The Performativity of Actorship within Spaces of Reality
Performativitas Keaktoran dalam Ruang-Ruang Realitas
Host: Anggraeni Widhiasih
Friday, August 23, 2019 | 19:30 | GoetheHaus
Di dua masyarakat yang berbeda, dua pemerintahan yang berbeda, dua negara yang berbeda, dua benua yang berbeda, ruang publik dipertanyakan dengan dua cara yang berbeda pula; yang satu sinematis, yang satu serba politik. Tetapi keduanya sama-sama menawarkan suatu polemik tentang siapa yang berandil membentuk realitas di ruang publik: apakah mereka yang hadir di depan kamera, di belakang kamera atau di hadapan layar?
Dalam situasi kontemporer, bangunan realitas terdiri dari kepingan informasi yang terserak di berbagai lini media massa. Para aktor hadir sebagai tokoh atau karakter yang mampu menghadirkan suatu daya tektonik yang membentuk lanskap realita di sebuah sistem, baik dengan memainkan peran maupun membentuk atau merusak suatu tatanan realitas. Keaktoran muncul sebagai sebuah konsep performatif yang bekerja di dalam bingkai sinema dan dalam kenyataan sehari-hari.
Mengambil perlintasan antara komunikasi massa yang politis dan yang sinematis, filem-filem dalam kompilasi ini memantik pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana keaktoran membentuk realitas di ruang publik, baik di dalam maupun di luar filem. Sinema, dalam hal ini, bisa memosisikan diri sebagai stimulan dan amunisi pikiran dengan berlaku menjadi informatif maupun kritis, seperti yang terjadi pada Tupinamba Lambido. Dalam filem tersebut, ruang publik dibentuk oleh kepentingan berbagai aktor yang memainkan perannya dalam proses demokrasi dan politik. Performativitas keaktoran hadir sebagai sebuah konsep ketimbang sebagai kehadiran yang konkret dalam filem. Baik secara ide maupun secara fisik, ruang publik menjadi wilayah pertarungan politik untuk menyampaikan suara-suara para aktor.
Tetapi di sisi lain, sinema pun mampu melontarkan sebuah dilema akan suatu kenyataan melalui kehadiran ambiguitas kenyataan filem dan kenyataan si tokoh dalam filem, seperti yang terjadi pada The Satan’s Horn. Di sana, ketokohan subjek filem hadir bersama dengan suaranya yang menjelma sebagai aparatus media massa yang berkelindan dengan suara-suara yang diproduksi oleh industri musik maupun iklan komersial. Keaktorannya dalam filem tiba-tiba bertemu dengan realitas keaktoran yang bukan filem dalam garis batas yang kabur. Alih-alih membentuk realitas ideal seperti yang kerap dilakukan moda komunikasi dalam industri, keaktoran dalam filem ini justru dijadikan sebagai pemantik untuk mempertanyakan kembali realitas yang telah dikonstruksinya. Performativitas keaktoran dan kehadiran moda komunikasi dalam narasi filem ini memantik imajinasi penonton hingga ke batas antara yang nyata dan yang rekaan.
In two different societies, two different governments, two different countries, two different continents, public spaces are questioned in two different ways; the first one politically, and the second one cinematically. But both of them offer a polemic about who contributes to shape reality in public spaces: are they present in front of the camera, behind the camera or in front of the screen?
In contemporary situations, the form of reality consists of pieces of information scattered on mass media. Actors have existed as figures or characters capable of presenting tectonic energy that shapes the reality landscape in a system, either by playing a role or shaping/ destroying an order of reality. Actorship appears as a performative concept that works within the perspective of cinema and in everyday reality.
Crossing the border between political and cinematic mass communication, the films in this compilation spark questions about how actorship forms reality in public spaces, both inside and outside the films. Cinema, in this case, can position itself as a stimulant and ammunition for the mind, for example by being informative and critical, as demonstrated by Tupinamba Lambido. In that film, the public space is shaped by the interests of various actors who play their roles in democratic and political processes. The performativity of actorship appears as a concept rather than a concrete form in the film. The public space, both in terms of ideas and physical presence, becomes a political battleground to communicate the voices of the actors.
But aside from that, cinema is also able to whip up a dilemma upon reality through the presence of ambiguity of the filmic reality and the reality of characters in a film, as demonstrated by The Satan’s Horn. The film features the figure of its subject through his voice, which is transformed as an apparatus of mass media and is intertwined with the voices produced by the music industry and commercial advertising. His actorship in the film is suddenly converged with the reality of non-film actorship into a blurred line. Instead of forming an ideal reality as often produced by communication modes from those industries, the actorship in that film is actually used as a trigger to question the reality that it has constructed. The performativity of actorship and the mode of communication in the narrative of the film ignite the audience’s imagination up to the limit between the real and the fiction.
