Gambar Bergerak, Gambar Berkelana
Moving Image, Itinerant Image
Host Dini Adanurani
27 September 2023 – 19.00
Ketika teknologi rekam sudah tak terlepaskan dari kehidupan sehari-hari, aspek gerak yang ‘menghidupkan’ sinema dan video sudah otomatis diterima begitu saja oleh penggunanya. Kuratorial ini menawarkan pembedahan lebih lanjut terhadap kata ‘gerak’ yang selalu membuntuti istilah ‘gambar bergerak’—bagaimana ia bergerak dalam bingkai, melintasi ruang dan waktu, hingga menyebabkan gerakan-gerakan baru.
Menghidupkan gambar yang tadinya diam menjadi bergerak adalah penemuan yang menjadi cikal-bakal sinema. Pada tahun 1879, Eadweard Muybridge dengan teknologi Zoopraxiscope-nya menemukan bahwa jika kamera menangkap subjek yang bergerak dengan ambilan gambar yang cepat dan berturut-turut, ia dapat ‘menangkap’ gerakan subjek dalam sebuah sekuens. Maka, embrio sinema adalah studi gerak subjek di dalam bingkai fotografi.
Ketika gerakan sudah menjadi unsur yang terberi dalam teknologi rekam sehari-hari, Esrever (2023) memecah gerakan video kontemporer yang mulus tanpa interupsi menjadi fragmen-fragmen melalui teknik-teknik penyuntingan. Filem diawali dengan rekaman orang-orang yang sedang beraktivitas di taman dari sudut pandang kamera yang bergerak memutar. Dari gerak yang nampak diperlambat, gerakan menjadi semakin cepat, hingga objek yang direkam sudah tak lagi terlihat secara individu, menyisakan kilasan-kilasan warna yang membaur. Interupsi-interupsi terhadap video tampak melalui overlay dua-tiga lapis gambar dengan tingkat transparansi yang berbeda-beda hingga fragmen-fragmen gerakan yang berulang.
Interupsi-interupsi ini menimbulkan sensasi waktu yang direntangkan dan dimampatkan sesuai keinginan si pembuat filem. Hal ini nyaris selalu dilakukan oleh pembuat filem pada umumnya melalui montase, namun ketika penyuntingan ditampilkan sebagai disrupsi, sensasi bahwa waktu penonton sedang dimanipulasi semakin kuat. Sebagaimana seniman kolase yang memecah gambar menjadi bentuk-bentuk baru yang disruptif, pembuat filem Esrever tengah mengkolase waktu.
Makna ‘gerak’ lainnya adalah perjalanan melintasi ruang dan waktu yang dialami oleh si gambar. Tumbuh besar di dekade akhir kolonialisme, sinema berakar dari hasrat menangkap hal-hal yang ada di suatu lokasi untuk menunjukkannya di lokasi lain—apa yang disebut Susan Sontag sebagai tindakan “memposisikan diri dalam suatu relasi tertentu terhadap dunia yang serupa pengetahuan—dan maka, serupa dengan kuasa¹.” Saat gambar dipertunjukkan dan digunakan ulang di suatu lokasi, makna baru akan dibubuhkan pada tubuhnya. Ia akan menerima konteks baru saat tampil di waktu yang berbeda.
Death of an Extra (2023) menampilkan perjalanan footage kematian seorang tentara Jerman tak berwajah dalam Pertempuran Stalingrad, Perang Dunia II. Naasnya, ia harus wafat berkali-kali dalam sinema ketika rekamannya didaur ulang dalam filem-filem bertema perang lainnya. Meskipun penonton tak tahu-menahu tentang identitas si musuh di luar detik-detik terakhirnya, penempatan footage tersebut dalam berbagai montase dapat menyibakkan banyak hal: arus wacana global yang menentukan pemenang dan pecundang, ideologi visual dan politis si pembuat filem hingga usaha masing-masing dari mereka untuk menempatkan kematian tersebut dalam sebuah relasi sebab-akibat.
Footage ini lantas bereinkarnasi dalam bentuk-bentuk baru, seperti filem drama hingga video game. Pada akhirnya, kokang senjata ada di tangan kita sebagai pentonton dan pemain. Sebagai spektator yang haus akan representasi kematian musuh bersama, kita turut berpartisipasi dalam kematian-kematian berulang dari wajah-wajah tanpa identitas ini.
