Penayangan Spesial: Teratai, Perayaan Militan
Pada suatu sore yang berangin di ARKIPEL Garden of Earthly Delights – 11th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival, Ananta Wijayarana, seorang anggota yang baru saja mendapatkan sertifikatnya di Milisifilem Collective, berdiri dengan bangga di hadapan seluruh peserta. Sertifikat ini bukanlah sekadar selembar kertas bagi Ananta, melainkan hasil dari dedikasi, komitmen, dan ketekunan yang selama ini ia tanamkan dalam setiap karyanya. Ketika Ananta mempresentasikan karyanya di hadapan para pengunjung, tampak jelas bagaimana ia telah mencurahkan seluruh jiwa dan raganya dalam pencapaian tersebut. Momen ini menjadi puncak dari perjalanan panjang Ananta di Milisifilem Collective, sebuah kolektif yang sejak 2017 telah menjadi wadah bagi para penggiat seni untuk mengembangkan bakat dan pemikiran kritis mereka dalam eksperimentasi artistik.
Hari itu, ARKIPEL bukan sekadar ajang untuk memperlihatkan karya-karya filem, melainkan juga menjadi arena perayaan bagi seluruh anggota Milisifilem, termasuk para anggota Teratai, angkatan ke-7 Milisifilem Collective. Tahun ini, angkatan Teratai dari Milisifilem baru saja merilis sebuah buku esai dan pembahasan filem yang komprehensif, yang menjadi kebanggaan besar bagi seluruh skena perfileman Indonesia. Buku ini bukanlah sekadar kumpulan tulisan, melainkan hasil dari proses pemikiran mendalam, analisis kritis, dan kecintaan yang besar terhadap dunia sinema. Setiap halaman dari buku tersebut menggambarkan dedikasi yang luar biasa dari para anggotanya, menjadikannya sebuah mahakarya yang layak untuk dihormati dan diapresiasi.
Dalam momen ini, Otty Widasari, kurator untuk penayangan khusus filem-filem Milisifilem Collective terbaru dengan tajuk program Estetika Etik menjelaskan, konsep kuratorial yang mendasari karya-karya yang akan diputar. Ia menggambarkan bagaimana Milisifilem Collective didirikan dengan tujuan yang sangat spesifik—mengisi ruang kosong antara perkembangan teknologi dan kemampuan alami manusia. Melalui Milisifilem, para peserta diajak untuk kembali ke pemahaman dasar tentang seni dan sinema, sambil tetap relevan dengan materi-materi kontemporer. Dalam penjelasannya, Otty menekankan bahwa Milisifilem tidak semata-mata terinspirasi oleh Taman Siswa yang hadir di tengah penindasan kolonialisme. Sebaliknya, kolektif ini mengajak para anggotanya untuk bermain di antara perayaan globalisasi teknologi dan penggalian radikal terhadap apa yang sebenarnya telah dimiliki oleh para partisipan sebagai warga dunia. Ini adalah perjalanan spiritual dan intelektual yang menantang para peserta untuk melihat ke dalam diri mereka sendiri, menggali lebih dalam apa yang mereka miliki, dan kemudian mengembangkan potensi tersebut dalam konteks dunia yang terus berubah.
Angkatan Teratai, yang menjadi sorotan utama pada hari itu, mempersembahkan karya-karya mereka berupa empat filem dan sebuah buku dengan penuh kebanggaan. Karya-karya ini terlahir dari proses pemikiran kritis, kolaborasi kreatif, dan kecintaan yang mendalam pada sinema. Dalam ruang yang mempersilahkan siapapun untuk menelisik kembali hakikat manusia merdeka, para anggota Teratai berhasil menciptakan karya yang tidak hanya menghibur tetapi juga memprovokasi pemikiran. Dalam presentasi karya-karya mereka, terlihat bagaimana masing-masing anggota telah membawa perspektif unik mereka sendiri, menciptakan sebuah mozaik yang kaya akan interpretasi dan makna.
