Fetisisme, Fasisme, dan Luka Sejarah
Fetishism, Fascism, and the Wounds of History

Host Otty Widasari

26 September 2023 – 16.00

Waktu orang-orang Eropa memperdagangkan objek-objek yang digunakan dalam praktik religius sebagai jimat oleh orang-orang dari tanah jajahannya pada masa kolonialisme, muncul konsep feitico (Portugis), atau fetis, atau jimat, untuk merujuk objek-objek tersebut. Bagi orang Eropa, fetis yang menyerupai manusia itu adalah objek pemujaan, atau dewa palsu milik orang-orang kafir. Dalam pengertian mereka, masyarakat primitif ini merasa termediasi melaluinya kepada roh-roh. Sementara bagi masyarakat koloni, fetis adalah aparatus simbolik dalam sistem ritual, oleh karenanya fetisisme adalah hubungan antar manusia. Demikian bias perseptif yang terjadi antara masyarakat Eropa dan masyarakat pasca-kolonial, dan mewujud di kemudian hari dalam berbagai hal, termasuk dalam cara menyikapi fetisisme sinema sebagai arsip. 

Tidak bisa dipungkiri bahwa sinema terlahir sebagai aparatus kolonialisme. Arsiplah yang bisa membuktikan hal tersebut, diciptakan oleh sinema itu sendiri, dan lalu ia menyerahkan dirinya untuk dibaca hari ini. Film-film yang ada dalam program kuratorial ini menggambarkan bagaimana arsip pada akhirnya mengungkap sejarah, sebagaimana pun ia dikonstruksi. Namun, pengungkapan yang terjadi juga tidak bisa melepaskan diri dari perspektif muasal yang melingkupi sang pengungkap. 

Dalam film Broken View, sang sutradara, Hanes Verhoustraete, memberi kritik yang sangat keras terhadap kolonialisme, melalui penelitiannya, membaca genesis sinema yang ditandai dengan kelahiran sebuah lentera ajaib yang mengilusi manusia. Sebuah fantasmagoria yang menakutkan, menyihir dan memesona: nyalakanlah lentera itu, orang-orang akan takut padamu, mengagumimu, menyembahmu, mencintaimu. Dengan demikian film, selayaknya misionaris Kristen yang bekerja untuk Tuhan di tanah-tanah jajahan yang subur bak surga, menjadi utusan Tuhan, perwakilan peradaban, sekaligus agen politik negara-negara Eropa. 

Peran film dengan misi sucinya sebagai agen peradaban terbahas secara menarik pula dalam film The Porters, karya Sarah Vanagt, yang berangkat dari daftar sekitar 3000 objek yang dikirim (atau dijarah) oleh-dan-ke Belgia melalui Hutereau Expedition di Kongo timur laut, antara tahun 1911 hingga 1913. Film ini juga menampilkan secara gamblang, melalui arsip-arsip film, bagaimana penjarahan di era kolonialisme klasik terjadi. Arsip-arsip tersebut kemudian dilepaskan, untuk dibaca oleh generasi muda yang tidak bersentuhan secara langsung dengan kekejaman kolonialisme. Dengan permainan menyusun kalimat menggunakan daftar benda yang pernah dijarah kerajaan Belgia dari negara Kongo, anak-anak muda diaspora Afrika beserta teman-temannya dari berbagai ras kemudian menemukan kenyataan menyakitkan tentang sejarah mereka, bagi pihak mana pun. 

Namun, apa disposisi sebuah kritik jika itu digencarkan oleh pihak (tanpa menafikan keberpihakannya yang baik) yang dahulu pernah bertamu ke sebuah rumah di mana ia disambut dan dipersilakan masuk, lalu menguasai rumah tersebut dan menjarahnya, dan di kemudian hari ia mengutuk perbuatannya sendiri tersebut? Sulit untuk tidak melihat bentuk kritik ini sebagai pembenaran politik, terutama karena wacana kolonialisme tersebut selalu disandingkan dengan penderitaan masyarakat Eropa akibat pergolakan sosial dan politik di masa yang sama, dalam kedua film tersebut; bahwa kolonialisme tidak hanya mengakibatkan penderitaan bagi negara terjajah, namun juga bagi masyarakat yang berasal dari negara-negara penjajah. 