Jika tokoh utama Death of an Extra adalah tentara tak berwajah yang terabadikan dalam tiga detik footage kematiannya, tokoh utama dari Kim’s Video adalah sekitar 55.000 koleksi kaset VHS yang bersirkulasi di toko rental Kim’s Video di New York selama 30 tahun. Sekitar tahun 2008, ketika para pelanggan Kim’s Video beralih ke streaming, toko tersebut tutup dan menyerahkan koleksi filemnya ke Salemi, kota kecil antah-berantah di Italia yang menawarkan diri untuk membangun pusat kebudayaan untuk merawat koleksi-koleksi tersebut. Jika tawaran ini terdengar terlalu menggiurkan untuk dapat dipercaya, memang benar demikian, karena selang bertahun-tahun kemudian, tak ada yang tahu kabar koleksi-koleksi video Kim. Ketika sang pembuat filem bertekad menginvestigasi apa yang terjadi, ia terlempar ke dalam jalinan benang konspirasi dan petualangan menegangkan yang paralel dengan filem-filem yang pernah ia tonton. Pada titik ini, kita berhak untuk menyatakan: hidup bisa lebih aneh daripada fiksi.
Dalam kultur sinefilia, gambar bergerak menjadi entitas aktif yang tak hanya ‘hidup’ dalam dirinya sendiri. Si gambar juga menciptakan ruang pemahaman yang menerima orang-orang untuk berkumpul di dalamnya, menghubungkan memori, pengalaman dan hasrat mereka dengan gambar-gambar yang selalu siap menerima konteks baru. Pertukaran ini terjadi tanpa putus, melintasi ruang dan waktu—salah satu alasan mengapa Zoopraxiscope masih saja kita bincangkan di tahun 2023. Sepanjang sejarah, titik tertinggi potensi sebuah gambar bergerak adalah kemampuannya untuk menggerakkan manusia, menyebabkan gerakan kebudayaan, dan tentunya, menyebabkan Anda untuk membaca teks ini sekarang.
¹Susan Sontag, “In Plato’s Cave” dalam On Photography, Hal. 2, Rosetta Books, 2005.
When the technologies of recording have become inseparable from everyday life, the motion that ‘animates’ cinema and video has been taken for granted by its users. This curatorial offers a further dissection of the word ‘motion’ that always follows the term ‘motion picture’—how it moves within the frame, across time and space and causes movements itself.
Bringing a still image to life is an invention that gives birth to cinema. In 1879, Eadweard Muybridge with his Zoopraxiscope discovered that if a camera captured a moving subject with quick, consecutive shots, it could ‘capture’ the subject’s movement in a sequence. Thus, the embryo of cinema is the study of subject motion within the photographic frame.
While movement has become a given element in everyday recording technology, Esrever (2023) breaks the smooth, uninterrupted movement of contemporary video into fragments through editing techniques. The film begins with footage of people doing their activities in a park from the point of view of a rotating camera. From a seemingly slow motion, the movement speeds up, until the recorded objects are no longer individually visible, leaving only glimpses of blended colors. Interruptions to the video appear from the overlaying of two or three layers of images with different levels of transparency to repeated fragments of movement.
These interruptions invoke a sense of time being stretched and compressed at the filmmaker’s whim. Almost all filmmakers do this through their montages, but when editing is presented as a disruption, the sensation that the viewer’s time is being manipulated is even stronger. Like a collage artist who breaks down images into disruptive new forms, Esrever‘s filmmaker creates a collage of time.
Another understanding of ‘motion’ is a journey through time and space experienced by the image. Growing up in the final decades of colonialism, cinema is rooted in the desire to capture what exists in one location to show it in another—what Susan Sontag calls the act of “putting oneself into a certain relation to the world that feels like knowledge–and, therefore, like power¹.” When an image is performed and reused in a location, new meanings will be affixed to its body. It will receive a new context when performed at a different time.
Death of an Extra (2023) depicts a journey of a footage of the death of a faceless German soldier at the Battle of Stalingrad in World War II. In what seems as a cruel farce, he had to die multiple times in cinema when his footage was recycled in other war-themed films. The audience may know nothing about his identity beyond these last seconds, but the placement of the footage in various montages can reveal many things: the flow of the global discourse that determines who won and who lost, the visual and political ideologies of each filmmakers, and their respective attempts to justify his death in a causal relationship.
This footage is then reincarnated in new forms, from drama films to video games. Ultimately, the gun is in our hands as spectators and players. As spectators yearn for a representation of death for our common enemy, we participate in the repeated deaths of these anonymous faces.
If the protagonist of Death of an Extra is the faceless soldier immortalized in three seconds of footage of his death, the protagonist of Kim’s Video is the approximately 55,000 VHS cassette collection that circulated at Kim’s Video rental store in New York for 30 years. Around 2008, when Kim’s Video’s customers switched to streaming, the store closed down and handed over its film collection to Salemi, a small town in the middle of nowhere in Italy that offered to build a cultural center to care for the collection. If this offer sounds too good to be true, it is, because years later, no one knows what became of Kim’s video collection. When the filmmaker sets out to investigate what happened, he is thrown into a tangle of conspiracy threads and suspenseful adventures that run parallel to the films he has seen in his life. At this point, it’s safe to say that life can be stranger than fiction.
