, the two groups exchanged activities. After about 30 minutes, those objects were taken out and pasted on the celluloid.
Same as yesterday, we washed the films we used to record. We experienced a slight difficulty during the drying process. It happened because the film roll was too long and it was easy to tangle. But patiently, we started to be able to organize the film and roll it back neatly.
The zenith of this master class was when we finally watched the films we have recorded and washed through a 16 mm projector. We were thrilled to see the result of the images we have recorded. The image might be not so smooth, but this is because we are still learning, and we didn’t mind so much about the image’s quality.
Through this master class, I personally get a glimpse of the recording process in the previous generations; the materials were minimal and it requires high precision. During those process, there are so many necessities we must fulfill; one of them is making a dark room. But aside from the growth of my knowledge about moving image, I also learn to respect the process, time, and the frame during the recording process.
I remember Afrian Purnama’s statement, who also participated in the master class. He uttered his opinion on the first day of the class, that he wishes to know the procession of image-making ritual occurs. I consider that analog film making process is a ritual that must undergo a long procession starting from installing the film to the camera, selecting the images to record, the washing process, till it can be screened to the public. Recording by using analog technology eventually is not only about the final result, but also about how we enjoy the difficulties and the process that happens within it.