Pada hari Rabu (11/30), Program Kompetisi Internasional 08: Lanskap dan Keadilan Spasial ditayangkan. Acara dimulai pada jam 13.30, penonton memasuki tempat penayangan dan disambut oleh Akbar Yumni (Selektor ARKIPEL, Seniman) yang membawa acara dan menjelaskan program yang akan ditayangkan. Filem-filem dalam kurasi ini mengurai dinamika lanskap dengan waktu. Film yang ditayangkan pertama adalah Manzareh, Moalagh atau Landscape Suspended (2022, Nagmeh Abbasi) yang berlangsung selama 27 menit dan kemudian dilanjutkan dengan penayangan film Pele atau Skin (2021, Marcos Pimentel) yang berdurasi 75 menit. Setelah penayangan film selesai pada sekitar pukul 15.00, penonton bertepuk tangan dan acara selesai tanpa sesi diskusi.
Filem pertama yaitu Manzareh, Moalagh menunjukan orang-orang etnik Iran nomaden yang hidup di antara gunung Shaho. Kamera yang menelusuri pegunungan Zagros melakukan pembesaran gambar sampai jauh sekali, pada satu titik ditunjukan sumur yang berada di titik paling tinggi pegunungan yang dapat dilihat dari semua titik pandang. Akbar pada pembukaan program menjelaskan bahwa filem-filem ini mencoba menunjukan lanskap bukan dari bagaimana bentuknya dilihat. “Sinema dianggap sebagai teknologi yang dapat menyibak kenyataan dan jarak. Sebenarnya, terdapat batas-batas persimpangan antara alam dan teknologi.” Keadilan spasial dalam persimpangan yang dimaksud oleh Akbar ada dalam filem Manzareh, Moalagh. Lanskap sebagai tempat dan juga penaung persimpangan yang menyiratkan konflik kemanusiaan. Ketika kamera melakukan zoom untuk mencapai tempat terjauh, gambar berdenyut-denyut seakan kesusahan untuk menggapai kejauhan tersebut. Teknologi mengalami persimpangan yang seakan menyatu dengan interaksi manusia dengan ruang. Akbar mengatakan bahwa “sinema selalu berada di antara ruang, alam, dan teknologi.” Pengalaman keadilan spasial di sini hanya dapat dialami melalui sinema.
Tema ini berlanjut pada filem selanjutnya. Pada filem Pele, disajikan rekaman akan mural-mural yang ditunjukan bergantian, filem berlangsung sebagai repetisi akan mural yang disambung oleh rekaman mural lain. Repetisi ini menunjukan manusia yang sedang berjalan, duduk, atau mengerjakan sesuatu seolah sebagai suatu objek yang diam. Walaupun orang-orang yang ada di sekitar lanskap bergerak atau melakukan aktivitas, “objek diam” yang saya maksud adalah bagaimana manusia melakukan aktivitas sebagai aksi yang monoton. Mural seolah lebih memiliki karakter atau merupakan subjek daripada manusia pada filem ini. Repetisi image mural terkadang digantikan dengan fokus pada aktivitas manusia, seperti orang-orang yang menari sendirian maupun bersama, atau orang yang melakukan parkour. Fokus terhadap aktivitas itu namun tidak lepas dari lanskap yang mengelilingi manusia tersebut. Misalnya, ketika penari tersebut menari, kita juga ditunjukan lanskap kota yaitu mobil-mobil yang sedang berjalan di sekitar penari. Kemudian, saat satu orang sedang melakukan parkour, terdapat bagian di mana mural yang sebelumnya pernah ditunjukan, ditunjukan kembali dan fokus dikembalikan pada mural. Mural ditampilkan sebagai suara yang mewakili orang-orang yang tinggal di tempat itu. Dengan humor dan kelembutan hati, mural ini mewakili keadilan spasial yang ada pada ruang kehidupan mereka.
On Wednesday (11/30), the International Competition Program 08: Landscape and Spatial Justice was broadcast. The program started at 13.30, the audience entered the screening room and were greeted by Akbar Yumni (ARKIPEL Selector, Artist) who explained the program as the host. Films in this curation break down the dynamics of landscapes over time. The film that was shown first was Manzareh, Moalagh or Landscape Suspended (2022, Nagmeh Abbasi) which lasted 27 minutes and then continued with the screening of Pele or Skin (2021, Marcos Pimentel) which lasted 75 minutes. After the screening finished at around 15.00, the audience applauded and the event ended without a discussion session.
The first film, Manzareh, Moalagh, shows ethnic Iranian nomadic people who lives among the Shaho mountain. The camera tracing the Zagros Mountains zooms into the distance, at one point showing a well at the highest point of the mountains that can be seen from all vantage points. At the program’s opening, Akbar explained that these films try to show the landscape not from its shapes. “Cinema is considered a technology that can uncover reality and distance. In actuality, there are limits to the intersection between nature and technology.” Spatial justice is shown in the intersection that is referred to by Akbar in Manzareh, Moalagh. Landscape as a place and also a shelter for intersections that implies a humanitarian conflict. When the camera zooms to reach the farthest place, the image throbs as if it is difficult to reach that distance. Technology experiences an intersection that seems to unite with human interaction with space. Akbar said that “cinema is always between space, nature, and technology.” The experience of spatial justice here can only be experienced through cinema.
This theme continues in the subsequent film. In Pele, there are recordings of murals that are shown alternately, the film takes place as a repetition of murals that are joined by other mural recordings. This repetition shows humans who are walking, sitting, or doing something as if they were a still object. Even though the people around the landscape are moving or doing activities, by “still objects” what I mean is how the humans perform their activities as monotonous actions, like objects rather than subjects. The murals seem to have more character than humans in this film. Repetition of murals is sometimes replaced with a focus on human activities, such as people dancing alone or together, or people doing parkour. The focus on this activity cannot be separated from the landscape that surrounds these humans. For example, when the dancer is dancing, we are also shown a city landscape, namely cars that are moving around the dancer. Then, when one person is doing parkour, there is a part where the mural that was previously shown is shown again and the focus is returned to the mural. The mural is shown as a voice representing the people living in that place. With humor and tenderness, this mural represents the spatial justice that exists in their living space.