Bagaimana semua persoalan dunia bermula, sudah barang tentu titiknya saling berhubungan. Di Eropa terjadi revolusi industri, di tempat lain tersedia bahan mentah pendukungnya. Persoalan-persoalan, yang bermuara pada persoalan kekuasaan dan kemanusiaan, dimontase oleh industri dan teknologi sebagai montase politik kolonialisme. Film adalah aparatus yang paling memegang peran di sana. Melaluinya luka itu terungkap pula di masa sekarang, dan memunculkan kritisisme yang memainkan peran rekonsiliasi. Lalu, mengapa kritik bersuara nyaring datang dari belahan dunia utara yang dahulu gelombangnya melanda dunia selatan dengan keras? 

Jadi begini, selama kisaran seabad, masyarakat pasca-kolonial tidak pernah terlalu menyadari bahwa ada harta paling berharga mereka yang tak pernah terjamah, di samping artefak-artefak, yaitu sejarah dalam bentuk citra-citra, diam dan bergerak. Semua harta itu tersimpan rapat di ruang-ruang wacana budaya, di museum-museum, dan di lembaga-lembaga arsip di Eropa. Harta itu menjadi materi pembelajaran seratus tahun bagi bangsa Eropa, dan membangun kesadaran masa kini bagi mereka untuk mulai secara sedikit demi sedikit membuka akses kepada bekas jajahannya. Maka dari itu otokritisisme muncul dari sana, dengan segala macam logika penafsiran yang terukur secara Barat. Pastilah ukuran itu kerap mengalami bias perseptif. Tapi, apalah arti bias tersebut, kalau toh sejak saat itu pula kolonialisme telah mengajarkan pada masyarakat pasca-kolonial untuk bermetodologi secara Barat? Perihal itu serupa dengan penciptaan sebuah mitos. Seperti fantasma yang dihadirkan oleh film. Ilusif dan memesona. 

Film adalah mitos. Ia hadir di benua jajahan bermasyarakat non-industrialis sebagai keanehan yang menakutkan. Pada saat misionaris Katolik dan Protestan datang untuk menyelamatkan jiwa orang-orang di tanah jajahan dan menjadikan mereka ‘beradab’, teknologi film menjadi alat pendukung yang efektif, terutama untuk menyodorkan mitos agama. Bangsa Eropa mengkhianati modernisme mereka sendiri, yang ditandai dengan rasa pencerahan yang mencerahkan umat manusia dari awan gelap religiusitas, berputar arah, kembali pada tatanan mitos. Sebuah penundukan dengan menggunakan mitos sinema untuk menjarah kekayaan dari tanah jajahan didalihkan sebagai kerja Tuhan. 

Bagaimana kerja mitos dalam film melalui montase dan editingnya, dirinci secara sistematis oleh film A Companion for Amateur Cinematographers: Vol. I, karya Federico Di Corato. Film ini menyandingkan footage-footage tua milik Augusto Gandini, seorang pembuat film amatir di masa fasisme Italia, dengan sematan panduan untuk pembuat film amatir, dari buku manual yang ditemukan di antara barang-barang Gandini. Film ini membuktikan bahwa susunan visual, pengadeganan, dan koreografi kamera yang dimontase dengan kediktatoran aturan pembuatan sebuah film, bisa melahirkan sebuah konsep fasisme. 

Demikianlah, sinema yang menjadi aparatus agenda kolonialisme, dengan kediktatoran sang sutradara untuk menciptakan fetisisme, sebuah jimat yang memiliki kekuatan ilusif untuk mengubah tatanan di dunia. Mungkin bagi bangsa (bekas) penjajah, ini sekadar persoalan berbagi sejarah pahit bersama, untuk dibaca kemudian oleh dunia tentang makna peradaban, yang langsung menunjuk siapa pahlawannya. Kemudian hal itu akhirnya bisa dibaca kembali hari ini oleh generasi yang sangat berjarak dengan kolonialisme, namun merupakan remahan sisa-sisa peradaban yang telah dijimatkan. Namun bagi pihak sebaliknya, ini adalah persoalan “di mana engkau berdiri, di situlah masalah dimulai”, karena sejarah telah mengajarkan bahwa inferioritas/superioritas adalah definisi modern yang bias tentang posisi berdiri dan melihat.

