Penyelidikan Esaik Reruntuhan Sejarah Indonesia
Essayistic Investigation of Indonesia’s Historical Ruins
Host Luthfan Nur Rochman
29 September 2023 – 16.00
30 September 2023 – 13.00
Asia Tenggara dan Refleksi Kritis atas Ekspresi Pra-Kolonialnya
Bagaimana mendefinisikan ke-Indonesia-an merupakan pertanyaan yang terus menjadi topik utama sepanjang dialektika kebudayaan Indonesia. Kita mengingat Polemik Kebudayaan tahun 1920an yang menjadi pergulatan masyhur tentang strategi konstruksi kebudayaan kita. Di satu pihak, Sutan Takdir Alisyahbana berargumen bahwa hendaknya kebudayaan Indonesia bertolak dari hal yang sama sekali baru dengan memperhitungkan pengaruh Barat untuk menjadi bagian dari kebudayaan Dunia. Di sisi lain, Sanusi Pane menyatakan bahwa ke-Indonesia-an adalah semangat yang sudah ada semenjak era Kerajaan Hindu-Buddha dan seharusnya menjadi basis dari peradaban Indonesia ke depan. R.M. Ng. Poerbatjaraka, seorang filolog Jawa, mengambil posisi yang sama dengan Sanusi Pane, menekankan pada seleksi yang arif atas Barat-Timur dan kesinambungan kebudayaan dari masa silam ke masa depan. Penempatan identitas pra-kolonial di tengah arus modernitas menjadi paradoks yang sampai saat ini belum selesai di konteks Indonesia dan mungkin negara jajahan lain. Hal ini dan berbagai letupan geopolitis lain menyisakan kegamangan dalam menentukan bagaimana warisan tersebut menjadi bagian dari refleksi kritis proses menjadi sebuah negara-bangsa di Tenggara.
Batas-batas yang lentur karena migrasi dan feodalisme di kawasan Tenggara telah berlangsung sejak masa prasejarah dan melahirkan identitas pra-kolonial yang melintas kepulauan. Arus proto-globalisasi yang berbasis perdagangan maritim di kawasan ini berujung pada terjunnya para primus interpares atau yang utama dari yang utama di kawasan ini, dalam perputaran gagasan kosmopolitan yang muncul darinya: Kebudayaan India. Gagasan yang memberi perwajahan baru bagi bangunan batu gigantis tempat leluhur memuliakan moyangnya, mahkota dan bunga teratai untuk alas roh nenek moyang yang mangkat, aksara untuk melegitimasi pembebasan suatu desa dari pajak dan kalender Saka yang menentukan hari baik dan hari pasaran. Kosmopolitanisme ini melahirkan kosmos bersama atas Mahameru-mahameru (Gunung Suci dalam kosmologi Hindu dan Buddha) yang terhampar antara Himalaya sampai Pegunungan Iyang (Jawa Timur). Disrupsi terjadi karena perdagangan inter kepulauan lebih lanjut dan konflik internal feodalisme menjadikan beberapa lokasi mengadopsi Islam dan kembali dominannya Buddha Theravada yang menekankan pada ekspresi artistik, ritual dan pranata feodal yang berbeda. Bangunan gigantis dari masa sebelumnya beralih fungsi, diabaikan atau bahkan dihancurkan karena perbedaan orientasi.
Istilah Hindia Timur, Indocina, Kepulauan Malaya, sendiri menjadi hal yang terperi semenjak kolonialisme mengutak-atik batas-batas lentur kawasan ini ke dalam enklave-enklave jajahan Eropa: Portugis, Spanyol, Inggris, Prancis dan Belanda. Obsesi pembaptisan dan pencerahan yang dibawa oleh Eropa mengklasifikasi reruntuhan bangunan gigantis ini dalam Wunderkammer mereka. Wunderkammer atau dalam bahasa Inggris dapat diartikan Cabinet of Wonder, merupakan terma penting ketika kita membicarakan asal-usul ilmu arkeologi yang mengklasifikasi benda-benda tersebut. Ilmu yang pada hakikatnya lahir dari tradisi Barat dan keterpukauan terhadap masa lalu yang adiluhung ini, melihat masa lalu dengan romantik yang penuh sentimentalisme. Temuan-temuan eksotis dari wilayah bernaga dalam peta kuno Eropa ini disimpan dalam almari yang menunjukkan daya penaklukkan dan penemuan. Kesamaan kultural di kawasan ini dibaca oleh ilmuwan modern sebagai Greater-India ataupun kawasan yang ter-Indianisasi (Coedes, 1968) dalam risalah-risalah kanon ilmu sejarah oleh para ilmuwan Barat maupun India. Pembacaan sistematis atas fragmen-fragmen inskripsi-inskripsi kuno dan naskah merelasikan sejarah regional kawasan yang oleh batas administratif kolonialisme kurang berbunyi secara lantang dalam menyuarakan integrasi kawasan.
