Catatan tentang Forum Festival, Panel II
Panel kedua dari total lima panel dalam rangkaian Forum Festival ARKIPEL Penal Colony – 5th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival, 2017, fokus membahas kurasi dan hubungannya dengan geopolitik. Walaupun keduanya tampak sangat berseberangan, namun sebenarnya dua hal itu dapat menjadi sebuah hal yang baru dan menimbulkan sebuah kritisisme baru dalam dunia sinema. Panel kedua ini dilaksanakan di auditorium utama Goethe Institute Jakarta, pada 18 Agustus 2017, pukul 13.30 – 15.00 WIB.
Panel yang dihadiri oleh tujuh puluh peserta ini, diisi oleh tiga pembicara, satu moderator, dan satu penerjemah. Masing-masing pembicara memaparkan hal-hal yang berkaitan dengan kurasi filem, selayaknya apa yang menjadi tema di panel ini. Panel ini pun pada akhirnya menjadi begitu lekat pada citra ARKIPEL sebagai sebuah festival filem, sebab pembahasannya tidak jauh-jauh dari makna pengkurasian filem dan citra festival filem terhadap para sutradara.
Pembicara pertama, Jihyeon Song, adalah seorang kurator asal Korea Selatan kelahiran 1987 yang telah mengurasi program penayangan, di antaranya adalah “Unfolding Time” (2015) dan “During the Play” (2017). Pada kesempatan hari itu, dia memboyong seorang penerjemah bernama Erin Park untuk membantunya berkomunikasi dengan para hadirin. Dalam presentasi makalahnya, ia fokus pada tema mengenai kolonialisasi dan hubungannya dengan sinema. Secara lebih khusus lagi, ia membahas sinema Korea Selatan yang berhubungan dengan kolonialisasi. Ia menjabarkan beberapa filem, seperti Strategic Operations-Hyper Realistic (2015), yang menggambarkan secara khusus situasi setelah peperangan; mengekspos kebrutalan kolonialisasi. Filem selanjutnya yang ia bahas adalah Scrumped (2016) yang digarap oleh sutradara bernama Cho, yang mengisahkan problematika agama dalam situasi kolonialisasi yang ternyata cukup pelik. Beberapa karya lain, seperti A Short History of Decay (2014) oleh Lin Shih-chieh dan Proximity of Longing (2016) karya Sejin Kim yang sama-sama menggambarkan situasi era kolonial dalam sinema.
Dalam kesempatannya di panel ini, Jihyeon Song menayangkan cuplikan dari sebuah filem Korea Selatan berjudul Jeju Prayer karya ImHeung-soon (2012). Filem tersebut merupakan kisah nyata tentang sebuah keluarga dan perempuan yang mampu melewati masa-masa suram di Pulau Jeju. Filem itu secara khusus mengekspos sisi gelap dari Pulau Jeju yang merupakan sebuah kuburan massal, jauh dari kesan asri dan indah seperti yang menjadi pujaan turis saat ini. Lewat tayangan cuplikan dari filem tersebut, Song ingin menunjukkan bahwa sineas juga mengandung aspek sosial serta kultural. Lewat filem, sejarah dapat dikontruksi dan memberikan pemaknaan pada masa-masa yang dilalui oleh manusia. Begitulah seni dalam filem bekerja.
Pembiacara kedua, Ismail Basbeth, merupakan seorang sutradara Indonesia yang telah menggarap filem-filem pendek, salah satunya berjudul Shelter (2011), yang sudha pernah ditayangkan di Busan dan Rotterdam Film Festival. Filem komersil yang digarapnya, salah satunya berjudul Talak 3. Selain menjadi sutradara, ia juga menjadi produser di Matta Cinema.
Dalam kesempatannya di panel itu, ia begitu menjabarkan hubungan antara sutradara dan festival filem. Nyatanya, hubungan keduanya begitu sangat berkaitan. Dalam pembicaraannya, ia menyatakan bahwa festival filem merupakan wadah yang memiliki kecenderungan untuk memilih dan memposisikan dirinya bersama dengan para sutradara yang memiliki identitas artistik. Dalam hal ini, baginya, festival filem yang berisikan karya-karya dari sutradara yang berintegritas mampu menggeser pasar filem dunia yang karyanya cenderung stagnan dan umumnya hanya sekadar mengejar keuntungan materi semata.
