Memetakan Kisi-kisi
Mapping the Grid
Kurator Dini Adanurani
29 & 30 September 2023 – 19.00
Di era ketika kesadaran ‘melihat’ dan ‘terlihat’ menjadi lebih penting dari sebelumnya, timbul kesadaran yang lebih besar untuk membaca posisi diri kita dan sekeliling dalam sebuah grid atau garis kisi-kisi yang terus bertumbuh—sebentuk peta terbesar yang pernah ada.
Logika kisi-kisi ini muncul ketika membayangkan diri kita sebagai unit-unit data yang saling terhubung, namun juga mewujud secara visual ketika melihat informasi yang kita konsumsi hari ini sebagai kumpulan data. Ia mengandaikan adanya posisi, komposisi, kemungkinan untuk bergerak, jarak, dan durasi yang bisa dihitung secara kuantitatif. Makin teranglah di tanah mana kita berpijak, ke mana angin berhembus, dan kepada siapa keberuntungan berpihak di antara garis-garis yang saling berpotongan dan terus merangkai dirinya.
Sadar atau tidak, ekosistem media yang demikian mempengaruhi kerangka berpikir di balik karya-karya yang bersirkulasi hari ini, termasuk filem-filem pilihan dalam program Candrawala tahun ini. Dalam beberapa tahun terakhir, lanskap dan lokasi menjadi tema dominan dalam filem-filem tersebut. Tendensi ini masih terbaca dalam sebagian filem-filem di tahun ini: untuk kembali mengenal dan mengurai kompleksitas lanskap alam dan sosial di sekitar para seniman; meletakkan wilayah mereka dalam kisi-kisi peta peristiwa sosio-politik terkini melalui tangkapan-tangkapan citra. Beberapa filem secara spesifik meletakkan lanskap mereka dalam eksperimen kisi-kisi yang terkait dengan hakikat sinema dan kerja-kerja media—antara gambar diam dan gambar bergerak, hingga proses saling menerjemahkan yang ulang-alik.
Filem Ritual (2022) membawa penonton untuk menelusuri kolase tubuh kota Samarinda melalui Sungai Mahakam yang membelah lanskap perkotaan, celah-celah pembangunan yang terabaikan, hingga pusat-pusat urban. Melalui sensasi simpang-siur yang dirasakan sepanjang filem, anggapan bahwa manusialah yang “menemukan” dan mendomestikasi alam ke dalam kisi-kisi peradaban yang teratur menjadi mitos yang patut ditertawakan. Dalam filem ini, pertumbuhan urban kota Samarinda yang berpusat ke darat dan membelakangi sungai justru digambarkan sebagai sesuatu yang liar menjalar, saling berpotongan dan merangsek ke dalam satu sama lain, meninggalkan objek-objek dan fenomena yang tidak pada tempatnya.
Tendensi membingkai lanskap sebagaimana adanya nampak juga dalam filem Periphery of the Wind (2022), menyajikan komposisi antara citra statis dan citra bergerak dari waduk, pantai, jalan raya, ladang perkebunan, dan fasilitas umum di sekitar Pantai Glagah, Kulon Progo. Ketika fotografi dan video yang diambil secara still berjumpa dalam kisi-kisi yang sama dalam filem ini, satu-satunya hal yang membedakan mereka hanyalah hadir-tidaknya gerak angin yang meniup rumput dan pepohonan. Melalui filem ini, seniman menjadikan fotografi sebagai penangkap angin. Saat ia tertangkap, angin akan memperlihatkan tepiannya dalam rangkaian siklus dan sirkulasi objek: jejak-jejak kehadiran manusia yang menolak hilang.
Dalam Ghost Light (2021), gagasan kisi-kisi mewujud secara material dalam dua bingkai yang hadir bersisian. Menggunakan benda-benda yang menimbulkan bunyi, para figur-figur di bingkai pertama berupaya menerjemahkan gerak tubuh performatif yang dipertontonkan oleh figur-figur di bingkai kedua.
Sebagai tindakan untuk memberi makna pada suatu objek, penerjemahan adalah urusan polemis yang berkait erat dengan kuasa, menimbulkan tegangan yang terus hadir di kedua bingkai sepanjang filem. Aksi menerjemahkan representasi ini pun menjelma jadi peristiwa tersendiri, dan ketika dibingkai ke dalam grid pun lantas menjadi representasi baru. Jika direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari, peristiwa penerjemahan yang tak putus-putus ini terasa dekat dengan kehidupan bermedia, ketika peristiwa yang terjadi di sebuah lokasi disarikan ke dalam representasi (gambar, video, atau teks) yang bisa saja memancing penerjemahan dalam berbagai medium, termasuk mempengaruhi peristiwa nyata.