Di Indonesia sendiri, inventarisasi reruntuhan bangunan masa Hindu-Buddha di pulau Jawa dalam karya monumental Raffles, “History of Java” yang ditulis selama 5 tahun masa administrasinya di Jawa (1811-1816), memicu sebuah penyelidikan sistematis atas sejarah Jawa di masa selanjutnya. Sebelumnya, artefak-artefak dan reruntuhan tersebut rata-rata diselimuti oleh legenda dan kepercayaan lokal yang dapat berbuntut kemalangan bagi para penjamahnya, dan sebagian memang terkubur di bawah abu vulkanis atau endapan yang berabad. Analisa klinis atas temuan artefak-artefak dan situs ini menekankan pada evolusi artistik dan distribusi kebudayaan dari masa jauh sebelum pribumi menjadi kelas ketiga dalam hierarki masyarakat dunia yang dibawa kolonial. Analisis ini menjadi pijakan dalam mempersepsi tinggalan kebudayaan ini menjadi ‘kejayaan masa lampau’ seperti budaya Eropa melihat sisa Yunani Kuno sebagai ‘Golden Age’. Oudheidkundige Dienst atau Dinas Purbakala pemerintah Kolonial Belanda yang mengumpulkan para arkeolog amatir sebelumnya, sejarawan seni dan filolog secara sistematis merestorasi bangunan-bangunan kuno gigantis dan menjahit naratif sejarah menjadi basis pembangunan imajinasi atas supremasi Jawa dan kemudian Sumatera dalam arena politik masa lampau di kawasan Tenggara.
Asia Tenggara dari terma Teater Operasi Asia Tenggara di Perang Dunia II oleh para sekutu menjadi terma yang nyaris definitif mengidentifikasi kawasan ini. Pembacaan ini memiliki konsekuensi juga dalam pembangunan identitas regional maupun identifikasi lokasi spesifik dalam perang ideologi para Adikuasa di masa selanjutnya. Batas baru warisan administrasi kolonial yang menguasai wilayah di Tenggara, dalam konteks Indonesia dari Sabang sampai Maluku, pasca kesepakatan Konferensi Meja Bundar, memberikan kerangka kerja yang hampir sama seperti masa sebelumnya. Namun, ilmuwan pribumi meneruskan jejak-jejak guru kolonialnya dengan konteks emosional yang berbeda. Romantisme atas masa lalu ini disegarkan oleh nasionalisme dari negara-bangsa yang baru merdeka. Kejayaan Sriwijaya dan Majapahit, imperium yang selain meninggalkan artefak yang indah, juga mewariskan jejak pengaruh administratif yang luas dan perangkat birokrasi yang canggih, menjadi basis imajinasi nation-building Indonesia. Penyelesaian restorasi Candi Prambanan tahun 1954 menjadi monumen yang menyatukan keberagaman Indonesia juga menjadi upaya Soekarno dalam menjahit narasi pencapaian luhur nenek moyang Indonesia ke dalam negara baru yang majemuk.
Nuansa di belakang penulisan sejarah itulah yang kami, Forum Lenteng, coba tangkap dalam platform riset dan belajar kami yang terbaru, Candikala. Sejak kegiatan belajar sejarah seni kami di Milisifilem Collective, kami mulai melihat bahwa sejarah Indonesia sangat terjerat dengan permasalahan yang mengakar, yaitu celah ketidakpahaman pada kebudayaan pra-kolonial. Kami mulai berpikir ulang tentang historiografi Indonesia, terutama yang berkaitan dengan budaya material, dan menemukan banyak sekali area yang tidak jelas yang ditafsirkan melalui kacamata, jika bukan bias Barat, maka hal tersebut jelas-jelas terlihat nasionalistik. Banyak dari memori yang tidak jelas ini juga kurang terwakili dalam lanskap seni rupa kontemporer Indonesia, baik dalam karya seni maupun proyek kuratorial.