Identitas artistik yang dimaksud olehnya adalah suatu identitas yang ditarik dari bagian dalam diri sutradara itu sendiri. Ada pola yang berulang dan khas dalam filem-filem yang digarap seorang sutradara. Katakanlah, seperti Woody Allen, Xavier Dolan, dan Christoper Nolan. Lantas, sebuah festival filem menjadi wadah bagi mereka untuk menampilkan identitias mereka yang tertuang di dalam filem. Dalam hal tersebut, aktivitas kurasi menjadi penting, karena akan membantu para penonton untuk memahami hal-hal yang belum dijelaskan oleh sutradara di dalam karyanya dan menemukan perspektif kolektif teritori di wilayah sutradara tersebut.
Pembicara ketiga, Aryo Danusiri, merupakan sutradara Indonesia yang lahir di Jakarta pada tahun 1973. Karya-karyanya sudah ditayangkan di Royal Anthropological Institute Film Festival (Inggris) dan Margaret Mead Film Festival (Amerika Serikat). Ia merupakan lulusan S2 di Tromso University, Norwegia, dengan jurusan studi kultural dan doktoral di Harvard University.
Aryo Danusiri menegaskan bahwa geopolitik dan filem, walaupun keduanya saling bertegangan, namun sebenarnya memiliki suatu hubungan tersendiri. Geopolitik yang merupakan sebuah politik pemaknaan terhadap teritori-teritori tertentu dan mengontrol pengetahuan kita akan dunia pusat, berbanding terbalik dengan filem yang cenderung tidak terbatas; layaknya kapal yang berlayar menembus batas-batas benua. Pemaknaan geopolitik dalam aktivitas kurasi perlu diwaspadai oleh para kurator, sebab akan menimbulkan problem metodologikal. Estetika geopolitik menegaskan bagaimana posisi pembuat filem dalam tatanan dunia. Lewat cara itu, pada akhirnya sinema justru terfragmentasi atas sinema pusat dan pinggiran, di mana istilah “selatan” merujuk pada sinema-sinema pinggiran.
Dalam hal ini, Aryo berusaha menegaskan bahwa kurator berperan banyak dalam menangani kasus ini. Baginya, kurator dianggap sukses ketika tidak berlagak seperti seorang schoolmaster, melainkan menjadi penonton juga. Sebab akhirnya, kurator juga adalah penonton sinema. Kurator yang menyombongkan dirinya menjadi seorang schoolmaster justru sebenarnya sedang membunuh citra dirinya sebagai seorang curator karena menciptakan jarak antara dirinya dan penonton.
Diskusi dalam panel dihadiri oleh kurang/lebih tujuh puluh orang dan berlangsung sangat lancar. Beberapa orang melayangkan pertanyaan dan tanggapan, salah satunya dari Direktur Artistik ARKIPEL sendiri (sekaligus ketua Forum Lenteng, organisasi penyelenggara festival ini), Hafiz Rancajale. Hafiz menanggapi soal peran kurator yang sebenarnya adalah fasilitator dalam sinema, yang beranjak untuk membangun peristiwa-peristiwa sosial, sehingga kajiannya bisa lebih mendalam. Dan menurutnya, posisi dan strategi kuratorial pada masa ini telah mengalami perkembangan yang cukup pesat, terutama dalam praktik-praktik kolaborasi. Dan paradigma tentang kesetaraan antara kurator dan audiens telah menjadi hal yang diutamakan. Praktik-praktik seni dan filem pada masa ini juga telah beranjak dari cara pandang lama sebagaimana yang dikritik oleh Aryo tersebut.
Panel II di program Forum Festival tersebut berakhir pada pukul 13:30. Para hadirin kemudian dimobilisasi oleh panitia menuju Gudang Sarinah Ekosistem untuk menghadiri acara pembukaan pameran Kultursinema, salah satu program utama dalam festival ARKIPEL Penal Colony. ***
Notes on Festival Forum, Panel II
The second panel of total five panels in the Festival Forum ARKIPEL Penal Colony – 5th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival, 2017, focuses on curation and its relationship with geopolitics. Although that two appear to be quite opposite to each other, they can actually be a novelty and raise a new criticism in the world of cinema. The second panel was held at the main auditorium of Goethe Institute Jakarta, on August 18, 2017, at 13.30 – 15.00 WIB.
The panel, which was attended by seventy participants, consisted of three speakers, one moderator, and one interpreter. Each speaker elaborated the matters related to film curating, for that matter is what the theme of this panel about. This panel also eventually is much embedded to the image of ARKIPEL as a film festival, because the discussion is not far from the meaning of film curating and the image of film festival to the filmmakers.