Salah satu momen yang paling menggugah adalah ketika Wildan Iltizam, seorang anggota Teratai, menjawab pertanyaan Pheobe Wong tentang filemnya yang menggunakan pendekatan visual hitam putih. Dalam penjelasannya, Wildan berbicara tentang bagaimana warna hitam putih dipilih untuk menggambarkan pergerakan yang berbeda dalam filmnya. Ia menjelaskan bahwa setiap karakter dalam film tersebut memiliki jalur yang berbeda, dan dengan menggunakan hitam putih, ia mampu mengekspresikan nuansa dari setiap perjalanan itu dengan cara yang paling efektif. Dalam filem ini, warna menjadi bahasa tersendiri, yang berbicara tentang kontradiksi, tantangan, dan perjalanan spiritual yang dilalui oleh karakter-karakternya.
Sementara itu, Dahlan Khatami, anggota lainnya, membawa para penonton ke dalam dunia visual yang penuh dengan permainan antara gelap dan terang. Filmnya, yang terinspirasi dari pengalaman temannya yang memiliki kesulitan dalam melihat dengan jelas, menggambarkan bagaimana ruang gelap dan terang dapat menjadi metafora bagi ketidakpastian, fokus, dan konsentrasi dalam kehidupan. Dalam ruang-ruang ini, Dahlan mengajak para penonton untuk merenungkan bagaimana kita sebagai manusia seringkali terjebak dalam ketidakpastian, mencari arah di tengah-tengah kegelapan, namun pada akhirnya menemukan cahaya sebagai petunjuk jalan.
Ananta sendiri, dalam penjelasan tentang filemnya, berbicara tentang bagaimana tubuh urban memiliki sistem yang sangat mirip dengan aliran air. Ia menggambarkan bagaimana orang-orang di kota besar bergerak seperti air yang mengalir, mengikuti rute yang telah ditentukan, tetapi juga memiliki potensi untuk menjadi kacau jika tidak diarahkan dengan benar. Dalam filmnya, Ananta mencoba untuk menelusuri dinamika ini, menggambarkan bagaimana kehidupan urban dapat menjadi sebuah sistem yang kompleks, tetapi juga penuh dengan kemungkinan bagi mereka yang berani menantang arus.
Rahmania Nerva, yang juga anggota Teratai, berbicara tentang hubungannya dengan kereta sebagai simbol dari perjalanan hidupnya. Setiap kali ia naik kereta, Rara merasakan bagaimana perjalanan ini mencerminkan dinamika kehidupan—teratur, penuh rute, namun juga tak terduga. Ia terinspirasi oleh trilogi Kalkuta, yang menjadi bahan studinya dalam membongkar dan memahami lebih dalam tentang makna di balik perjalanan ini.
Di akhir acara, suasana penuh dengan rasa hormat dan kekaguman. Para pengunjung yang hadir di ARKIPEL tidak hanya disuguhi karya-karya sinema yang luar biasa, tetapi juga diajak untuk merenungkan kembali makna dari setiap perjalanan hidup. Seluruh anggota Teratai telah berhasil menunjukkan bahwa sinema bukanlah sekadar medium untuk hiburan, tetapi juga alat yang kuat untuk eksplorasi diri, kritik sosial, dan perayaan kemanusiaan. Hari itu, Milisifilem Collective merayakan kemenangan besar mereka, sebuah kemenangan yang diraih dengan kerja keras, dedikasi, dan komitmen yang tak tergoyahkan.
Special Presentation: Teratai, Militant Celebration
On a breezy afternoon at the ARKIPEL Garden of Earthly Delights – 11th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival, Ananta Wijayarana, a member who had just received his certification, stood proudly before all the attendees. This certificate was not merely a piece of paper for him; it was the culmination of dedication, commitment, and the relentless effort he had invested in each of his works. As Ananta presented his certificate to the audiences, it was evident how much heart and soul had gone into this achievement. This moment marked the pinnacle of Ananta’s long journey within Milisifilem Collective, a collective that, since 2017, has served as a platform for artists to cultivate their talents and critical thinking in the realm of artistic experimentation.