Melalui Candikala, kami ingin mengembangkan keterampilan praktik penelitian kami, yang selama ini berkutat di ranah seni dan media kontemporer, untuk menemukan cara baru untuk menavigasi temuan artefak, arsip sejarah, situs sejarah, dan sejarah lisan ke dalam isu-isu kontemporer yang mendesak. Untuk bisa melihat wacana global sejarah dan seni dari dekat, belajar dan melupakan-pelajaran dari institusi yang berkomitmen untuk menemukan perspektif baru dalam historiografi adalah penting bagi kami yang mulai mengakses wacana terkini di bidang arkeologi, filsafat dan kaitannya dengan konteks sosio-politik di Indonesia dan dunia.
Metode Esaik Candikala
Teknologi reproduksi mekanis, yaitu fotografi dan lalu sinema, lahir di masa yang spesifik dalam perkembangan cara berpikir manusia. Kelahirannya merupakan puncak materialisasi gagasan terkait teori optik, mekanika dan kimia ilmu cetak, serta obsesi mendekatkan kenyataan dari para ilmuwan maupun seniman. Imaji-imajinya memicu perubahan dalam cara manusia melihat dunia dan tentu melahirkan konsekuensi etis yang beragam pula dalam kehidupan. Latarnya, pemikiran Era Pencerahan dan kolonialisme, menyambutnya gempita. Ia menjadi aparatus komunitas akademis dan birokrat untuk merekam eksotika negara jajahan, memetakan potensinya dan memamerkan keberhasilan ikhtiar pemakmuran mereka. Imaji-imaji ini turut mengkonstruksi ilmu pengetahuan yang didasarkan asumsi penuh bias para begawan Barat. Maka kesadaran kritis akan konstruksi imaji ini yang memandu Candikala memilih montase dalam filem sebagai titik berangkat untuk memberikan narasi tanding terhadap wacana sejarah.
Semenjak pendirian Oudheidkundige Dienst, dunia arkeologi Indonesia melewati berbagai perubahan paradigma ilmu arkeologi, temuan-temuan baru, dan perkembangan teknologi bantu arkeologi. Kritik dan revisi menandai dialektika yang memberikan arkeologi Indonesia bentuknya yang sekarang. Dalam perkembangan teknologi media baru, ilmu arkeologi dan penulisan sejarah mendapatkan ilmu bantu yang dapat mengurai masa lalu dengan lebih tajam. Penggunaannya dalam pengumpulan, analisis, serta eksplanasi data sejarah sudah dapat kita nikmati hari ini. Namun yang banyak belum disadari adalah: media baru tidak hanya berpotensi utilitas atau komplementer saja, ia justru berpotensi filsafat dan epistemologis juga. Artefak yang merupakan manifestasi artistik dari nenek moyang kita sampai ke depan mata kita saat ini yang sudah terbiasa dengan budaya layar. Upaya presentasi dengan film, animasi, VR, AR sudah digalakkan untuk membuat informasi sejarah lebih menarik, akan tetapi bagaimana dengan potensi filsafat dari medium media baru itu sendiri? Hal tersebut yang ingin dibedah dalam platform ini: bagaimana mempertemukan sejarah ilmu arkeologi dengan perkembangan seni dan filem bisa merefleksikan perubahan persepsi publik terhadap sejarahnya sendiri.
Untuk mencari jalan tengah antara pemikiran historis dan cara produksi seni kontemporer yang spekulatif, karya filem di Candikala saat ini berkisar pada narasi besar dan membedah naratologinya. Proses kreatif kami mencakup mengkaji ulang mitologi Hindu dan Jawa, prasejarah dan sejarah global dan lokal, serta sejarah representasi visual. Dengan menginvestigasi naratologi, pendekatan kami adalah menelusuri fragmen-fragmen masa lalu di tengah masyarakat untuk menemukan narasi kecil dari masa lalu dan hari ini. Permainan representasi visual dari narasi besar yang dikonstruksi para arkeolog dan sejarawan disandingkan dengan montase narasi kecil yang berasal dari upaya penyelidikan maupun tafsiran sendiri para agen-agen sejarah di hari ini dan pergulatan mereka dengan berbagai tantangan kontemporer.
Maka dalam platform Candikala, kami memulai dengan menempatkan Monumen Hindu-Buddha Kuno Indonesia dalam konteks isu-isu kontemporer, baik bagaimana sejarahnya direpresentasikan dalam kurikulum sekolah, situasi pariwisata saat ini, dan bagaimana monumen tersebut digunakan sebagai landasan pembangunan bangsa. Metode yang kami gunakan adalah membuat karya seni berbasis riset berupa filem esai dan instalasi seni yang mengkaji produksi ilmu pengetahuan dalam arkeologi Indonesia dan pameran yang menggali lebih dalam persoalan sejarah dalam praktik kesenian. Filem esai menjadi bentuk yang menarik karena kumpulan fakta yang berdialektika dengan sejarah personal para pembuat filemnya menjadikan interpretasi yang lebih spekulatif atas historiografi dan dapat menawarkan relasi yang lebih afektif pada penonton.
