Kebertahanan Ekosistem Seni dan Imajinasi Estetika Mendatang
Forum Festival melanjutkan simposium di Sabtu (7/11) sore yang dingin. Moderator kali ini ialah Dhuha Ramadhani dengan digelar pada ruang Zoom Webinar sembari disiarkan secara langsung di YouTube. Tercatat sekitar 200 peserta yang telah melakukan registrasi yang menghadiri acara ini dengan pengunjung pada YouTube sekitar 216 orang (tercatat terakhir pada 8 November 2020). Dhuha memulai panel kedua dengan memperkenalkan para pembicara yang hadir: Alia Swastika, Cecil Mariani, Tonny Trimarsanto. Ia lanjut menjelaskan panel kedua “Kebertahanan Ekosistem Seni dan Imajinasi Estetika Mendatang” yang akan membahas estetika dunia yang tengah menghadapi pandemi dan infrastruktur seperti apa yang akan bertahan atau lahir ke depannya.
Alia Swastika menjadi yang panelis pertama yang memberikan presentasi. Sebagai Direktur di Yayasan Jogja Biennale, ia perlu menyambungkan konteks seni antara Indonesia dengan situasi di luar. Ia pun memaparkan gagasan Khatulistiwa yang telah beberapa waktu ini diangkat oleh Jogja Biennale. Gagasan tersebut merujuk pada kerja sama dengan negara-negara yang berada di garis khatulistiwa. Dengan begini, kita tidak lagi melihat Barat-Timur atau Selatan-Utara karena fokus pembahasannya adalah tentang wilayah-wilayah sekitar khatulistiwa. Upaya ini menghasilkan wacana seni yang mencoba menggarisbawahi praktik-praktik seni di pinggiran yang tidak lagi berpusat pada wacana seni Eropa maupun Amerika.
Pembahasan dilanjutkan oleh Cecil Mariani, seorang desainer grafis dan peneliti. Menurut Cecil, desain sendiri itu bersifat netral. Namun, ia akan selalu dibuat untuk kepentingan lain. Desain dalam pembahasan Cecil tidak hanya dimaksudkan pada desain grafis, tetapi desain yang merupakan rancangan sehari-hari, termasuk rancangan strategi. Cecil menjelaskan bahwa aspek penting dalam kebertahanan sebuah komunitas atau organisasi adalah kesadaran untuk menstrukturkan diri. Dengan struktur, gambaran aktivisme seni bisa lebih mudah diidentifikasikan. Ia pun memaparkan salah satu bentuk struktur yang mendesain model kerja dan kehidupan manusia ialah struktur berbasis kapital. Dengan meretas struktur ini, Cecil pun sempat mengupayakan model kolektif seni yang berbasis dana kolektif yang ia namai Arisan Upacita.
Pembicara terakhir, Tonny Trimarsanto, kemudian memberikan presentasinya. Tonny Trimarsanto adalah pendiri Rumah Dokumenter, sebuah komunitas yang berfokus pada edukasi dan produksi filem dokumenter. Tonny mendirikan Rumah Dokumenter di saat filem documenter masih belum cukup dikenal. Ia pun mulai memulai program yang berupaya mengomunikasikan pengertian dokumenter dan cara membuatnya. Bagi Tonny, hal terpenting dalam sebuah proses pembuatan filem dokumenter sejak proses riset hingga distribusi adalah membangun jaringan yang kuat. Ia menggarisbawahi modal utama berkarya dalam Rumah Dokumenter: edukasi, produksi, jaringan. Jaringan menjadi salah satu aspek penting karena ia dapat membuka akses terhadap lokasi atau sumber. Rumah Dokumenter sendiri merupakan komunitas yang bersifat mandiri dan tidak tergantung oleh organisasi yang lebih besar. Maka itu, Tonny mementingkan membangun dan menjaga jaringan untuk menjamin regenerasi ke depannya.
Setelah semua pembicara mendapatkan kesempatan untuk presentasi, moderator lalu memasuki sesi tanya jawab. Beberapa pertanyaan menanyakan klarifikasi kepada Cecil dengan apa yang ia maksud oleh “desain sehari-hari” dengan kebertahanan sebuah organisasi. Cecil menjelaskan bahwa menata kamar kos atau memilih kaos dan celana juga merupakan laku desain. Desain bisa ditemukan di mana saja dan, tanpa sadar, merupakan hal penting dalam kebertahanan hidup yang dimiliki semua orang.
