Apa dan Bagaimana ke Depannya.
Bincang Kurator: Kurator, Sinema dan Publik
Kurator Filem masih menjadi kata-kata yang asing di telinga bagi sebagian publik filem di Indonesia. Apa itu dan bagaimana seorang Kurator Filem berperan dalam dunia filem, inilah yang menjadi topik bahasan menarik dalam acara Diskusi Publik Bincang Kurator: Kurator, Sinema and Publik di Auditorium Institut Kesenian Jakarta, 24 Agustus 2015, salah satu program utama di ARKIPEL Grand Illusion – 3rd Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival. Diskusi yang menghadirkan beberapa kurator, seperti May Adadol Ingawanij dari Bangkok Experimental Film Festival Thailand, Merv Espina dan Shireen Seno dari Filipina, serta Jonathan Manullang dari Indonesia ini, dimoderatori oleh Manshur Zikri, anggota Forum Lenteng yang juga kurator di ARKIPEL.
Jonathan Manullang, dalam presentasi pembukanya, langsung menyebut saat ini kebanyakan orang masih menyebut kurator filem itu dengan istilah ‘programmer’. Menurutnya, seorang kurator filem adalah orang yang yang memproduksi wacana pembacaan terbaru seputar kegelisahan kolektif dalam konteks politik, sosial maupun budaya. “Bagi saya, kuratorial menjadi salah satu wadah untuk menjawab rasa penasaran dan kegelisahan kita,” ungkap Jonathan yang pada Festival kali ini juga mengkuratori program, bertajuk Kreativitas Bercerita Mengenai Represi Hak Asasi (atau Human Rights Reression, Retold Through Creativity) untuk tiga filem, yaitu Kameng Gampong Nyang Keunong Geulawa (Aryo Danusiri, 1999), Trip to the Wound (Edwin, 1998) dan Tragedi Kali Abang (Arifin, 2015).
Sementara itu, May Adadol Ingawanij menyebutkan strategi yang harus dimiliki oleh seorang kurator filem agar bisa diterima publik, antara lain adalah hystoricgraphical, punya pengetahun sejarah filem yang cukup memadai. May Adadol juga menekankan bahwa aksi-aksi kurasi, atau aksi-aksi kuratorial, sesungguhnya adalah sebuah aktivitas belajar (an activity of learning): bagaimana sebuah fenomena, khususnya dalam konteks wacana filem dan seni, dilihat dan dipahami secara visioner untuk diketengahkan sebagai suatu refleksi progresif mengenai capaian-capaian tertentu dalam lingkup perfileman.
Salah satu peryataan menarik dikemukakan oleh hal Adrian Jonathan yang hadir sebagai tamu pada diskusi itu. Ia menyatakan, bahwa publik kita belum merdeka dalam selera. “Program penayangan filem alternatif kayak gini kurang dilirik publik, jadi penonton ARKIPEL, tuh termasuk langka, karena penonton filem kita masih ‘bioskop minded’. Intinya, adalah kita ini (festival film alternatif—red) masih di level survivor,” ujar pria yang aktif sebagai kritikus di Cinema Poetica tersebut. Menurutnya, keadaan bioskop yang semakin mapan, membuat pemutaran filem alternatif seperti hidup segan mati pun tak mau. Tentang ide mengenai konsep ‘kuratorial’ itu sendiri, ia pun menambahkan bahwa selain memilih, seorang kurator juga perlu kesadaran untuk pilihan dan untuk kemerdekaan selera.
Namun, pernyataan tersebut coba ditanggapi oleh May Adadol, bahwa aksi kurasi dan kuratorial—yang dengan demikian menegaskan signifikansi dari seorang kurator—sesungguhnya ialah menyebarluaskan aksi edukasi terkait tontonan. Dengan kata lain, tugas seorang kurator filemlah untuk menuntun publik kita memahami lebih jauh apa itu sinema beserta segala hal yang melingkunginya, termasuk salah satunya untuk menarik atensi publik untuk melirik bahasa dan estetika yang berbeda.