In the culture of cinephilia, the moving image becomes an active entity that not only ‘lives’ in itself. It also creates a space of understanding that welcomes people to gather in it, connecting their memories, experiences and desires with images that are always ready to receive new contexts. This exchange is continuous, across time and space–one of the reasons why we are still talking about Zoopraxiscope in 2023. Throughout history, the culminating point of a moving image’s potential has been its ability to move people, cause cultural movements, and of course, to cause you to read this right now.
¹Susan Sontag, “In Plato’s Cave” in On Photography, P. 2, Rosetta Books, 2005.
Film List
Esrever
Esrever
Filmmaker Heesue Kwon
Country of Production Republic of Korea
Language No Dialogue
Subtitle –
18 min, Stereo, Color, 2023
Esrever memecah gerakan video kontemporer yang mulus tanpa interupsi menjadi fragmen-fragmen gerak melalui teknik-teknik penyuntingan. Filem diawali dengan rekaman orang-orang yang sedang beraktivitas di taman dari sudut pandang kamera yang bergerak memutar. Dari gerak yang nampak diperlambat, gerakan menjadi semakin cepat, hingga objek yang direkam sudah tak lagi terlihat secara individu, menyisakan kilasan-kilasan warna yang membaur. Interupsi-interupsi terhadap video tampak melalui overlay dua-tiga lapis gambar dengan tingkat transparansi yang berbeda-beda hingga menjadi fragmen-fragmen gerakan yang berulang. Sebagaimana seniman kolase yang memecah gambar menjadi bentuk-bentuk baru yang disruptif, pembuat filem Esrever tengah melakukan kolase atas waktu.
Esrever breaks the smooth, uninterrupted motion of contemporary video into fragments through editing techniques. The film begins with footage of people doing their activities in a park from the point of view of a rotating camera. From a seemingly slow motion, the movement becomes faster and faster, until the recorded objects are no longer visible individually, leaving only glimpses of blended colors. Interruptions to the video appear from the overlaying of two or three layers of images with different levels of transparency until they become repetitive fragments of movement. Like a collage artist who breaks down images into disruptive new forms, Esrever‘s filmmaker creates a collage of time.
Heesue Kwon adalah seorang seniman yang mengeksplorasi perspektif sinematik yang diperluas dan pengalaman kinestetik melalui tubuh. Fokusnya adalah pada perangkat media optik dan sensorik yang digunakan untuk mendefinisikan ulang struktur dan tatanan institusional. Karya-karyanya meliputi pertunjukan langsung dan pameran audiovisual, termasuk BackgroundRadiationReflection (Platform L, 2019), CORE (Windmill, 2021), dan Monsoon (Munrae Art Factory, 2022), serta film seperti Cell Scope (2020) dan Membrane (2022) yang diputar di berbagai festival film.
Heesue Kwon is an artist who explores extended cinematic perspectives and kinesthetic experiences through the body. Her focus is on optical and sensory media devices used to redefine institutional structures and order. Her works include live performances and audiovisual exhibitions, including BackgroundRadiationReflection (Platform L, 2019), CORE (Windmill, 2021), and Monsoon (Munrae Art Factory, 2022), as well as films such as Cell Scope (2020) and Membrane (2022) that were screened at various film festivals.
Death of an Extra
Death of an Extra
Filmmaker Mikhail Zheleznikov
Country of Production Israel
Language Russian
Subtitle English
11 min, Stereo, Black & White & Color, 2023
Filem ini menampilkan perjalanan footage kematian seorang tentara Jerman tak berwajah dalam Pertempuran Stalingrad, Perang Dunia II. Naasnya, ia harus wafat berkali-kali dalam sinema ketika rekamannya didaur ulang dalam filem-filem bertema perang lainnya. Meskipun penonton tak tahu-menahu tentang identitas si musuh di luar detik-detik terakhirnya, penempatan footage tersebut dalam berbagai montase dapat menyibakkan banyak hal: arus wacana global yang menentukan pemenang dan pecundang, ideologi visual dan politis si pembuat filem hingga usaha masing-masing dari mereka untuk menempatkan kematian tersebut dalam sebuah relasi sebab-akibat.
The film depicts a journey of a footage of the death of a faceless German soldier at the Battle of Stalingrad in World War II. In what seems as a cruel farce, he had to die multiple times in cinema when his footage was recycled in other war-themed films. The audience may know nothing about his identity beyond these last seconds, but the placement of the footage in various montages can reveal many things: the flow of the global discourse that determines who won and who lost, the visual and political ideologies of each filmmakers, and their respective attempts to justify his death in a causal relationship.