When Europeans traded objects used in religious practices as talismans by people from colonized lands during colonialism, the concept of feitiço (Portuguese), or fetish, or amulet, emerged to refer to these objects. For Europeans, the human-like fetishes were objects of worship, or false gods of the pagans. In their understanding, these primitive peoples felt mediated through it to spirits. While for the colonized society, the fetish is a symbolic apparatus in the ritual system, hence fetishism is a human relationship. Such is the perceptive bias that occurs between European and post-colonial societies, and manifests later in various ways, including in the way of addressing cinema fetishism as an archive.

 

It cannot be denied that cinema was born as an apparatus of colonialism. It is the archive that can prove this, it was created by cinema itself, and then it submitted itself to be read today. The films in this curatorial program illustrate how archives ultimately reveal history, however it is constructed. However, the disclosure that occurs cannot be separated from the original perspective that surrounds the revealer.

 

In Broken View, the director, Hanes Verhoustraete, provides a harsh critique of colonialism, through his research, reading the genesis of cinema as marked by the birth of a magic lantern that illusions people. A phantasmagoria that frightens, bewitches and mesmerizes: light the lantern, people will fear you, admire you, worship you, love you. Thus the film, like a Christian missionary working for God in the lush, paradise-like colonies, becomes an emissary of God, a representative of civilization, as well as a political agent of European countries.

 

The role of film with its sacred mission as an agent of civilization is interestingly discussed in Sarah Vanagt’s The Porters, which is based on a list of around 3000 objects sent (or looted) to and from Belgium through the Hutereau Expedition in north-eastern Congo, between 1911 and 1913. The film also vividly shows, through film archives, how looting in the era of classical colonialism took place. The archives are then released, to be read by a younger generation who had no direct contact with the atrocities of colonialism. Through a game of sentence construction using a list of items looted by the Belgian empire from the Congo, young people of the African diaspora and their friends of different races discover the painful truth about their history, for all sides.

 

But what is the disposition of a critique, if it is made by a party (without denying that it is a good one) who once visited a house where they were welcomed, then took possession of the house and looted it, and later condemned their own actions? It is hard not to see this form of critique as politically justified, especially since the discourse of colonialism is always juxtaposed with the suffering of European society due to social and political upheaval at the same time, in both films; that colonialism does not only result in suffering for the colonized country, but also for the people who come from the colonizing countries.

 

How all the world’s problems began is, of course, interconnected. In Europe there was an industrial revolution, elsewhere the supporting raw materials were available. Problems, which boil down to issues of power and humanity, are montaged by industry and technology as a political montage of colonialism. Film is the apparatus that plays the most role there. Through it, the wound is also revealed in the present, and raises criticism that plays the role of reconciliation. Why, then, is the loudest critique coming from the north where the waves of the past hit the south so hard?

 

Well, for about a century, post-colonial societies never really realized that their most precious treasure, besides artefacts, was history in the form of images, still and moving. All of these treasures are tightly stored in the spaces of cultural discourse, in museums and archival institutions in Europe. These treasures became centuries of learning material for Europeans, and built a present-day consciousness for them to start gradually opening access to their former colonies. So self-criticism emerges from there, with all sorts of Westernized interpretive logic. Of course, that measurement is often subject to perceptive bias. But what does it matter if colonialism has taught post-colonial societies Western methodology ever since? It is similar to the creation of a myth. Like the phantasm presented by film. Illusive and mesmerizing.

 

Films are myths. It arrived on the colonized continent of non-industrialized societies as a frightening oddity. When Catholic and Protestant missionaries came to save the souls of the people in the colonies and ‘civilize’ them, film technology became an effective support tool, especially for propounding religious myths. Europeans betrayed their own modernism, characterized by a sense of enlightenment that brightened humanity from the dark clouds of religiosity, turning around, back to the mythical order. A subjugation using the myth of cinema to plunder wealth from the colonized lands was passed off as God’s work.