Langkah yang cukup besar ini pun kami mulai kelola dengan memecah persoalan untuk kami pahami dengan lebih tajam. Tema besar pertama yang menjadi landasan berpikir dalam pembuatan filem esai Candikala adalah kedatangan, adaptasi dan pencanggihan pengaruh Hindu-Buddha di Nusantara yang melahirkan tiga filem yang menyelidiki candi-candi “monumental” dalam sejarah Indonesia. Filem-filem tersebut antara lain adalah “Terakota Batujaya” (Realisasi: Hafiz Rancajale & Luthfan Nur Rochman (Sutradara), Dini Adanurani, Dhanurendra Pandji, Eko Yulianto), “Siwalaya” (Realisasi: Afrian Purnama & Yuki Aditya (Sutradara), Prashasti Wilujeng Putri, Robby Ocktavian), dan “Alkisah Timur” (Realisasi: Otty Widasari (Sutradara), Eko Yulianto, Wahyu Budiman Dasta, Luthfan Nur Rochman). Sedangkan tema besar kedua adalah Candi dan Kondisi Geografis Nusantara, yang menghasilkan “Batu-batu di Ketinggian” (Realisasi: Hafiz Rancajale & Luthfan Nur Rochman (Sutradara), Wahyu Budiman Dasta, Eko Yulianto, Adi Osman, Syahrullah) dan “Swarnadwipa” (Realisasi: Hafiz Rancajale & Luthfan Nur Rochman (Sutradara), Wahyu Budiman Dasta, Eko Yulianto, Adi Osman). Dengan investigasi esaik dari para sineas, filem-filem ini lebih banyak mengajukan pertanyaan yang kami harap mengundang para penonton untuk bersama memikirkan ikhtiar pengelolaan pengetahuan dan aspek fisik dari sejarah Indonesia dan juga kawasan kita.
Platform ini sendiri juga berkembang dengan bantuan produksi penuh dari Direktorat Perfilman, Musik, dan Media (PMM) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Indonesia, dan diperkaya lewat jaringan dunia seni, arkeolog, akademisi, Dinas Arkeologi, dan juru pelihara situs warisan budaya setempat. Mekanisme ‘teaching to unlearn’ dan pembelajaran afektif dengan berbagai pihak sangat diperlukan untuk mendekonstruksi gagasan mengagungkan budaya adiluhung yang lama ditanamkan pada mayoritas masyarakat Indonesia oleh Rezim Orde Baru yang sangat sentralistik. Refleksi kritis terkait sejarah kebudayaan kita mungkin menjadi sebuah langkah awal memikirkan imajinasi regional dan bahkan global, melampaui batas administratif anyar yang kaku hari-hari ini, untuk memecahkan masalah-masalah kemanusiaan yang genting.
Southeast Asia and Critical Reflections on Its Pre-Colonial Expressions
How to define Indonesian-ness is a question that continues to be a major topic throughout Indonesia’s cultural dialectic. We remember the Cultural Polemics of the 1920s which became a famous struggle about the strategy of our cultural construction. On the one hand, Sutan Takdir Alisyahbana argued that Indonesian culture should start anew by considering Western influences to become part of World culture. On the other hand, Sanusi Pane argued that Indonesian-ness is a spirit that has existed since the era of the Hindu-Buddhist Kingdom and should be the basis of Indonesian civilization in the future. R.M. Ng. Poerbatjaraka, a Javanese philologist, took a similar position to Sanusi Pane, emphasizing the wise selection of West-East and the continuity of culture from past to future. The placement of pre-colonial identities in the midst of modernity is a paradox that has yet to be resolved in the context of Indonesia and perhaps other colonized countries. This and other geopolitical upheavals have left us uncertain as to how this legacy can be part of a critical reflection on the process of becoming a nation-state in the Southeast.
Flexible boundaries due to migration and feudalism in the Southeast have been in place since prehistoric times and generated pre-colonial identities that crossed islands. The proto-globalization based on maritime trade in the region led to the immersion of the primus interpares of the region in the cycle of cosmopolitan ideas that emerged from it: Indian culture. An idea that gave a new face to gigantic stone buildings where ancestors venerated their ancestors, crowns and lotus flowers for the spirits of departed ancestors, scripts to legitimize a village’s exemption from taxes and the Saka calendar that determined auspicious days and market days. This cosmopolitanism gave birth to a shared cosmos of Mahameru (Sacred Mountains in Hindu and Buddhist cosmology) spread between the Himalayas to the Iyang Mountains (East Java). Disruptions due to further inter-island trade and internal conflicts of feudalism led to some locations adopting Islam and a return to the dominance of Theravada Buddhism which emphasized different artistic expressions, rituals and feudal institutions. Gigantic buildings from earlier times were repurposed, neglected or even destroyed due to different orientations.