The first speaker, Jihyeon Song, is a curator from South Korea born in 1987 which has curated screening programs, among other are “Unfolding Time” (2015) and “During the Play” (2017). On the occasion of that day, she brought an interpreter named Erin Park to help her to communicate with the audience. In her paper presentation, she focused on the theme of colonization and its relation to cinema.
More specifically, she discussed the South Korean cinema associated with colonization. She described several films, such as Strategic Operations-Hyper Realistic (2015), which depicted in particular the situation after the war; exposing the brutality of colonization. The next film she discussed was Scrumped (2016), which was directed by director Cho, which is about the problems of religion in the colonial situation which was quite complicated. Some other works, such as A Short History of Decay (2014) by Lin Shih-chieh and Proximity of Longing (2016) by Sejin Kim, both describe the situation of the colonial era in cinema.
On the occasion in this panel, Jihyeon Song screened a footage from a South Korean film titled Jeju Prayer by ImHeung-soon (2012). The film is a true story of a family and a woman capable of passing through the bleak times on Jeju Island. The film specifically exposes the dark side of Jeju Island, which is a mass grave, far from the alluring and beautiful impression of what the tourists admire today. Through the footage of that film, Song wanted to show that the cineast also consists of social and cultural aspects. Through film, history can be constructed and gives the meaning on the times passed through by humans. That’s how art in film works.
The second speaker, Ismail Basbeth, is an Indonesian director who has worked on short films; one of the films is Shelter (2011), which has been screened in Busan and Rotterdam Film Festival. The commercial film he worked on, one of the films is Talak 3. In addition of being a director, he is the producer of Matta Cinema.
In that opportunity, he deciphered the relationship between the filmmakers and film festival. In fact, their relationship is so closely related. In his speech, he stated that the film festival is a place with a tendency to choose and locate itself together with directors who have artistic identity. In this case, for him, a film festival containing works from a director with integrity is able to shift the world film market whose works tend to stagnate and generally only pursue material gain.
The artistic identity he meant was an identity drawn from the inside of the director himself. There is a repetitive and distinctive pattern in films directed by a director. Say, like Woody Allen, Xavier Dolan, and Christoper Nolan. Then, a film festival becomes a place for them to show their identities in the film. In that case, curation activity becomes important, because it will help the audience to understand things that have not been explained by the director in his works and find the collective perspective of territory in the area of that director.
The third speaker, Aryo Danusiri, is an Indonesian director born in Jakarta on 1973. His works were screened at the Royal Anthropological Institute Film Festival (UK) and the Margaret Mead Film Festival (United States). He is a master graduate from Tromso University, Norway, majoring in cultural studies and his doctoral degree was received at Harvard University.
Aryo Danusiri asserted that geopolitics and film, although both are in tension, but actually have their own relationship. Geopolitics, which is a political meaning to certain territories and controls our knowledge of the central world, is inversely related to a film that tends to be unlimited; like a ship sailing through the boundaries of continent. Geopolitical meanings in curatorial activities need to be guarded by the curators, because it will lead to methodological problems. Geopolitical aesthetics affirms how the positions of filmmakers in the world order. Through that way, in the end, the cinema is fragmented over the central cinema and the periphery, where the term “south” refers to marginal cinema.
In this case, Aryo tried to confirm that the curator plays huge role in handling this case. To him, the curator is considered to be successful when not pretending like a schoolmaster, but being a spectator as well. Finally, the curator is also an audience of cinema. The curator who brags himself into a schoolmaster is actually killing his image as a curator because it creates a distance between himself and the audience.
The discussion in this panel was attended by less than seventy people and went very smoothly. Some asked questions and gave responses, one of them is from ARKIPEL Artistic Director himself (and chairman of Forum Lenteng, the organization of this festival organizer), Hafiz Rancajale. Hafiz responded to the role of curators who are actually facilitator of the cinema, who are moving to build social events, so their studies can be more profound. And according to him, curatorial positions and strategies during this period have developed quite rapidly, especially in collaborative practices. And the paradigm of equality between the curator and the audience has become a priority. The art and film practices of this period have also moved from the old point of view as criticized by Aryo.
Panel II at the Festival Forum program was ended at 13:30. The audience was then mobilized by the committee to Gudang Sarinah Ekosistem to attend the opening ceremony of Kultursinema exhibition, one of the main programs in the ARKIPEL Penal Colony festival. ***