Catatan tentang Forum Festival, Panel III
Selama dua hari, dimulai dari hari Jumat 18 Agustus 2017, ARKIPEL Penal Colony – 5th International Documentary and Experimental Film Festival menggelar program Forum Festival, sebuah forum diskusi terbuka dengan beragam tema yang menarik seputar filem. Sabtu pagi, tanggal 19 Agustus 2017, hari ke-2 rangkaian Forum Festival di ARKIPEL 2017 diawali dengan Panel III yang bertajuk “Platform Kolektif Filem sebagai Agenda Katalis”. Sama seperti dua panel Forum Festival pada hari sebelumnya, panel ketiga ini bertempat di GoetheHaus.
Komunitas, seperti yang mungkin sudah kita ketahui, memainkan peran yang cukup penting dalam pengembangan pengetahuan sinema. “Pada panel ketiga ini akan membahas posisi dan strategi yang ideal dari sebuah kolektif atau komunitas atau organisasi yang giat di ranah atau kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan filem, apakah itu produksi, presentasi maupun distribusi. Selain itu, juga tentang bagaimana kita membayangkan sebuah kolektif itu bekerja dan bagaimana dia dapat membuat organisasi itu berkelanjutan,” ujar Manshur Zikri (kritikus dan kurator filem) selaku moderator diskusi pada panel pagi itu.
Moderator kemudian memperkenalkan para panelis yang duduk di samping kirinya di atas panggung satu per satu. Deretan panelis itu dihadiri oleh Muhammad Reza dan Ario Fazrien, Yonri Revolt, dan Nguyen Trinh Thi. “Ketiga panelis ini hadir dengan latar belakang sebagai pegiat, yang dari awal berdiri hingga sekarang, berpengalaman dalam mengembangkan strategi-strategi kolektif itu sendiri,” kata Zikri, usai menyebutkan profil singkat masing-masing panelis.
Pembicaraan mengenai wadah kolektif ini dimulai oleh Muhammad Reza dan Ario Fazrien sebagai pembicara pertama. Keduanya, bersama dengan Budiman Setiawan dan Muhammad Haviz mendirikan Sinema Kolekan, sebuah inisiatif yang aktif di kegiatan pengarsipan, kuratorial, dan pengembangan jaringan komunitas filem. Nama ‘kolekan’ serta-merta mereka pilih untuk mencerminkan koletivitas dalam wadah mereka. “Nama ‘kolekan’ itu lahir dari memori yang ada waktu di SMA, saat ingin membeli hadiah, lalu kita patungan,” ujar Ario yang kemudian ditimpali oleh Reza, “diambil dari ‘collect’, serapan ‘mengumpulkan‘. Di Jakarta ‘kolek’ maksudnya ‘meminta’, seperti dari senior ke junior. Sinema Kolekan meminta filem,” ujar Reza singkat, memperkenalkan Sinema Kolekan.
Upaya pengumpulan karya-karya filem oleh Sinema Kolekan dimulai dari mendatangi festival-festival filem tingkat mahasiswa sekaligus dalam rangka melihat perkembangan filem mahasiswa. Melalui festival-festival filem yang mereka datangi itu, mereka mengetahui bahwa masalah utama komunitas filem mahasiswa adalah pada tahap distibusinya. Edukasi dan produksi filem akan sangat berbeda antara komunitas dan jurusan/departemen film yang ada di kampus-kampus. Selain itu, minimnya waktu juga membuat produktivitas komunitas filem mahasiswa menurun karena harus membagi waktu antara tugas kuliah dan kegiatan memproduksi filem.
Yonri Revolt kemudian melanjutkan pembicaraan mengenai esensi dari kolektif/komunitas filem itu sendiri. Menurutnya, komunitas filem di Indonesia masih kurang kritis dan idealis dalam membangun komunitasnya. Penulis, jurnalis warga, pembuat filem, dan pendiri Komunitas Yoikatra yang berbasis di Timika ini justru menganggap bahwa faktor munculnya permasalahan utama komunitas dalam hal produksi bukanlah karena minimnya alat, melainkan pengetahuan itu sendiri.
“Saya berpikir lagi, apa, sih, beda komunitas filem dengan industri filem? Atau jangan-jangan kita mendirikan komunitas filem sebagai batu loncatan menuju industri…?” kata Yonri. “Padahal, ada banyak makna berkomunitas, berhimpun, untuk mengelola sebuah kolektif filem. Hal ini yang membuat distribusi pengetahuan di daerah masing-masing tidak merata karena filem menjadi komoditas eksklusif.”
Yoikatra, komunitas yang bersama dengan beberapa orang lainnya ia dirikan, berproduksi secara kolektif sampai saat ini. Komunitas itu terbentuk atas kesukaan para anggota (pendirinya) terhadap filem, menonton, berdiskusi filem maupun mengkritisi filem. Berproduksi, melakukan riset, dan juga belajar sekaligus berbagi pengalaman/pengetahuan bagaimana proses shooting dan editing untuk masyarakat sekitar merupakan beberapa hal yang dilakukan Yoikatra.