Mengangkat problem ketidakmerataan fasilitas kesehatan di pulau-pulau terpencil Laut Flores, Ininnawa: An Island Calling (2023) memaknai gagasan kisi-kisi secara politis. Pembagian wilayah dan pemusatan sumber daya pada situs-situs “perkotaan” terbukti melemahkan daerah-daerah yang jauh dari “pusat”, sehingga mereka harus bergantung pada ketulusan hati tenaga-tenaga kesehatan yang datang secara langka. Dalam rekam jejak dokumenter Indonesia setelah Reformasi, kritik struktural terhadap pemerintah melalui potret figur-figur di periferi sudah bukan subjek yang asing. Namun, setelah bertahun-tahun bergulat dengan subjek yang sama, lensa filem ini menjadi tajam dalam mengungkapkan irisan antara keberpihakan politis dan lapis-lapis hubungan sosial melalui adegan-adegan yang sederhana.
In an era when ‘seeing’ and ‘being seen’ are more important than ever, there is a greater awareness to read where we are and where we are going in an ever-growing grid–the biggest map ever.
This grid logic emerges when we imagine ourselves as interconnected units of data, but also manifests visually when looking at the information we consume today as data sets. It presupposes positions, compositions, possibilities for movement, distances, and durations that can be quantified. It makes clear the ground we stand on, where the wind blows, and to whom luck favors between the lines that intersect and continue to assemble themselves.
Consciously or not, such a media ecosystem influences the frame of mind behind the works circulating today, including the selected films in this year’s Candrawala program. In recent years, landscape and location have become dominant themes in these films. This tendency is still evident in some of the films this year: to reacquaint and unravel the complexity of the natural and social landscapes around the artists; to place their territories in the grid of the current socio-political events map through captured images. Some films specifically place their landscapes in grid experiments related to the nature of cinema and media works–between still and moving images, to the process of translating each other back and forth.
Ritual (2022) takes the audience to trace the collaged body of Samarinda through the Mahakam River that cuts through the urban landscape, the gaps of neglected development and the urban centers. Through the sense of disorientation felt throughout the film, the notion of man’s “discovery” and domestication of nature into an orderly grid of civilization becomes a laughable myth. In this film, Samarinda’s urban growth, which centers on the land while turning its back on the river, is depicted as something that wildly creeps, intersects and encroaches into one another, leaving behind objects and phenomena that seems out of place.
The tendency to frame the landscape as it is is also evident in the film Periphery of the Wind (2022), which presents a composition of static and moving images of reservoirs, beaches, roads, plantation fields, and public facilities around Glagah Beach, Kulon Progo. When still photography and video meet in the same grid in this film, the only thing that distinguishes them is the presence or absence of wind that blows through the grass and trees. Through this film, the artist uses photography as a wind catcher. When caught, the wind will reveal its edges in a series of cycles and circulation of objects: traces of human presence that refuse to disappear.
In Ghost Light (2021), the idea of a grid materializes in two adjoining frames. Using objects that make sounds, the figures in the first frame attempt to translate the performative gestures exhibited by the figures in the second frame.
As an act of giving meaning to an object, translation is a polemical affair that is closely related to power, creating a tension that continues to be present in both frames throughout the film. The act of translating this representation becomes an event in itself, and when framed into the grid, it becomes a new representation. If reflected in everyday life, this uninterrupted translation event feels close to media life, when events that occur in a location are abstracted into representations (images, videos, or texts) that can provoke translation in various mediums, including influencing real events.
Addressing the problem of unequal health facilities on the remote islands of the Flores Sea, Ininnawa: An Island Calling (2023) interprets the idea of a grid politically. Territorial divisions and the concentration of resources on “urban” hubs proved to be debilitating for areas that are far from the “center”, making them dependent on the sincerity of health workers who arrive on a rare basis. In the track record of Indonesia’s documentary films after Reformasi, structural criticism of the government through portraits of figures in the periphery is no longer a foreign subject. However, after years of struggling with the same subject, this film’s lens gets sharper in revealing the intersection between political partisanship and layers of social relations through everyday moments.
Film List
Ininnawa: An Island Calling
Filmmaker Arfan Sabran
Country of Production Indonesia
Language Indonesia
Subtitle English
73 min, Stereo, Color, 2023
Dalam filem ini, pembagian wilayah dan pemusatan sumber daya pada situs-situs “perkotaan” terbukti melemahkan daerah-daerah yang jauh dari “pusat”, sehingga warga pulau-pulau terpencil di Laut Flores harus bergantung pada langkanya tenaga-tenaga kesehatan yang bertugas untuk mengunjungi mereka untuk menerima pengobatan dan fasilitas kesehatan. Setelah bertahun-tahun bergulat dengan subjek yang sama, lensa filem ini menjadi tajam dalam mengungkapkan irisan antara keberpihakan politis dan lapis-lapis hubungan sosial melalui adegan-adegan yang sederhana.