Bahasan pun semakin menarik ketika Manshur Zikri, si moderator, melontarkan pertanyaan tentang ‘masa depan’ kuratorial, atau lebih tepatnya, ‘apa-apa saja tantangan yang dihadapi seorang kurator ke depannya’. Merv Espina yang aktif di Green Papaya Art Project berpendapat, bahwa ‘masa depan kurator’ dan ‘aksi-aksi kuratorial’ itu bergantung pada kurator itu sendiri, yang harus lebih jeli dalam memilih dan menyiapkan filem yang dikuratorinya. Sementara May Adadol, menyebutkan bahwa ada dua hal yang bisa menjadi landasan seorang kurator kedepannya, yaitu bagaimana kita peduli terhadap orang lain dan peduli terhadap planet ini. Bahwa sesungguhnya, menurut May, kurator dan aksi-aksi kuratorial, atau aksi-aksi mengkurasi, adalah sebuah aksi untuk bertahan dan berjuang. Itulah letak progresivitas dari kurator.
Diakhir diskusi, Manshur Zikri pun membuat sebuah kesimpulan, dengan mengutip pernyataan Merv yang sempat ia dengar sehari sebelumnya, bahwa prinsip dasar dari aksi kurasi adalah peduli, untuk merawat dan menyelamatkan segala materi-materi yang kita punya sekarang dan di masa lalu, untuk berspekulasi mengenai masa depan.
–
Film curator is still a foreign word in the ear for some portion of film public in Indonesia. What is it and how the role of curator in the world of film, became an interesting topic in Public Discussion Curator’s Talk: Curator, Cinema and Public at Auditorium Jakarta Art Institute, 24 August 2015, one of the top programs in ARKIPEL Grand Illusion – 3rd Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival. Discussion presented some curators, such as May Adadol Ingawanij of Bangkok Experimental Film Festival Thailand, Merv Espina and Shireen Seno from Philippines, as well as Jonathan Manullang from Indonesia, moderated by Mansur Zikri, Forum Lenteng member who is also a curator at ARKIPEL.
Jonathan Manullang, in his opening presentation, immediately mentioned that today most people still called the curator of the film by the term ‘programmer’. According to him, a film curator is the person who produces the latest readings discourse surrounding the collective anxiety in the context of political, social or cultural. “For me, curatorial become one of the spaces to answer our curiosity and concern,” said Jonathan, who at this festival also curated a program, entitled Human Rights Repression, Retold Through Creativity for three films, namely Kameng Gampong Nyang Keunong Geulawa (Aryo Danusiri, 1999), Trip to the Wound (Edwin, 1998) and the Tragedy of Kali Abang (Arifin, 2015).
Meanwhile, May Adadol Ingawanij mentioned the strategy that must be owned by a film curator to be acceptable to the public, among others, is hystoricgraphical, had a sufficient knowledge of film history. May Adadol also stressed that the curating actions or curatorial actions, is actually an activity of learning: how a phenomenon, especially in the context of the discourse of film and art, seen and understood visionary to be presented as a progressive reflection regarding specific achievements within the scope of cinema.
One interesting statement came from Adrian Jonathan, who was there as a guest at the discussion. He stated that we are not independent in terms of favor. “Alternative film programs like this are less looked by the public, so ARKIPEL audience, is kind of rare, because our film audience are still ‘mainstream-minded’. So basically, we (the alternative film festival-ed) are still at the level of survivors,” said the man who is an active film critic at Cinema Poetica. According to him, the state of mainstream movie theatre is getting more established; making alternatives screenings like at the edge of cliff. About the idea of ’curatorial’ concept itself, he added that in addition to selecting, a curator also needs to be aware for the choice and the independence of favor.
However, the statement tried to be responded by May Adadol, that curating and curatorial actions-which thus confirmed the significance of a curator-is actually to disseminate educational action related to the spectacle. In other words, it is the job of a film curator to guide us to understand more about what is cinema along with everything that surrounds, one of them is to draw public attention to glance at different language and aesthetic.
The discussion was more interesting when Manshur Zikri, the moderator, asking questions about the ‘future’ of curatorial, or more of, ‘what are the challenges that a curator will face in the future’. Merv Espina who’s active in the Green Papaya Art Project argued, that ‘the future of the curators’ and ‘acts of curatorial’ depend on the curator itself, which should be more careful in choosing and preparing the film ones curated. While May Adadol mentioning that there are two things that can be the foundation of a curator in the future, that is how we care for others and care for the planet. That in fact, according to May, curator and curatorial actions, or curating actions, is an action to survive and fight. That is where the progression of the curator placed.
At the end of the discussion, Manshur Zikri also make a conclusion, quoting Merv that had he heard the day before, that the basic principle of curating action curation is to be concern, to treat and save all the materials that we have now and in the past, to speculate about future.