Sesaat setelah Yonri menutup bagiannya, beberapa tamu seperti pembicara kunci Hsu Fang-Tze dan penutur bahasa asing lainnya mulai melepaskan alat bantu penerjemah mereka. Nguyen Trinh Thi kemudian bersiap untuk memberikan presentasi dalam Bahasa Inggris. Dengan menggunakan bantuan slide, trailer dari DOCFEST 2016 diputar.
Seniman dari Vietnam ini memperkenalkan Hanoi Doclab yang didirikannya pada tahun 2009. Hanoi Doclab yang berfokus pada filem dokumenter bekerja sama dan didukung oleh Goethe Institut selama dua tahun. Perjuangan Thi bersama Hanoi Doclab tidak mudah, terutama karena kurangnya pengetahuan tentang filem dokumenter. “…masalahnya adalah bahasa, banyak yang tidak mengerti: ‘Ini tidak menarik, sulit untuk ditonton’. Jadi saya menyadari bahwa kita perlu berusaha lebih jauh untuk mengedukasi, untuk mengenalkan bahasa-bahasa [filem] yang berbeda,” ujarnya.
Selain pada pengetahuan, akses terhadap alat-alat dan materi-materi yang berhubungan dengan filem juga salah satu masalah yang Thi temui. “Tak ada satu pun yang punya akses atas peralatan. Ini menggelikan. Di kampus-kampus filem, ada banyak perlengkapan, tapi mahasiswa sulit mendapat kesempatan untuk menggunakannya. Ini terjadi di mana pun, mereka mempunya ruangan yang penuh fasilitas tapi semuanya terkunci. Tak ada yang bisa menjadi pembuat filem yang independen.” Maka dari itu, Hanoi Doclab mengatasinya dengan cara memberikan workshop, screening, meminjamkan peralatan dengan bebas dan terbuka untuk siapa pun demi tujuan utama bersama: melatih pembuat filem independen dan membangun komunitas lokal dan budaya filem lokal.
Mengenai keberlangsungan komunitas dan bagaimana membuatnya berkelanjutan, Thi mengakui kalau ia ingin sekali belajar dari ARKIPEL dan juga Indonesia terutama karena komunitas filem di Indonesia yang menjamur dan juga kuat. Hal ini ia lakukan kala mengingat usia Hanoi Doclab yang tidak lagi muda dan kurangnya infrastruktur untuk menunjang keberlangsungan komunitas.
Zikri kemudian mengambil alih pembicaraan yang sudah ditutup oleh Thi. Moderator kemudian mempersilakan hadirin diskusi untuk memberi tanggapan atau pertanyaan. Zikri memberikan pancingan dengan memprovokasi ide tentang kemungkinan bagi komunitas untuk “menciptakan” aksesnya sendiri ketimbang hanya mencari akses itu. Umpan itu kemudian disambut oleh dua orang (yakni Lulu Ratna, seorang aktivis perfileman, dan Fausto Axel Evans, pegiat dari LFM ITB) di antara total 67 peserta yang hadir dan 1 jurnalis (Kompas Muda).
Lulu Ratna menyinggungnya usaha untuk menyiasati persoalan terkait motivasi seorang pegiat filem, terutama menangani faktor-faktor kebertahanan mereka di ranah ini. Sebab, umumnya keberlanjutan sebuah komunitas terhenti karena anggota-anggotanya mulai sibuk dengan masalah-masalah domestik, seperti kebutuhan untuk mencari kerja (pemasukan) dan menikah. Bagaimana menjaga energi berkomunitas secara konsisten, hal itulah yang menurut Lulu Ratna perlu dipikirkan strateginya. Meskipun pendapat itu disetujui oleh ketiga panelis, tetapi isi diskusi pada hari itu kurang memberikan resolusi baru yang menurut saya seharusnya bisa menjawab kegelisahan tersebut. Barangkali, singkatnya waktu yang tersedia (hanya 1,5 jam) menjadi penyebab mengapa Panel III ini belum bisa menawarkan jawaban-jawaban baru selain hanya mengulang lagi paparan-paparan masalah-masalah yang dihadapi komunitas. ***
Notes on Festival Forum, Panel III
For two days, started from Friday, August 18th 2017, ARKIPEL Penal Colony – 5th International Documentary and Experimental Film Festival held a Forum Festival program, a forum of open discussion with various interesting themes related to films. Saturday morning, August 19th 2017, second day of Forum Festival in ARKIPEL 2017 was commenced with Panel III entitled “Platform of Film Collective as Catalytic Agenda”. Like the two panels of Forum Festival in the day before, the third panel is also at GoetheHaus.
Communities, as we might have known, play a significant role in the development of cinematic knowledge. “This third panel is going to discuss the ideal position and strategy of a collective or an active community or organization in the realm or activities related to film, whether in production, presentation or distribution. In addition, it is also about how we imagine a collective working and how it can make the organization sustainable,” said Manshur Zikri (critic and film curator) as moderator of the panel discussion that morning.
