Seperti peta, generasi juga memiliki kontinum. Kontinum tersebut menarik untuk ditelusuri, sebagai materi pembelajaran tentang peradaban, khususnya dalam ranah budaya. Kita bisa membaca bagaimana pergeseran karakter antar-generasi terjadi, dengan melihat tanda-tanda, seperti adanya peristiwa-peristiwa penting pada kurun waktu tertentu dan kemunculan teknologi ikonik tertentu. Sebagai contoh, ambillah kelompok masyarakat yang disebut sebagai generasi X, atau generasi MTV. Mereka tumbuh dewasa sambil menggunakan Walkman dan komputer personal, sementara di sisi lain kehidupannya, kasus AIDS merebak, perang nuklir terjadi, dan Tembok Berlin runtuh. Masa remaja mereka dihiasi dengan program MTV dan filem-fiem Hollywood. Khusus bagi remaja di Indonesia pada masa itu, mereka mengalami pergantian politik berbangsa: tumbangnya rezim Orde Baru, dan Reformasi pun terjadi di saat mereka mulai memasuki periode kerja. Penanda-penanda tersebut tentu berpengaruh pada cara pandang generasi X terhadap dunia. Hal tersebut juga sangat memengaruhi bagaimana produksi budaya yang diinisiasi individu-individu bisa tercipta. Jika kita membayangkan sebuah puisi yang terlahir dari generasi ini, maka yang akan tergubah adalah sebuah bahasa yang disusun dari kepingan-kepingan peristiwa keseharian yang terimbas krisis ekonomi dan politik, penataan bunyi reruntuhan rezim dan irama yang menderapkan euforia kebebasan.

Generasi berikutnya, yang dikenal dengan sebutan generasi Y, atau milenial, adalah orang-orang yang tumbuh dalam masa pergantian abad. Merekalah digital native, karena keakraban mereka dengan jaringan internet, seluler, dan media sosial. Generasi inilah yang pada gilirannya kemudian mendapat banyak kritikan dari orang-orang tua, sebagai generasi yang apolitis yang selalu berkutat dengan ke’aku’annya, hingga dijuluki ‘Me, me, me generation’. Segala aspek kehidupan mereka ditentukan oleh apa yang tersirkulasi dalam jaringan media sosial. Tentu saja itu semua juga berpengaruh besar pada produk-produk budaya yang mereka lahirkan. Generasi Y yang hidupnya serba terhubung dan melegitimasi dirinya melalui jumlah followers dan likes, dan seleranya diarahkan oleh reviews, yang gejalanya makin mengarah ke marjinalisasi diri.

Tapi, sebenarnya, bagaimana pergeseran watak secara ekstrem antar generasi ini bisa terjadi? Atau, lebih tepatnya, di titik manakah watak tersebut mulai berubah? Dalam kasus generasi Y, apa ujung-pangkalnya, hingga mereka dijuluki sebagai ‘me generation’? Bisakah kita berasumsi bahwa: di penghujung akhir abad ke 20, perubahan itu dimulai. Saat itu generasi X mulai memasuki usia pertengahan dua puluhan. Seiring dengan perkembangan teknologi internet, muncul perasaan yang sama dari mereka tentang konsep berbagi file digital yang sulit didapat, secara peer-to-peer. Sejak itu pula media sosial mulai dikembangkan.

Perkembangan tersebut tidak terjadi hanya pada wilayah teknologinya saja, namun juga meluas sampai ke ranah kehidupan sosial. Pola pertemanan yang termediasi terasa menarik dan bermanfaat, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Awalnya, kaum muda berbagi testimoni dengan sesama user di media sosial. Dari sanalah ‘konsep diri’ mulai didefinisikan oleh orang lain. Kita bisa menyangkalnya, mengafirmasinya, atau menambahkannya, dan pada akhirnya kita mulai sibuk mendefinisikan diri kita sendiri. Eksistensi diri menjadi begitu penting, bukan melalui pencapaian-pencapaian, tapi melalui penghiasan wilayah privat untuk dilihat oleh publik. Masyarakat jadi suka mengumpulkan reaksi orang lain terhadap dirinya, terhadap karyanya, terhadap pengalaman pribadinya, dan sebagainya. Walau sadar berada di ruang umum, namun tendensi publik arsip media sosial adalah privat. Merias kamar pribadi untuk meraih eksistensi di wilayah umum. Sejak itulah autobiografi orang-orang hebat jadi kalah hebat dengan autobiografi jutaan generasi yang terpampang di halaman depan media sosial mereka, yang dipercantik, diperunik, dan sungguh interaktif sejalan dengan waktu. Inilah ujung-pangkalnya muncul ‘me generation’, yang mampu meletakkan diri mereka menjadi latar depan sejarah hari ini. Mereka membuat gelombang besar peran ‘orang biasa’ dalam produk-produk budaya.

Program kuratorial ini adalah kumpulan kisah  para ‘aku-aku’, yang memilih bersikap politis dengan cara menjadi orang biasa. Inilah susastra di dekade kedua milenium, yang mengungkap kekuatan super orang-orang biasa: orang bisa melayang di udara hanya untuk melihat-lihat lingkungan sekitar (Cherries, Vytautas Katkus, Lithuania); orang sangat yang berhasrat merekam untuk bisa mengungkap preferensi seksualnya (Will You Look at Me, Shuli Huang, China); orang yang punya kemampuan menyesatkan orang lain di dalam sebuah ‘kisah’ (Mangosteen, Tulapop Saenjaroen, Thailand); orang yang memiliki kemampuan bertahan hidup seperti ikan pari Manta (Manta Ray, Anton Bialas, Perancis); dan orang biasa yang bisa mengumpulkan orang-orang biasa lainnya dalam sebuah perjalanan impresionistik yang membosankan (Aqueronte, Manuel Muñoz Rivas, Spanyol).

Kumpulan filem dalam program kuratorial ini seperti sebuah antologi puisi milenium yang menunjukkan fenomena terkini, yaitu perbincangan orang-orang biasa tentang diri sendiri, menjauhkan diri dari friksi politis. Itu adalah peta lokasi generasi milenial, yang kontinumnya ada pada simulasi sosial, dan bisa dilihat sebagai bentuk pengabaian terhadap kultur sinema dominan.