That day, ARKIPEL was not merely a venue for showcasing films; it was a stage for celebrating the entire Milisifilem Collective, expecially for the Teratai members, the seventh generation of Milisifilem Collective. This year, Teratai had just released a comprehensive book of film essays and discussions, which became a great source of pride for the entire Indonesian film scene. This book is not just a collection of writings but the result of deep thought processes, critical analysis, and a profound love for the world of cinema. Each page of the book reflects the extraordinary dedication of its members, making it a masterpiece worthy of respect and appreciation.
During this moment, Otty Widasari, the curator for the special screening of Milisifilem Collective’s latest films under the program title Aesthetics of Ethics explained the curatorial concept behind the works that were about to be screened. She described how the Milisifilem Collective was founded with a specific purpose—to fill the void between technological advancement and human natural abilities. Through Milisifilem, participants are invited to return to the fundamental understanding of art and cinema while staying relevant to contemporary material. In her explanation, Otty emphasized that Milisifilem is not merely inspired by Taman Siswa, which emerged amid colonial oppression. Instead, this collective invites its members to explore the space between the celebration of technological globalization and the radical exploration of what participants already possess as global citizens. This is a spiritual and intellectual journey that challenges participants to look inward, dig deeper into what they have, and then develop that potential in a constantly changing world.
Teratai as the main highlight of the day, proudly presented their works. They were born out of critical thinking, creative collaboration, and a deep passion for cinema. In a space that allows anyone to revisit the essence of human freedom, the members of Teratai succeed in creating works that not only entertain but also provoke thought. In presenting their works, it is clear how each member brought their own unique perspective, creating a rich mosaic of interpretation and meaning.
One of the most moving moments was when Wildan Iltizam, a member of Teratai, responded to Phoebe Wong‘s question about his film, which utilizes a black-and-white visual approach. In his explanation, Wildan spoke about how black and white were chosen to depict different movements within his film. He explained that each character in the film had a different path, and by using black and white, he was able to express the nuances of each journey in the most effective way. In this film, color becomes its own language, speaking about contradictions, challenges, and the spiritual journeys undertaken by its characters.
Meanwhile, Dahlan Khatami, another member, took the audience into a visual world full of interplay between light and dark. His film, inspired by the experience of a friend who struggled with clear vision, illustrates how the spaces of light and dark become metaphors for uncertainty, focus, and concentration in life. In these spaces, he invite the audiences to reflect on how we, as humans, are often trapped in uncertainty, searching for direction in the midst of darkness, but ultimately finding light as a guide.
Ananta, in explaining his film with his friend, spoke about how the urban body operates like a water system. He described how people in big cities move like flowing water, following predetermined routes but also having the potential to become chaotic if not properly directed. In their film, they attempted to explore this dynamic, illustrating how urban life has become a complex system, yet one full of possibilities for those who dare to challenge the current.
Rahmania Nerva, another member of Teratai, spoke about her connection with the train as a symbol of her life journey. Every time she takes a train, she feels how this journey mirrors the dynamics of life—orderly, full of routes, yet also unpredictable. She was inspired by the Calcutta trilogy, which became the subject of her studies in deconstructing and understanding the deeper meaning behind this journey.
At the end of the event, the atmosphere was filled with respect and admiration. The visitors who attended ARKIPEL were not only treated to extraordinary cinematic works but were also invited to reflect on the meaning of every life journey. Teratai successfully demonstrated that cinema is not merely a medium for entertainment but also a powerful tool for self-exploration, social critique, and the celebration of humanity. That day, Milisifilem Collective and all its members celebrated their grand victory, a triumph achieved through hard work, dedication, and unwavering commitment.