The moderator then introduced the panelists sitting on his left side on the stage one by one. The line of panelists were consist of Muhammad Reza and Ario Fazrien, Yonri Revolt, and Nguyen Trinh Thi. “These three panelists come with backgrounds as film activists, who from the very beginning up to now, are well experienced in developing the collective strategies themselves,” said Zikri after mentioning the brief profiles of each panelist.
The talks about this collective place were started by Muhammad Reza and Ario Fazrien as the first speakers. Both, along with Budiman Setiawan and Muhammad Haviz, founded the Sinema Kolekan, an initiative active in archiving, curatorial, and film community networking activities. The name ‘kolekan’ they choose to reflect the collectiveness in their organization. “The name ‘kolekan’ was born from the memory during high school time, when we want to buy a gift, then we collect money,” said Ario who later was continued by Reza, “It’s taken from English word ‘collect’, the uptake of ‘collecting’. In Jakarta ‘kolek’ means ‘ask’, such as from senior to junior. Thus, Sinema Kolekan asks for films,” said Reza shortly, introducing the Sinema Kolekan.
The struggle to collect films by Sinema Kolekan starts by coming to student film festivals to see the development of student films. Through this film festival, they know that the main problem of the student film community is at the stage of distribution. Education and film production will be very different between the community and the film department on campuses. In addition, the lack of time also makes the productivity of the student film community decline because it has to divide the time between the coursework and film production.
Yonri Revolt then went on to talk about the essence of film collective/community itself. According to him, the film community in Indonesia is still less critical and idealistic in building the community. This writer, citizen journalist, filmmaker, and founder of Yoikatra Community which is based in Timika, thinks that the main problem of the community (collective/group) in terms of production is not because of the lack of tools, but the knowledge itself.
“I think again, what is the difference between film community and film industry? Or do we establish a film community as a stepping stone to the industry …?” said Yonri. “Whereas, there are many meanings of community, gathering, to manage a film collective. This makes the distribution of knowledge in each region is uneven because the film becomes an exclusive commodity. ”
Yoikatra, a community which with other friends he founded, produces films collectively up to this day. The community was formed on the preferences of the members (founders) of the film, watching, discussing films and criticizing the film. Producing, conducting research, as well as learning as well as sharing experiences / knowledge of how the shooting and editing process for the surrounding community are some of the things that Yoikatra did.
For a while after Yonri closed his part, some guests like the Keynote Speaker Hsu Fang-Tze and other foreign language speaker put down their intepreter device. Nguyen Trinh Thi then prepared herself to give presentation in English. By using the help of slide, the trailer of DOCFEST 2016 was screened.
This Vietnamese artist introduced Hanoi Doclab which she founded in 2009. Hanoi Doclab which focuses on documentary films works together and is supported by Goethe Institute for two years. Thi’s struggle with Hanoi Doclab is not easy, especially because of the lack of knowledge about documentary film. “… the problem is language, many who do not understand: ‘It’s not interesting, hard to watch’. So I realize that we need to make further efforts to educate, to introduce different [film] languages,” she said.
Aside of knowledge, access to devices and materials related to the film is also one of the problems Thi encountered. “No one has access to equipment. This is ridiculous. On film campuses, there are plenty of equipment, but students find it difficult to get a chance to use them. This happens everywhere, they have a room full of facilities but everything is locked. No one can become an independent filmmaker.” Thus, Hanoi Doclab overcomes it by providing workshops, screening, lending equipment freely and openly to anyone for the ultimate shared purpose: training the independent filmmakers and building local communities and local film culture.
Regarding the sustainability of the community and how to make it sustainable, Thi acknowledges that she is eager to learn from ARKIPEL as well as Indonesia primarily because the film community in Indonesia is spreading and also growing strong. This is done considering the age of Hanoi Doclab is no longer young and the lack of infrastructure to support the sustainability of the community.
Zikri then took over the conversation that had been closed by Thi. The moderator then invited the audience to give responses or questions. Zikri triggers the audiences by provoking an idea on the possibility for the community to “create” its own access rather than simply seeking for access. The bait was then greeted by two people (by Lulu Ratna, a film activist, and Fausto Axel Evans, activist from LFM ITB) among a total of 67 participants and one journalist (Kompas Muda).
Lulu Ratna alluded the effort to deal with issues related to the motivation of a film activist, especially when dealing with the factors of their resilience in this sphere. Because, generally the sustainability of a community is stopped because the members starts to be busy with domestic problems, such as the need to find employment (income) and married. How to maintain consistent community energy, that’s what Lulu Ratna needs to think about strategy. Although the opinion was approved by the three panelists, but the contents of the discussion on that day lacked a new resolution that I think should be able to answer the unrest. Perhaps, the short provided time (only 1.5 hours) is the reason why Panel III has not been able to offer new answers other than just repeating talk about the problems facing by the community. ***