 

How myth works in film through montage and editing is systematically detailed by A Companion for Amateur Cinematographers: Vol. I, by Federico Di Corato. The film juxtaposes old footage of Augusto Gandini, an amateur filmmaker during Italian fascism, with a guide for amateur filmmakers, from a manual found among Gandini’s belongings. The film proves that visual arrangement, staging, and camera choreography contoured with the dictatorial rules of filmmaking can give birth to the concept of fascism.

 

Thus, cinema becomes an apparatus of colonialism’s agenda, with the director’s dictatorship to create fetishism, a talisman that has the illusive power to change the order in the world. Perhaps for the (former) colonizers, this is simply a matter of sharing a shared bitter history, to be read later by the world about the meaning of civilization, which directly points to who the heroes are. Then it can finally be read again today by a generation that is very distant from colonialism, but is a remnant of civilization that has been sacred as a talisman. But for the once-colonized, it is a matter of “where you stand, that’s where the trouble begins”, because history has taught us that inferiority/superiority is a biased modern definition of standing and seeing.

Film List

screenshot-2023-07-06-002548

Broken View

Filmmaker Federico Hannes Verhoustraete
Country of Production Belgium
Language English
Subtitle  English

72 min, Stereo, Color,  2023

Sebuah esai kritis tentang kolonialisme. Film ini mengedepankan fungsi arsip, fotografi dan sinema sebagai medium yang mampu mengungkap luka sejarah dunia yang diakibatkan oleh kolonialisme. Film ini berbicara tentang peran ‘lentera ajaib’ alias film, yang memberikan ilusi optikal sekaligus menyihir, dan kemampuannya menjadi alat politik.

A critical essay on colonialism. The film emphasizes the function of archives, photography and cinema as mediums that can reveal the wounds of world history caused by colonialism. The film talks about the role of the ‘magic lantern’ aka film, which provides optical illusions as well as bewitching, and its ability to become a political tool.

Hannes Verhoustraete (Belgia, 1986) adalah seorang pembuat filem, pengajar dan peneliti di KASK/Sekolah Tinggi Seni Ghent. Ia adalah seorang penulis dan editor untuk Sabzian. “Un pays plus beau qu’avant” (2019) adalah debutnya.

Hannes Verhoustraete (Belgium, 1986) is a filmmaker, teacher and researcher at KASK/School of Arts Ghent. He is a writer and editor for Sabzian. “Un pays plus beau qu’avant” (2019) is his debut.

screenshot-2023-07-06-001613

The Porters

Filmmaker Sarah Vanagt
Country of Production Dutch, French
Language English
Subtitle  English

30 min, Stereo, both, 2022

Sebuah dokumenter performatif, tentang respons generasi muda terhadap kolonialisme. Film ini menyandingkan cuplikan film-film masa kolonisasi kerajaan Belgia di Kongo, dengan daftar sekitar 3000 objek yang diangkut dari Kongo ke Belgia dalam Ekspedisi Hutereau 1911-1913. 

A performative documentary, about the younger generation’s response to colonialism. The film juxtaposes footage from the Belgian Empire’s colonization of the Congo, with a list of around 3000 objects transported from the Congo to Belgium during the 1911-1913 Hutereau Expedition.

Sarah Vanagt (1976) membuat film dokumenter, instalasi video, dan foto yang memadukan kecintaannya pada sejarah dan asal-usul sinema. Karyanya meliputi film seperti “After Years of Walking” (2003), “Little Figures” (2003), dan “Boulevard d’Ypres” (2010), serta instalasi video seperti “Les Mouchoirs de Kabila” (2005) dan “Power Cut” (2007). Karya-karyanya dipamerkan di berbagai festival film dan museum di seluruh dunia, mulai dari FidMarseille dan Viennale hingga Fact Liverpool dan Centre Pompidou. Film barunya, “DIVINATIONS,” tayang perdana di festival Courtisane di Ghent pada tahun 2019.