The terms East Indies, Indochina, the Malay Archipelago, itself became a thing of the past as colonialism tinkered with the region’s flexible boundaries into European colonial enclaves: Portuguese, Spanish, British, French and Dutch. The European obsession with baptism and enlightenment classified these gigantic ruins in their Wunderkammer. Wunderkammer, or Cabinet of Wonder, is an important term when we talk about the origins of the science of archaeology that classifies these objects. This science, which was essentially born out of the Western tradition and fascination with the glorious past, looks at the past with sentimentalized romanticism. The exotic finds of the region on the ancient maps of Europe are stored in cabinets that show the power of conquest and discovery. The cultural commonalities of the region are read by modern scholarship as Greater-India or the Indianized region (Coedes, 1968) in canonical treatises on history by both Western and Indian scholars. A systematic reading of fragments of ancient inscriptions and manuscripts relates the regional history of a region that was rendered less vocal by colonialism’s administrative boundaries in its call for regional integration.
In Indonesia in particular, the inventory of Hindu-Buddhist ruins on the island of Java in Raffles’ monumental work, “History of Java”, written during his five-year administration in Java (1811-1816), triggered a systematic investigation into the subsequent history of Java. Previously, the artifacts and ruins were mostly shrouded in local legends and beliefs that could bring misfortune to the explorers, and some were buried under centuries of volcanic ash or sediment. The clinical analysis of these artifacts and sites emphasizes the artistic evolution and cultural distribution from a time long before indigenous people became a third class in the colonial hierarchy of world society. This analysis provides the basis for perceiving these cultural remains as ‘glories of the past’ in the same way that European culture perceived the remnants of Ancient Greece as a ‘Golden Age’. The Dutch colonial government’s Oudheidkundige Dienst or Department of Antiquities, which brought together former amateur archaeologists, art historians and philologists, systematically restored gigantic ancient buildings and stitched together historical narratives to form the basis for imagining the supremacy of Java and later Sumatra in the political arena of the Southeast.
Southeast Asia, from the theater of operations in World War II coined by the Allies, became an almost definitive term identifying the region. This reading had consequences for the construction of regional identities as well as the identification of specific locations in the subsequent ideological wars of the superpowers. The new boundaries of the colonial administrative legacy that controlled the Southeast, in the Indonesian context from Sabang to Maluku, after the Round Table Conference agreement, provided a framework that was much the same as before in archaeological works. However, indigenous scientists continued in the footsteps of their colonial masters with a different emotional context. This romanticism of the past was invigorated by the nationalism of the newly independent nation-states. The glories of Srivijaya and Majapahit, empires that not only left behind beautiful artifacts, but also extensive administrative influence and sophisticated bureaucratic tools, became the basis of Indonesia’s nation-building imagination. The completion of the restoration of Prambanan Temple in 1954 to become a monument that unites Indonesia’s diversity was also Soekarno’s effort in sewing the narrative of the glorious achievements of Indonesia’s ancestors into a new pluralistic country.
The nuances behind writing history is what we, Forum Lenteng, try to capture in our latest research and learning platform, Candikala. Since our art history learning activities at Milisifilem Collective, we began to see that Indonesian history is deeply entangled with deep-rooted problems, namely the gap of not understanding pre-colonial culture. We started to rethink the historiography of Indonesia, especially with regards to material culture, and found a lot of obscure areas that were interpreted through the lens of, if not a Western bias, then a decidedly nationalistic one. Many of these obscure memories are also underrepresented in the contemporary Indonesian art landscape, both in artworks and curatorial projects.
Through Candikala, we want to develop the skills of our research practice, which has been in the realm of contemporary art and media, to find new ways to navigate the findings of artifacts, historical archives, historical sites, and oral histories into urgent contemporary issues. To be able to see the global discourses of history and art more closely, learning and unlearning from institutions committed to finding new perspectives in historiography is important for those of us who are beginning to access current discourses in archaeology, philosophy and their relation to socio-political contexts in Indonesia and the world.
