Forum Festival Panel 5: Multisensori Lebih Dari Pilihan Artistik
Pada Jumat (23/8), Forum Festival panel 5 yang merupakan salah satu rangkaian acara dari ARKIPEL Garden of Earthly Delights – 11th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival digelar sekaligus menjadi panel penutup Forum Festival. Panel terakhir bertajuk “Estetika Multisensori” dengan menghadirkan tiga pembicara: Afrizal Malna, penyair dan aktivis Indonesia; Suk-Jun Kim, seniman bunyi dan profesor di Universitas Aberdeen; dan Veronika Kusumaryati, antropolog dan pembuat filem. Panel ini dimoderatori oleh Helmi Yusron yang merupakan bagian dari Sigisora, inisiatif seni yang membingkai persoalan bunyi dalam kehidupan urban.
Panel kelima ini mempertanyakan bagaimana peran manusia sebagai makhluk inderawi di tengah arus modernisme yang didominasi oleh visual dan seberapa jauh eksplorasi estetika multisensori yang tidak hanya mengedepankan visual tetapi juga indera lainnya. Setelah sekian lama dibuai oleh pengetahuan yang didominasi oleh aspek visual, ketumpulan akan alat inderawi yang lain tentu menjadi tak terelakkan karena sering kali tidak dipertimbangkan. Ketiga pembicara dalam panel ini menawarkan cara untuk mengalami sesuatu dengan tidak hanya bertumpu pada visual, tetapi juga mempertimbangkan dan melibatkan aspek inderawi yang lain sebagai pengetahuan yang berasal dari tubuh.
Afrizal Malna mengemukakan bagaimana ketika bahasa mengenal aksara, maka bahasa menjadi linier dan kehilangan keserentakannya yang mengakibatkan kerja sensori berhenti. Akibatnya kini kita cenderung mempertanyakan pengalaman kita kepada mesin pencari alih-alih mempercayai pengalaman sensori kita sendiri. Sementara tradisi bahasa lisan mampu merefleksikan aspek artistik bahasa dengan potensi bunyi yang dikandung oleh bahasa. Keserentakan terjadi dalam budaya lisan dengan menghadirkan tubuh, pesan, dan persepsi bunyi dimana penuturnya juga mendapatkan identitas dari cara mereka berbicara. Budaya lisan yang mengedepankan pendengaran ini tentunya tidak dapat tergantikan dengan tulisan yang menggunakan penglihatan.
Melanjutkan apa yang dikemukakan oleh Afrizal Malna, Suk-Jun Kim berargumen tentang apa yang ia sebut sebagai pure listener dan bagaimana pengalaman mendengarkan sebagai pendengar yang murni berbeda dengan mendengar sebagai pencipta, sebagai seorang komposer yang memiliki peran dalam masyarakat dan institusi. Pendengar yang meresapi segala yang terjadi di sekitarnya akan menghasilkan sebuah pengetahuan yang sifatnya abstrak dan melebihi sifat-sifat yang visual. Cara mendengar sebagai pure listener telah dipraktikkan oleh kelompok-kelompok yang liyan, yang mendengar bukan sebagai kegiatan yang semata bersifat estetik tetapi juga sebagai cara mentransfer pengetahuan.
Lebih lanjut Veronika menawarkan antitesis tradisi antropologi yang bertumpu pada visual dalam karya filem yang dibuatnya dengan Ernst Karel, Expedition Content (2020), dengan mengutamakan media bunyi. Eksperimentasi filemnya mencoba berbagai medium dan peranti untuk menghadirkan pengalaman multisensori. Veronika dengan sadar mempertimbangkan medium dan peranti untuk filemnya demi kemungkinan-kemungkinan pengalaman tubuh manusia yang multisensori. Tubuh yang memiliki pengetahuan dan sistem kognisi sendiri yang tidak melekat dengan rasionalitas Barat didahulukan untuk menerima data-data sensori.
Diskusi tentang multisensori di panel ini mengingatkan saya kepada dua kawan perantauan dari Minangkabau yang bernama Tuba dan Riyan. Keduanya tumbuh lebih dekat dengan budaya lisan daripada tulisan. Cara mereka bertutur selalu menarik dan lepas, pengalaman bercerita dan mendengarkan mereka berdua tidak akan sama ketika dituliskan dan dibaca. Apa yang Tuba dan Riyan lakukan sangat menunjukkan posisi mereka, meski tidak serta merta berupaya untuk melawan dominasi visual seperti eksperimentasi Veronika dalam filemnya, tetapi pikir saya yang mereka lakukan lebih puitis daripada politis. Merekalah yang hadir penuh dalam apa yang Afrizal Malna sebut dengan “keserentakan” dan tetap mengandalkan kerja sensori mereka saat bertukar pengetahuan.
Forum Festival Panel 5: Multisensory More Than an Artistic Choice
On Friday (23/8), Forum Festival panel 5, which is one of the events from ARKIPEL Garden of Earthly Delights – 11th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival, was held and became the closing panel of Forum Festival. The last panel theme is “Multisensory Aesthetics,” with three speakers: Afrizal Malna, Indonesian poet and activist; Suk-Jun Kim, sound artist and professor at the University of Aberdeen; and Veronika Kusumaryati, anthropologist and filmmaker. Helmi Yusron – who moderated this panel – is a member of Sigisora, an art initiative that frames the issue of sound in urban life.
This fifth panel questioned the role of humans as sensory beings amid modernism dominated by visuals and how far the exploration of multisensory aesthetics not only prioritizes visuals but also other senses. After being lulled by knowledge dominated by visual aspects for so long, other senses’ dullness is inevitable because they are often not considered. The three speakers in this panel offer a way to experience something by not only relying on visuals but also considering and involving other sensory aspects as knowledge that comes from the body.
Afrizal Malna explained how when language recognizes letters, it becomes linear and loses its simultaneity, which causes sensory work to stop. As a result, we now tend to question our experiences with search engines instead of trusting our own sensory experiences. Meanwhile, the oral language tradition can reflect the artistic aspects of language with the potential of sound contained in language. Simultaneity occurs in oral culture by presenting the body, messages, and perception of sound, where the speakers also get their identity from how they speak. This oral culture that prioritizes hearing cannot be replaced by writing that uses sight.
Continuing what Afrizal Malna put forward, Suk-Jun Kim argues about what he calls a pure listener and how the experience of listening as a pure listener is different from listening as a creator, as a composer who has a role in society and institutions. Listeners who absorb everything that happens around them will produce knowledge that is abstract and exceeds visual properties. The way of listening as a pure listener has been practiced by other groups, who listen not as an activity that is merely aesthetic but also as a way of transferring knowledge.
Furthermore, Veronika offers an antithesis to the anthropological tradition that relies on the visual in the film work she made with Ernst Karel, Expedition Content (2020), by prioritizing sound media. Her film experiments try various mediums and devices to present a multisensory experience. She consciously considers the medium and devices for her films for the possibilities of a multisensory human body experience. With its own knowledge and cognitive system not attached to Western rationality, the body is prioritized to receive sensory data.
The discussion about multisensory in this panel reminded me of two Minangkabau friends of mine, Tuba and Riyan. Both grew closer to an oral culture than to a written one. The way they speak is always exciting and loose. The experience of their story-telling and listening to both of them will not be the same when written and read. What Tuba and Riyan do shows their position, even though they don’t necessarily try to defy visual domination like Veronika’s experimentation in her film. However, I think what they do is more poetic than political. They are the ones who are fully present in what Afrizal Malna calls “simultaneity” and still rely on their sensory work when exchanging knowledge.