In this film, the division of territories and the concentration of resources on “urban” sites prove to be debilitating for areas far from the “center”, so that residents of remote islands in the Flores Sea have to rely on the scarcity of health workers who are tasked to visit them to receive treatment and health facilities. After years of struggling with the same subject, the film’s lens becomes sharp in revealing the intersection between political partisanship and layers of social relations through simple scenes.
Arfan Sabran adalah pembuat film dokumenter Indonesia lulusan InDocs Indonesia. Ia awalnya memiliki latar belakang di bidang Biologi sebelum memasuki dunia sinematografi. Dalam 15 tahun kariernya, ia telah menciptakan karya-karya unik, dengan “Suster Apung” meraih penghargaan Film Terbaik di Eagle Awards 2006 dan “The Flame” tampil di Visions du Reel 2021 serta dinominasikan sebagai Film Dokumenter Panjang Terbaik di Festival Film Indonesia.
Arfan Sabran is an Indonesian documentary filmmaker who is trained by InDocs Indonesia. He originally had a background in Biology before entering the world of filmmaking. In his 15-year career, he has created unique works, with “Suster Apung” winning Best Film at the 2006 Eagle Awards and “The Flame” featuring at Visions du Reel 2021 as well as being nominated for Best Feature Length Documentary at the Indonesian Film Festival.
Ritual, Belahan IV: Bauran
Ritual, Part IV: The Blends
Filmmaker Robby Ocktavian
Country of Production Indonesia
Language Indonesia
Subtitle English
40 min, Stereo, Color, 2022
Filem ini menelusuri kolase tubuh kota Samarinda melalui Sungai Mahakam yang membelah lanskap perkotaan, celah-celah pembangunan yang terabaikan, hingga pusat-pusat urban. Dalam filem ini, pertumbuhan urban kota Samarinda yang berpusat ke darat dan membelakangi sungai justru digambarkan sebagai sesuatu yang liar menjalar, saling berpotongan dan merangsek ke dalam satu sama lain, meninggalkan objek-objek dan fenomena yang tidak pada tempatnya.
The film traces the collage of Samarinda’s urban body through the Mahakam River that cuts through the urban landscape, the gaps of neglected development, and urban centers. In this film, the urban growth of Samarinda, which is centered on land and backs the river, is depicted as something wildly creeping, intersecting and encroaching on each other, leaving objects and phenomena out of place.
Robby Ocktavian, seniman dan pengorganisir seni kelahiran Samarinda, berkarya di bidang film, seni suara, dan seni pertunjukan. Ia sering memutar film di kota Samarinda bersama Sindikat Sinema, kolektif yang ia dirikan. Lulus dari Universitas Mulawarman di Samarinda, ia juga belajar produksi visual di Milisifilem. Saat ini, ia menjadi direktur Yayasan Muara Kreasi Merdeka yang mengadakan MUARASUARA-Sound Art Festival dan Neladeva Film Festival di Samarinda.
Robby Ocktavian, a Samarinda-born artist and arts organizer, works in film, sound and performance art. He often screens films in Samarinda with Sindikat Sinema, a collective he founded. Graduated from Mulawarman University in Samarinda, he also studied visual production at Milisifilem. Currently, he is the director of Muara Kreasi Merdeka Foundation which organizes MUARASUARA-Sound Art Festival and Neladeva Film Festival in Samarinda.
Ghost Light
Filmmaker Timoteus Anggawan Kusno
Country of Production Indonesia
Language No Dialogue
Subtitle –
19 min, Stereo, Black & White, 2021
Hadir dalam dua bingkai yang bersisian, figur-figur di bingkai pertama filem ini menggunakan benda-benda yang menimbulkan bunyi untuk menerjemahkan gerak tubuh performatif yang dipertontonkan di bingkai kedua. Sebagai tindakan untuk memberi makna pada suatu objek, penerjemahan adalah urusan polemis yang berkait erat dengan kuasa, menimbulkan tegangan yang terus hadir di kedua bingkai sepanjang filem. Aksi menerjemahkan representasi ini pun menjelma jadi representasi baru ketika tubuh-tubuh tersebut diletakkan ke dalam grid. Demikianlah ulang-alik siklus media yang tanpa akhir.
Presented in two frames side by side, the figures in the first frame of the film use objects that make sounds to translate the performative gestures shown in the second frame. As an act of giving meaning to an object, translation is a polemical affair that is closely related to power, creating a tension that continues to be present in both frames throughout the film. The act of translating this representation is transformed into a new representation when the bodies are placed into the grid. Such is the endless loop of the media cycle.