Candikala Essayistic Method
The technologies of mechanical reproduction, namely photography and later cinema, were born at a specific time in the development of human thinking. It was the culmination of the materialization of ideas related to optical theory, the mechanics and chemistry of printmaking, and the obsession with bringing reality closer to scientists and artists. Its imagery triggered changes in the way humans saw the world and, of course, led to diverse ethical consequences in life. Its foundation, Enlightenment thinking and colonialism, welcomed it enthusiastically. It became the apparatus of the academic community and bureaucrats to record the exotica of colonized countries, map their potential and showcase the success of their prosperity efforts. These images helped construct science based on the biased assumptions of Western scholars. It was this critical awareness of the construction of images that guided Candikala to choose montage in film as a point of departure to provide a counter-narrative to historical discourse.
Since the establishment of the Oudheidkundige Dienst, Indonesian archaeology has gone through many paradigm shifts, new discoveries and developments in archaeological assistive technology. Criticism and revision marked the dialectic that gave Indonesian archaeology its current form. In the development of new media technologies, archaeology and history writing have gained tools that can unravel the past more sharply. The use of such tools in the collection, analysis and explication of historical data is already upon us today. But what many do not realize is that: new media is not only potentially for utilities or complementary, it has philosophical and epistemological potential as well. Artifacts that are artistic manifestations of our ancestors come before the eyes of those of us today who are accustomed to screen culture. Presentation efforts with film, animation, VR, AR have been encouraged to make historical information more interesting, but what about the philosophical potential of the new media medium itself? This is what this platform aims to explore: how bringing together the history of archaeology with the development of art and film can reflect the changing public perception of its own history.
In search of a middle ground between historical thinking and speculative contemporary modes of art production, the current film work at Candikala revolves around grand narratives and dissects its narratology. Our creative process involves revisiting Hindu and Javanese mythology, global and local prehistory and history, and the history of visual representation. By investigating narratology, our approach is to trace fragments of the past in society to find small narratives of the past and present. Visual representations of grand narratives constructed by archaeologists and historians are juxtaposed with montages of small narratives derived from the investigative efforts and self-interpretations of today’s historical agents and their struggles with contemporary challenges.
So in the Candikala platform, we started by placing Indonesia’s Ancient Hindu-Buddhist Monuments in the context of contemporary issues, both how its history is represented in the school curriculum, the current situation of tourism, and how the monuments are used as a foundation for nation building. Our method is to create research-based artworks in the form of essay films and art installations that examine the knowledge production in Indonesian archaeology and exhibitions that delve deeper into historical issues in artistic practice. The essay film is an interesting form because the collection of facts that in dialogue with the personal history of the filmmakers makes a more speculative interpretation of historiography and can offer a more affective relationship to the audience.
We began to manage this quite big step by breaking down the thematic problem for us to understand more sharply. The first major theme that became the basis for thinking in making the Candikala essay film was the arrival, adaptation and tinkering of Hindu-Buddhist influences in the archipelago, which gave birth to three films investigating “monumental” temples in Indonesian history. The films include “Terracotta of Batujaya” (Realization: Hafiz Rancajale & Luthfan Nur Rochman (Directors), Dini Adanurani, Dhanurendra Pandji, Eko Yulianto, Alifah Melisa), “Siwalaya (Realm of Shiva)” (Realization: Afrian Purnama & Yuki Aditya (Directors), Prashasti Wilujeng Putri, Robby Ocktavian), and “Alkisah Timur (Tale of The East)” (Realization: Otty Widasari (Director), Eko Yulianto, Wahyu Budiman Dasta, Luthfan Nur Rochman). The second major theme was Temples and Geographical Conditions of the Archipelago, which resulted in “Holy Stones Above Us” (Realization: Hafiz Rancajale & Luthfan Nur Rochman (Director), Wahyu Budiman Dasta, Eko Yulianto, Adi Osman, Syahrullah) and “Swarnadwipa” (Realization: Hafiz Rancajale & Luthfan Nur Rochman (Directors), Wahyu Budiman Dasta, Eko Yulianto, Adi Osman). With essayistic investigations from the filmmakers, these films ask more questions that we hope invite the audience to think together about knowledge production efforts and the physical aspects of the history of Indonesia and our region.
The platform itself was also developed with full production support from the Directorate of Film, Music and Media (PMM) of the Indonesian Ministry of Education, Culture, Research and Technology, and enriched through a network of the art world, archaeologists, academics, the Department of Archaeology, and custodians of local cultural heritage sites. The mechanism of ‘teaching to unlearn’ and affective learning with various parties is needed to deconstruct the idea of glorifying the noble culture that was long instilled in the majority of Indonesians by the highly centralized New Order regime. Critical reflection on our cultural history might be a first step to thinking about regional and even global imaginations, beyond today’s rigid new administrative boundaries, to solve critical humanitarian problems.
