Buy Ambien Cr Canada Dangers Of Buying Ambien Online Zolpidem Buy Uk India Ambien Online Order Ambien Online Uk
 In ARKIPEL 2019 - bromocorah, Festival Updates, International Competition
Bahasa Indonesia

Cermin pada Putaran yang Aneh

Di depan 18 pengunjung yang datang, Otty Widasari, sebagai selektor yang menghantarkan program Kompetisi Internasional 05: Perilaku Mimesis Evolusioner dalam Lingkaran yang Aneh, membuka sesi pemutaran yang berlangsung pada Kamis, 22 Agustus 2019, di Auditorium Goethehaus, dengan membacakan penggalan teks kuratorialnya. Ia menjelaskan bahwa  filem berjudul Weirdloop (2018) karya Alexander Cooper yang ditayangkan siang itu, dikirimkan oleh si sutradara dalam bentuk video blog (vlog) melalui kanal Youtube pribadinya.

Sebagaimana kita tahu, video blog merupakan fenomena kultural yang mencapai popularitasnya dengan mereplikasi diri melalui wadah budaya internet. Persebaran ide dan fenomena kultural ini, oleh Richard Dawkins, dijelaskan memiliki mekanisme yang sama untuk menjelaskan prinsip-prinsip evolusi pada aras genetika. Dawkins menyebut unit replikasi dalam evolusi budaya ini sebagai meme. Saya merujuk pengertian meme dari teks kuratorial Otty yang berbunyi, “Meme adalah imitasi dari ide, perilaku atau gaya yang menyebar dari orang ke orang di dalam tubuh kebudayaan”. 

Kiranya, untuk dapat memahami lebih jauh mengenai gagasan yang ditawarkan oleh Otty lewat kurasinya, kita perlu membaca filem karya Alexander Cooper berdurasi 131 menit ini melalui kerangka internet meme. Sutradara, menggunakan terma weirdloop atau “putaran yang aneh” sebagai alegori dari estetika meme. Sebaran informasi baik verbal maupun visual diolah oleh si sutradara sebagai kritik untuk merefleksikan pemikiran umum yang praktis mengenai keanehan-keanehan yang sebetulnya telah menjadi suatu kewajaran. Cooper secara berulang-ulang mewawancarai satu per satu pengalaman publik mengenai rutinitas yang secara umum dapat kita relasikan dengan kehidupan kita sehari-hari. Pengambilan gambar yang seakan-akan tanpa persiapan, impulsif, dan potongan adegan yang berantakan dijadikannya sebagai estetika sekaligus metode kritiknya. Alih-alih terkesan sinis, kritiknya justru mewujud dalam imajinasi atas tanda-tanda yang bersifat politis. Kesadaran kritik ini ditekankan kembali pada akhir filem, di mana Cooper menyatakan bahwa apa yang ada dalam filem hanyalah fiksi.

Saya mendapat berbagai macam respon seusai pemutaran filem. Luthfan Nur Rochman yang juga merupakan salah satu selektor Kompetisi Internasional ARKIPEL bromocorah, menyayangkan pernyataan yang ditampilkan Cooper pada bagian akhir filem. Menurutnya, pernyataan itu malah mematahkan imajinasi yang sudah terbangun dalam filem. Respon lainnya yang saya dapat dari beberapa penonton ialah tentang kesulitan mereka mengikuti filem tersebut. Selain karena durasinya yang cukup panjang, beberapa dialog dalam filem ini juga kerap tidak terdengar jelas. Saya pun tak luput dari kebingungan ketika menonton filem ini. Perasaan itu berlangsung sampai saya meninggalkan ruangan auditorium. “Apa yang baru saja saya tonton?” pikir saya. Sebab, saya seperti baru saja dijejali informasi tak bermakna. Namun, apa lagi capaian yang lebih tinggi dari seni, jika ia tidak menawarkan ruang kontemplasi? Setidaknya, saya merefleksikan kembali serbuan informasi yang saya konsumsi setiap hari.

 

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Contact Us

We're not around right now. But you can send us an email and we'll get back to you, asap.

Not readable? Change text. captcha txt

Start typing and press Enter to search

X