Pertanyaan berikutnya berasal dari Hafiz Rancajale, pendiri Forum Lenteng. Pada dasarnya, Hafiz bertanya kepada seluruh panelis tentang pengertian mereka terhadap “seni pinggiran” yang dikatakan Alia Swastika sebelumnya. Menurut Tonny, seni itu terlepas dari konsep “pinggiran” karena akses dan pengetahuan bisa didapatkan dari mana saja dan yang terpenting adalah bisa saling belajar. Sedangkan dari pandangan Cecil, “seni pinggiran” yang cenderung organik tetap membutuhkan desain strategis supaya tetap bisa bertahan. Harus tetap ada sinergi antara yang organik dan struktur. Kemudian Alia memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai “seni pinggiran” yang ia sebutkan. Alia menjelaskan bahwa “seni pinggiran” tidak bisa hanya hiasan saja. Ia mengatakan pula tentang wacana seni yang cenderung sentral ke Barat atau perkotaan. Dalam situasi ini, maka wacana seni pinggiran harus menciptakan aliansi baru yang tidak perlu terus berpatok pada wacana pusat. Dalam hal ini, “khatulistiwa” menjadi salah satu strategi yang diangkat Jogja Biennale.
The Effort to Survive and Imagination of Future Aesthetic
Forum Festival continues its panel on a cold Saturday (7/11). The moderator in this panel is Dhuha Ramadhani, and like the day before, the discussion was held on Zoom Webinar room, broadcasted live on YouTube. Around 200 registered attendees participated in the panel. Meanwhile, on YouTube, we recorded that until 8 November 2020, there have been around 216 people who watched the broadcast. Dhuha started the forum by introducing the panellists: Alia Swastika, Cecil Mariani, and Tonny Trimarsanto. He continued by explaining the idea of this panel, “The Survival of the Art Ecosystem and Imagining the Aesthetics of Tomorrow” that will discuss the world aesthetic during this pandemic and the possible infrastructure that might survive or emerge in the future.
Alia Swastika became the first panellist who shared her presentation. As the Director of Jogja Biennale Foundation, she needs to connect the context of Indonesian art and global issues. She explained the idea of the Equator that has been raised by Jogja Biennale for some time. This notion refers to the collaborations of countries which are located around the equator line. Through this approach, we no longer perceive the West-East or South-North because the focus is about countries around the equator line. This attempt produced the art discourse that tries to highlight the art practices in the periphery that no longer centres around the European or American art discourse.
As a graphic designer and researcher, Cecil Mariani stated that design is neutral. However, it will always be used for other interests. What she meant here is not merely graphic design, but also the everyday life design, including the strategy design. Cecil explained that the critical aspect in the survivability of a community or organization includes the awareness of self-structurize. Through structure, activism in the art will be more identifiable. She elaborated that one of the forms of structure that design the model of work and human’s life is the capital-based structure. By hacking this structure, Cecil attempted to make an art collective based on the collective fund, called Arisan Upacita.
Meanwhile, Tonny Trimarsanto talked about his journey with Rumah Dokumenter, a community that focuses on education and production of documentary film. He founded Rumah Dokumenter at the time when documentary filmmaking was not well-known. He started the program by communicating what a documentary film is and how to make it. For Tonny, the essential thing in the documentary filmmaking process, from the research and distribution, is building a strong network. He underlined that the primary aspect for Rumah Dokumenter is education, production, and networking. Indeed, the network is an essential aspect because it can help to open access toward a location or resource. Rumah Dokumenter is an independent community, and it does not depend on any more prominent organization. Thus, Tonny prioritizes to build and maintain a good network for future regeneration. In this pandemic, Tonny found out that networking has been helping him to keep making artworks too.
After all panellists share their presentation, the moderator opened the QnA session. Some questions delivered to Cecil asked her to clarify the “everyday design” she mentioned previously and its connection to the survivability of an organization. She explained that arranging room and choosing the clothes to wear are also an act of designing. Design can be found anywhere and, unconsciously, it becomes essential in the survivability of life, and anyone inherently owns it.
The next question came from Hafiz Rancajale, founder of Forum Lenteng. Hafiz asked all the panellists about their understanding of the “peripheral art” that Alia Swastika said earlier. According to Tonny, art is not included in the concept of “periphery” because access and knowledge can be obtained from anywhere, and the most important thing is to learn from each other. Meanwhile, from Cecil’s perspective, “peripheral art” which tends to be organic still requires strategic design in order to survive. There must still be a synergy between the organic and the structure. Then Alia gave a further explanation of the “peripheral art” which she mentioned. Alia explained that “peripheral art” cannot be just a decoration. She also said about art discourse that tends to be central to the West or urban areas. In this situation, the discourse on peripheral arts must create new alliances that do not need to revolve around the central discourse. In this case, “the equator” is one of the strategies adopted by the Jogja Biennale.