Film List
Siwalaya
Realm of Shiva
Filmmaker Afrian Purnama, Yuki Aditya
Country of Production Indonesia
Language Bahasa Indonesia
Subtitle English
90 min, Surround, Color, 2022
Siwalaya, yang berarti alam siwa. Tempat di mana kelahiran, kejayaan dan kehancuran berada dalam garis-garis lingkaran sempurna. Di Siwalaya terdapat bangunan peribadatan yang sudah berdiri berabad-abad; mengalami perubahan sejarah alam dan manusia. Bagi kita yang hidup saat ini, apa artinya bangunan tersebut yang sudah berjarak kultur dan waktu ratusan tahun?
Siwalaya, which means the realm of Shiva. A place where birth, glory and destruction are within the lines of a perfect circle. In Siwalaya there is a worship building that has stood for centuries; experiencing the changes of natural and human history. For those of us living today, what does it mean that the building is hundreds of years away in culture and time?
Afrian Purnama adalah seorang penulis, periset seni, pembuat film, dan kurator film. Redaktur dan editor pelaksana di Jurnal Footage dari 2016 hingga 2022. Sutradara Golden Memories-Petite Histoire of Indonesian Cinema. Sinematografer Amrus Natalsya yang Membuat Kembali Keluarga Tandus Disendja. Ko-Kurator pameran film Kultursinema, dan beberapa kali menjadi kurator di festival Arkipel – Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival.
Produser dan pembuat filem Yuki ADITYA (1980, Indonesia) lulus dari Universitas Indonesia, jurusan Administrasi Fiskal, dan bekerja sebagai pemeriksa pajak di Jakarta. Sejak 2013, ia adalah Direktur Festival ARKIPEL International Documentary and Experimental Film Festival. Ia bekerja sebagai co-director bersama I Gde Mika dalam film The Hypothesis of Wandering Images of Jakarta (2021) dan Segudang Wajah Penantang Masa Depan (2022).
Afrian Purnama is a writer, art researcher, filmmaker and film curator. Editor and managing editor at Jurnal Footage from 2016 to 2022. Director of Golden Memories-Petite Histoire of Indonesian Cinema. Cinematographer of ‘Amrus Natalsya yang Membuat Kembali Keluarga Tandus Disendja’. Co-Curator of the Kultursinema film exhibition, and several times curator at the Arkipel – Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival.
Producer and filmmaker Yuki ADITYA (1980, Indonesia) graduated from University of Indonesia, majoring in Fiscal Administration, and worked as a tax auditor in Jakarta. Since 2013, he is the Festival Director of ARKIPEL International Documentary and Experimental Film Festival. He worked as a co-director with I Gde Mika on the films The Hypothesis of Wandering Images of Jakarta (2021) and The Myriad of Faces of Future Challengers (2022).
Batu-batu di Ketinggian
Holy Stones Above Us
Filmmaker Hafiz Rancajale, Luthfan Nur Rochman
Country of Production Indonesia
Language Bahasa Indonesia
Subtitle English
90 min, Surround, Color, 2023
Cordillera atau Pegunungan Serayu Utara yang memuat gugus gunung api aktif seperti Ungaran dan Sindoro, serta Kaldera Dieng menjadi titik awal bagi masyarakat Jawa bagian Tengah. Sisa-sisa monumen Batu Andesit yang dilansir oleh para ahli arkeologi merentang dari abad 2 hingga 7 Masehi di wilayah ini menampakkan simbiosis yang berlanjut pada Dewa Gunung. Lokus geografis yang menyediakan abu vulkanik melimpah bagi agrikultur menandakan persemayaman Dewa-dewi yang memberikan kehidupan. Masa lalu dan masa kini bertaut dengan kabut yang menyelimuti 1000 tahun peradaban manusia di kawasan Percandian Dieng-Gedong Songo-Situs Liyangan.
The Cordillera or North Serayu Mountains that contain active volcanic clusters such as Ungaran and Sindoro, and the Dieng Caldera are the starting point for the people of Central Java. The remains of Andesite Stone monuments reported by archaeologists from the 2nd to 7th century AD in this region reveal a continuing symbiosis with the Mountain Gods. The geographical locus that provides abundant volcanic ash for agriculture signifies the abode of life-giving deities. The past and present intertwine with the mist that shrouds 1000 years of human civilization in the Dieng-Gedong Songo-Liyangan Temple area.
