Presentasi Spesial 01: Menonton di Dalam Gua
Bagaimana jika pengalaman menonton filem hanya berupa melihat layar hitam, beberapa teks, dan suara di dalam ruang gelap selama 70 menit? Bukankah sama dengan mendengar percakapan-percakapan di radio? Apakah menonton filem seperti itu masih disebut “menonton” filem?
Pertanyaan itu muncul ketika menonton Expedition Content (2020) garapan Ernst Karel dan Veronika Kusumaryati pada 2 Desember, di bioskopforlen. Filem ini ditayangkan dalam program kuratorial Manshur Zikri, Rethinking the Risk of Imperial Archive, yang menyoal hubungan suatu filem yang merespons filem yang ada sebelumnya dalam konteks kolonial. Salah satu hal yang dirisaukan Zikri dalam kuratorial ini adalah, filem Expedition Content yang hadir merespons pandangan orientalis filem Dead Birds (1964) dengan menggunakan arsip-arsip dari filem Dead Birds sendiri. Posisi arsip dalam kuratorial ini memperlihatkan paradoksnya, sebagai pembawa wacana kolonial dan orientalis sekaligus sebagai wahana mengkritisi kolonialisme dan orientalisme.
Expedition Content “mengkritisi” Dead Birds bukan dengan bagaimana Dead Birds hadir dengan visual masyarakat Papua yang mereka rekam, yang sangat kuat pandangan orientalisnya tampak. Tetapi dengan memeriksa rekaman-rekaman audio selama produksi filem Dead Birds dan menghadirkannya dalam layar yang hanya berisi kegelapan. Suara lah yang sedang dipersoalkan. Suara percakapan para kru filem, beberapa kali terdengar percakapan anak kecil dengan bahasa lokal Papua, soundscape ketika perang dan berduka.
Apabila dalam Dead Birds visual lah yang mengisyaratkan pandangan orientalis, Expedition Content mengurai suara-suara yang memuat pandangan orientalis tersebut dengan menghadirkan percakapan kru tentang warga lokal Papua, tentang alam, dan apa yang sedang mereka hadapi di lokasi tersebut. Suatu tawaran untuk membongkar hubungan filem dan subjek yang direkamnya. Oleh karena itu pula, Expedition Content hanya menampilkan layar gelap, untuk memicu penonton lebih fokus pada suara dan persoalan yang termuat dalam suara-suara tersebut.
Tidak selama tujuh puluh menit penuh layar tampil gelap, ada satu gambar yang ditampilkan Expedition Content. Rekaman ritual warga lokal di dalam gua kelelawar. Kamera menyorot dari dalam gua, tampak sedikit cahaya di luar dan siluet orang-orang. Hanya satu gambar itu. Seolah mengisyaratkan posisi penonton. Penonton yang menonton sesuatu dari dalam gua kelelawar. Mendengar bunyi kelelawar, tetapi tidak bisa melihat kelelawar tersebut. Mendengar sebuah percakapan, tetapi tidak bisa melihat orang bercakap tersebut.
Usai filem diputar, Zikri meminta para penonton memberikan impresi mereka mengalami filem ini. Hampir semua yang bicara mengungkapkan hal yang sama, sebuah pengalaman menonton yang lain dari biasa, penonton diberi kesempatan untuk mengimajinasikan visual secara mandiri, imajinasi tidak dibabat sebagaimana umumnya filem. Di imajinasi masing-masing penonton lah filem ini bekerja.
Special Presentation 01: Watching Inside the Cave
What if an experience of watching a film only consists of a black screen, some text, and sound in a dark room for 70 minutes? Isn’t that similar to listening to conversations on the radio? Is watching a film like that still called “watching” a film?
This question arose when watching Expedition Content (2020), directed by Ernst Karel and Veronika Kusumaryati, on December 2 at the bioskopforlen. This film was screened in Manshur Zikri‘s curatorial program, Rethinking the Risk of Imperial Archive, which examines the relationship between a film responding to another film that had existed before, in a colonial context. One of the things that concerned him in this curatorial is that Expedition Content exists and responds to the orientalist view of the film Dead Birds (1964) by using archives from the Dead Birds film itself. The position of the archive in this curatorial shows its paradox, as a carrier of colonial and orientalist discourses as well as a vehicle for criticizing colonialism and orientalism.
Expedition Content “criticizes” Dead Birds not by how Dead Birds comes with the visuals of the Papuan people that they record, whose orientalist views are very obvious. But by examining the audio recordings during the production of Dead Birds and presenting them on a black screen. Sound is the problem. The voices of the film crew’s conversations, several times the conversations of young children in the local Papuan language, the soundscape of war and mourning.
If Dead Birds’ visuals imply an orientalist perspective, Expedition Content decomposes the sounds that contain this perspective by presenting the crew’s conversations about local Papuans, about nature, and what they are facing at that location. It is an offer to unravel the relationship between film and the subject it records. For this reason, Expedition Content only displays a dark screen, to trigger the audience to focus more on the voices and the issues contained in these sounds.
The screen did not stay dark for the whole 70 minutes, but Expedition Content displayed exactly one image. It was a record of the local residents’ rituals in the bat cave. The camera shoots from inside the cave, showing a bit of light outside and silhouettes of people. It was the only image. As if hinting at the position of the audience. Those who are watching something from inside the bat cave. They hear the sound of bats, but could not see the bats. They hear a conversation, but can’t see the person speaking.
After the film was screened, Zikri asked the audience to share their impressions of experiencing this film. Almost everyone who spoke said the same thing: that they received a different watching experience than usual; they were given the opportunity to imagine visuals independently; and their imagination is not as limited as in most films. The film works within the imaginations of each audience.