Sarah Vanagt (1976) creates documentaries, video installations, and photos that blend her passion for history and the origins of cinema. Her work includes films like “After Years of Walking” (2003), “Little Figures” (2003), and “Boulevard d’Ypres” (2010), as well as video installations like “Les Mouchoirs de Kabila” (2005) and “Power Cut” (2007). Her creations are showcased at film festivals and museums globally, from FidMarseille and Viennale to Fact Liverpool and Centre Pompidou. Her new film, “DIVINATIONS,” premiered at the Courtisane festival in Ghent in 2019.

screenshot-2023-07-06-002353

Manuale di cinematografia per dilettanti – Vol. I
A Companion for Amateur Cinematographers: Vol. I

Filmmaker Federico Di Corato
Country of Production Italy
Language Italian
Subtitle  English

20 min, Stereo, Both,  2022

Film ini dikonstruksi dari cuplikan film-film milik seorang pembuat film amatir dari masa fasisme Italia, dan panduan membuatnya yang diambil dari buku panduan pembuat film amatir.

This movie is constructed from footage of an amateur filmmaker from the Italian fascist era, and a guide to making them taken from an amateur filmmaker’s handbook.

Federico Di Corato, lahir di Andria pada tahun 1991 dan tinggal di Milan, adalah seorang pembuat film dan pendidik. Lulusan NABA, ia sekarang mengajar penyuntingan film di sana. Dia ikut mendirikan asosiasi Re-framing Home Movies untuk melestarikan dan mempromosikan warisan film amatir. Di Corato telah menyutradarai tiga film pendek, termasuk “The Shack” dan “(s)words,” yang dipresentasikan di Festival Film Locarno. Karyanya “A Companion for Amateur Cinematographers: Vol. I” ditampilkan di Venice Biennale.

Federico Di Corato, born in Andria in 1991 and residing in Milan, is a filmmaker and educator. A graduate of NABA, he now teaches film editing there. He co-founded the Re-framing Home Movies association to preserve and promote amateur film heritage. Di Corato has directed three short films, including “The Shack” and “(s)words,” presented at the Locarno Film Festival. His work “A Companion for Amateur Cinematographers: Vol. I” was featured at the Venice Biennale.

About the Host

Otty Widasari

Otty Widasari (Balikpapan, 1973) adalah seorang seniman dan salah satu pendiri Forum Lenteng, sebuah kolektif di Jakarta yang berfokus pada seni, media, dan studi sosial budaya. Praktik artistik tunggalnya dipupuk oleh keterlibatannya dalam aktivisme media, pengalaman jurnalistik yang berhubungan dengan aktualitas sosial dan sejarah, serta studi dan penikmatan film seumur hidup.

Proyek pameran tunggalnya yang dimulai dari Ones Who Looked at the Presence (Ark Gallerie, Yogyakarta, 2015) hingga Ones Who Are Being Controlled (Dia.lo.gue, Jakarta, 2016), di mana keduanya berurusan dengan gestur sosial yang terdisrupsi oleh hadirnya teknologi media di Indonesia, diakhiri dengan PARTISAN (Galeri Nasional Indonesia, 2022), di mana Otty menggabungkan eksplorasi artistik dan aktivismenya seumur hidup dalam performativitas media, narasi warga, pendidikan alternatif, dan kolaborasi afektif.

Otty Widasari

Otty Widasari (Balikpapan, 1973) is an artist and one of the founders of Forum Lenteng, a collective in Jakarta focusing on art, media, and sociocultural studies. Her solo artistic practice is nourished by her engagement with media activism, journalistic experiences dealing with social and historical actualities, and a lifelong study and connoisseurship of film.

Her solo exhibition project that started from Ones Who Looked at the Presence (Ark Gallerie, Yogyakarta, 2015) to Ones Who Are Being Controlled (Dia.lo.gue, Jakarta, 2016), where both deal with the social gesture disrupted by the coming of media technology in Indonesia, concluded in PARTISAN (National Gallery of Indonesia, 2022) where Otty fuses her lifelong artistic exploration and activism in media performativity, citizen narrative, alternative education, and affective collaboration.

Contact Us

We're not around right now. But you can send us an email and we'll get back to you, asap.

Not readable? Change text. captcha txt

Start typing and press Enter to search

X