Mikhail Zheleznikov (Leningrad, 1972) adalah seorang pembuat film yang telah menciptakan karya untuk ARTE, YLE, Corona Films, dan Studio Film Dokumenter St. Petersburg. Selain itu, ia menjadi kurator kompetisi film pendek eksperimental di festival film Message To Man sejak 2011. Zheleznikov juga aktif mengajar di berbagai institusi, termasuk Institut Kebudayaan Negeri St. Petersburg dan Universitas Film dan Televisi St. Petersburg. Ia juga turut menyelenggarakan festival film eksperimental Kinodot dan proyek eksperimental Per Forma 2 Stage di Teater Drama Besar.
Mikhail Zheleznikov (Leningrad, 1972) is a filmmaker who has created works for ARTE, YLE, Corona Films, and St. Petersburg Documentary Film Studio. In addition, he has been the curator of the experimental short film competition at the Message To Man film festival since 2011. Zheleznikov also actively teaches at various institutions, including the St. Petersburg State Institute of Culture and the St. Petersburg New Cinema School. He also co-organizes the Kinodot experimental film festival and the Per Forma 2 Stage experimental project at the Big Drama Theater.
Kim’s Video
Kim’s Video
Filmmaker David Redmon, Ashley Sabin
Country of Production USA
Language English
Subtitle English
86 min, Stereo, Color, 2023
Tokoh utama dari Kim’s Video adalah sekitar 55.000 koleksi kaset VHS yang bersirkulasi di toko rental Kim’s Video di New York selama 30 tahun. Sekitar tahun 2008, ketika para pelanggan Kim’s Video beralih ke streaming, toko tersebut tutup dan menyerahkan koleksi videonya ke Salemi, kota kecil antah-berantah di Italia yang menawarkan diri untuk membangun pusat kebudayaan untuk merawat koleksi-koleksi tersebut. Tawaran ini terdengar terlalu menggiurkan untuk dapat dipercaya, karena selang bertahun-tahun kemudian, tak ada yang tahu kabar koleksi-koleksi video Kim. Ketika sang pembuat filem bertekad menginvestigasi apa yang terjadi, ia terlempar ke dalam jalinan benang konspirasi dan petualangan menegangkan yang paralel dengan filem-filem yang pernah ia tonton. Pada titik ini, kita berhak untuk menyatakan: hidup bisa lebih aneh daripada fiksi.
The protagonist of Kim’s Video is the approximately 55,000 VHS cassette collection that circulated at Kim’s Video rental store in New York for 30 years. Around 2008, when Kim’s Video customers switched to streaming, the store closed and handed over its film collection to Salemi, a small town in the middle of nowhere in Italy that offered to build a cultural center to care for the collection. If this offer sounds too good to be true, it is, because years later, no one knows what became of Kim’s video collection. When the filmmaker sets out to investigate what happened, he is thrown into a tangle of conspiracy threads and suspenseful adventures that parallel the films he has seen. At this point, it’s safe to say that life can be stranger than fiction.
David Redmon menerima gelar Ph.D. dalam bidang sosiologi dari SUNY-Albany. Film dokumenternya telah ditayangkan di Sundance, Toronto, Museum of Modern Art, Festival Film Viennale, dan festival internasional lainnya.
Ashley Sabin mempelajari sejarah seni di Pratt Institute di Brooklyn. Sejak tahun 2005, ia telah membuat film dokumenter bersama David Redmon.
David Redmon received his Ph.D. in sociology from SUNY-Albany. His documentaries have premiered at Sundance, Toronto, the Museum of Modern Art, Viennale Film Festivals, and other international destinations.
Ashley Sabin studies art history at the Pratt Institute in Brooklyn. Since 2005 she has been working on documentary movies together with David Redmon.
About the Host
Dini Adanurani
Dini Adanurani adalah seorang peneliti film dan seni independen yang tinggal di Jakarta. Dini sering terlibat dalam penyelenggaraan festival film seperti ARKIPEL – Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival dan Festival Film UI. Penelitian sebelumnya dengan Forum Lenteng mencakup topik arsip film Indonesia, candi-candi Jawa, dan narasi sehari-hari, mengembangkan praktiknya ke dalam instalasi, video, dan seni pertunjukan yang direalisasikan secara kolektif. Ia adalah alumnus Akademi Kritikus Locarno 2022. Tulisannya dapat ditemukan di Variety, photogénie, dan Jurnal Footage.
Dini Adanurani
Dini Adanurani is an independent film and art researcher based in Jakarta. She is often involved in organizing film festivals such as ARKIPEL – Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival and UI Film Festival. Her previous research with Forum Lenteng covers topics of Indonesian film archives, Javanese temples, and everyday narratives, developing her practice into collectively realized installations, videos, and performance art. He is an alumnus of Locarno Critics Academy 2022. Her writing can be found in Variety, photogénie, and Footage Journal.