Timoteus Anggawan Kusno adalah seorang seniman multidisiplin yang menciptakan karya dalam berbagai medium, termasuk instalasi, gambar, dan gambar bergerak. Karyanya menciptakan narasi yang melibatkan unsur fiksi dan sejarah, serta menyelidiki kolonialitas kekuasaan, proses “pembuatan sejarah,” dan hubungannya dengan kekuasaan, ideologi, imajinasi, dan ingatan kolektif. Karya-karyanya telah dipamerkan di berbagai institusi budaya dan biennale di seluruh dunia. Saat ini, Kusno menempuh pendidikan doktoral di University of Amsterdam dan berkarya di Amsterdam (Belanda) dan Yogyakarta (Indonesia).
Timoteus Anggawan Kusno is a multidisciplinary artist who creates works in various mediums, including installation, drawing, and moving image. His work creates narratives that involve elements of fiction and history, and investigates the coloniality of power, the process of “history-making,” and its relationship to power, ideology, imagination, and collective memory. His works have been exhibited in various cultural institutions and biennials around the world. Kusno is currently doing his doctoral studies at the University of Amsterdam and works in Amsterdam (Netherlands) and Yogyakarta (Indonesia).
Periphery of the Wind
Filmmaker Reza Kutjh
Country of Production Indonesia
Language No Dialogue
Subtitle –
24 min, Stereo, Color, 2022
Filem ini menyajikan komposisi antara citra statis dan citra bergerak dari waduk, pantai, jalan raya, ladang perkebunan, dan fasilitas umum di sekitar Pantai Glagah, Kulon Progo. Ketika fotografi dan video yang diambil secara still berjumpa dalam kisi-kisi yang sama, satu-satunya hal yang membedakan mereka hanyalah hadir-tidaknya gerak angin yang meniup rumput dan pepohonan. Melalui filem ini, seniman menjadikan fotografi sebagai penangkap angin. Saat ia tertangkap, angin akan memperlihatkan tepiannya dalam rangkaian siklus dan sirkulasi objek: jejak-jejak kehadiran manusia yang menolak hilang.
The film presents a composition of static and moving images of reservoirs, beaches, roads, plantation fields, and public facilities around Glagah Beach, Kulon Progo. When still photography and video meet in the same grid, the only thing that distinguishes them is the presence or absence of wind blowing the grass and trees. Through this film, the artist uses photography as a wind catcher. When caught, the wind will show its edges in a series of cycles and circulation of objects: traces of human presence that refuse to disappear.
Reza Kutjh (Yogyakarta, 1994), seniman visual, lulus dari Jurusan Seni Rupa Murni Institut Seni Indonesia. Karyanya, meliputi fotografi, seni cetak, dan arsip, sering mengulas kehidupan sehari-hari, ingatan, serta ruang. Terlibat dalam proyek lintas disiplin tentang perubahan lahan di pantai selatan Yogyakarta. Pameran tunggal “For a While” di Lir Space 2018, aktif berpameran, dan anggota kolektif Barasub yang fokus pada seni sekuensial. Saat ini, melakukan penelitian visual dan proyek seni berbasis arsip di Unhistoried.
Reza Kutjh (Yogyakarta, 1994), a visual artist, graduated from the Fine Arts Department of Institut Seni Indonesia. His work, which includes photography, printmaking and archives, often examines everyday life, memory and space. He is involved in an interdisciplinary project on land change on the south coast of Yogyakarta. Solo exhibition “For a While” at Lir Space 2018, actively exhibiting, and member of Barasub collective focusing on sequential art. Currently, conducting visual research and archive-based art projects at Unhistoried.
About the Curator
Dini Adanurani
Dini Adanurani adalah seorang peneliti film dan seni independen yang tinggal di Jakarta. Dini sering terlibat dalam penyelenggaraan festival film seperti ARKIPEL – Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival dan Festival Film UI. Penelitian sebelumnya dengan Forum Lenteng mencakup topik arsip film Indonesia, candi-candi Jawa, dan narasi sehari-hari, mengembangkan praktiknya ke dalam instalasi, video, dan seni pertunjukan yang direalisasikan secara kolektif. Ia adalah alumnus Akademi Kritikus Locarno 2022. Tulisannya dapat ditemukan di Variety, photogénie, dan Jurnal Footage.
Dini Adanurani
Dini Adanurani is an independent film and art researcher based in Jakarta. She is often involved in organizing film festivals such as ARKIPEL – Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival and UI Film Festival. Her previous research with Forum Lenteng covers topics of Indonesian film archives, Javanese temples, and everyday narratives, developing her practice into collectively realized installations, videos, and performance art. He is an alumnus of Locarno Critics Academy 2022. Her writing can be found in Variety, photogénie, and Footage Journal.