Hafiz Rancajale (Pekanbaru, 1971) adalah seniman, pembuat filem, kurator, dan salah satu pendiri Forum Lenteng. Menamatkan pendidikan Seni Murni di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), dan kini menjadi Ketua Forum Lenteng dan juga Direktur Artistik ARKIPEL. Tahun 2017-2018, ia adalah kurator Pekan Seni Media yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bekerja sama dengan Forum Lenteng. Tahun 2019, ia ditunjuk menjadi juri kompetisi Tiger Award di Festival Film Internasional Rotterdam (IFFR). Filem-filemnya seperti Alam Syuhada (2005); Dongeng Rangkas (2008); Anak Sabiran, Di Balik Cahaya Gemerlapan (2013); dan DOLO (2021) diputar di berbagai festival nasional dan mancanegara.
Luthfan Nur Rochman merupakan seorang pembuat film, kurator, dan penulis, juga anggota aktif Forum Lenteng dan penyelenggara ARKIPEL, Jakarta Documentary & Experimental Film Festival sejak 2018. Sekarang, dia berfokus pada Milisifilem, sebuah kelompok belajar produksi film melalui praktik eksperimentasi visual, yang digagas oleh Forum Lenteng. Dengan latar belakang arkeologi, karya Luthfan kerap membedah lapisan-lapisan historiografi berbagai produksi kebudayaan.
Hafiz Rancajale (Pekanbaru, 1971) is an artist, filmmaker, curator, and co-founder of Forum Lenteng. He graduated from the Art Institute of Jakarta (IKJ), and is now the Chairman of Forum Lenteng and the ARKIPEL Artistic Director. In 2017-2018, he is the curator of Pekan Seni Media organized by the Ministry of Education and Culture in cooperation with Forum Lenteng. In 2019, he was appointed as one of the jury for Tiger Award category in International Film Festival Rotterdam (IFFR). His films such as Alam Syuhada (2005); Dongeng Rangkas (2008); Anak Sabiran, Di Balik Cahaya Gemerlapan (2013); dan DOLO (2021) was screened in various local and international film festivals.
Luthfan Nur Rochman is a filmmaker, curator, and writer, as well as an active member of Forum Lenteng and organizer of ARKIPEL, the Jakarta Documentary & Experimental Film Festival since 2018. Currently, he focuses on Milisifilem, a film production learning group through visual experimentation practices, initiated by Forum Lenteng. With a background in archaeology, Luthfan’s work often dissects the layers of historiography of various cultural productions.
About the Host
Luthfan Nur Rochman
Luthfan Nur Rochman merupakan seorang pembuat film, kurator, dan penulis, juga anggota aktif Forum Lenteng dan penyelenggara ARKIPEL, Jakarta Documentary & Experimental Film Festival sejak 2018. Sekarang, dia berfokus pada Milisifilem, sebuah kelompok belajar produksi film melalui praktik eksperimentasi visual, yang digagas oleh Forum Lenteng. Dengan latar belakang arkeologi, karya Luthfan kerap membedah lapisan-lapisan historiografi berbagai produksi kebudayaan.
Pada 2019, ia mengkurasi Pameran Tunggal Dhanurendra Pandji: Remembrance of Things Past di Forum Lenteng. Baru-baru ini, Luthfan menulis sebuah karya tentang monograf film Indonesia tahun 1953, Harimau Tjampa, dan mengkurasi pameran tunggal Otty Widasari: PARTISAN di Galeri Nasional Indonesia. Ia sedang mengembangkan Program Candikala di Forum Lenteng, yang mencoba mengontekstualisasikan warisan Hindu-Budha di Indonesia melalui praktik seni.
Luthfan Nur Rochman
Luthfan Nur Rochman is a filmmaker, curator, and writer, as well as an active member of Forum Lenteng and organizer of ARKIPEL, the Jakarta Documentary & Experimental Film Festival since 2018. Currently, he focuses on Milisifilem, a film production learning group through visual experimentation practices, initiated by Forum Lenteng. With a background in archaeology, Luthfan’s work often dissects the layers of historiography of various cultural productions.
In 2019, he curated Dhanurendra Pandji’s Solo Exhibition: Remembrance of Things Past at Forum Lenteng. Most recently, Luthfan wrote a work on the 1953 Indonesian film monograph, Harimau Tjampa, and curated the solo exhibition Otty Widasari: PARTISAN at Galeri Nasional Indonesia. He is currently developing Forum Lenteng’s Candikala Program, which attempts to contextualize Indonesia’s Hindu-Buddhist heritage through art practice.