Film List
Tupinambá Lambido
Filmmaker Lucas Parente (Brazil)
International Title Tupinambá Lambido
Country of Production Brazil
Language Portuguese
Subtitle English
10 min 49 sec, stereo, color, 2018
Situasi politik di sebuah negara dibuka dengan montase gambar ritual kanibalistik. Sementara itu, alat komunikasi massa – baik pada dinding maupun pada sinema – nampak hadir sebagai ruang pertarungan bagi para aktor dalam proses sosial-politik. Tupinambá Lambido adalah sebuah kelompok seniman poster wheatpaste yang memproduksi visual di dinding-dinding kota Rio de Janeiro dalam rangka advoksi demokrasi. Ia sekaligus adalah judul sebuah dokumenter yang bekerja dengan kerangka tujuan sejalan dengan aksinya di luar bingkai sinema. Ia menawarkan stimulan kritis tentang sebuah realitas politik, baik dengan menjadi tribut ataupun sebagai kumpulan ingatan tentang berbagai peristiwa politik yang menandai perubahan era di sebuah negara.
A montage of cannibalistic ritual’s image opens up a narrative about the political situation in a country. Meanwhile, a mass communication instrument – both on the wall and the cinema – appears as a battlefield for actors in the socio-political process. Tupinambá Lambido is a group of wheatpaste poster artists who produce visuals on the walls of Rio de Janeiro to advocate democracy. It is also a title for a documentary film that serves a similar purpose as its actions beyond the frame of cinema. It offers a critical stimulant about political reality, both by playing the role as a tribute or a set of memories about numerous political occurrence marking the turn of an era in a country.
Lucas Parente lulus dari jurusan Sejarah dari Fluminense Federal University. Ia juga menerima gelar master dalam jurusan filem dokumenter di Autonomous University of Barcelona dan dari jurusan filsafat di University of Paris 8 Vincennes-Saint-Denis. Dalam berbagai kesempatan, karya-karyanya telah dipresentasikan dan menerima penghargaan.
Lucas Parente graduated in history from the Fluminense Federal University, master in documentary film at the Autonomous University of Barcelona and philosophy at the University of Paris 8 Vincennes-Saint-Denis. His works have been awarded and exhibited in many occasions.
The Satan’s Horn
Filmmaker Mohammad Hadi Ghorbani (Iran)
International Title The Satan’s Horn
Country of Production Iran
Language Persians
Subtitle English
62 min, color, 2019
Imaji yang diperoleh Rasoul Soheylifard tentang keidealan duniawi-surgawi yang digaungkan lewat berbagai media massa – seperti melalui lagu-lagu cinta dan iklan di TV – terasa kontras dengan realitas yang dijalaninya sebagai pedagang barang-barang tersier. Sehari-hari, ia harus bernegosiasi dengan aparat ataupun warga lain, selagi menjadikan dirinya sebagai media untuk berkomunikasi dengan massa. Melalui corak sinema yang mempertanyakan filem melalui filem, sebuah realitas yang terkonstruksi oleh alat komunikasi massa hadir lewat kenyataan yang ambigu akan seorang tokoh dalam filem. Residu dari sistem negara, kapitalisme dan agama hadir melalui puisi-puisi Rasoul yang gagap asmara namun tetap jenaka dan optimis selagi membicarakan soal realitas dan bahkan sinema.
The imagery received by Rasoul Soheylifard regarding the worldly-heavenly idealistic life echoed by mass media – like through love songs and commercial advertisement in TV – felt contrasted to the reality he faces as tertiary goods seller. He must negotiate with the state apparatus and other people while utilizing himself as a media to communicate with the mass. Through the style that questions film through film, a reality constructed by mass media instrument appears as an ambiguous reality of the figure in the film. A residue from the state’s system, capitalism, and religious faith manifests as Rasoul’s poems that stutter in romance but remains humorous and optimistic as it talks about reality and, even, cinema.
Mohammad Hadi Ghorbani adalah sutradara dari Isfahan, Iran. Selain menyutradarai film, ia juga aktif bekerja sebagai penulis skenario.
Mohammad Hadi Ghorbani is a filmmaker from Isfahan, Iran. Aside from directing films, he has been actively working as a screenwriter too.
About the Host
Anggraeni Widhiasih (Sleman, 1993), meraih gelar S1 Hubungan Internasional di Universitas Paramadina pada 2016. Saat ini ia adalah anggota Forum Lenteng yang bertanggung jawab untuk Divisi Riset dan Pengembangan. Ia juga berpartisipasi dalam Program Diorama – AKUMASSA. Selain aktif menulis kritik tentang filem di Jurnal Footage, ia juga anggota peneliti di Koperasi Riset Purusha dan pegiat teater kafha di Universitas Paramadina.
Anggra adalah salah satu anggota tim selektor ARKIPEL bromocorah.
Anggraeni Widhiasih (Sleman, 1993), achieved her Bachelor Degree of International Relations study from Paramadina University in 2016. She is currently an active member of Research and Development program at Forum Lenteng and Diorama project by AKUMASSA, Forum Lenteng. Aside of actively writing film critic in Jurnal Footage, she is also a member of Koperasi Riset Purusha and kafha theatre in Paramadina University.
Anggra is one of the selector members at ARKIPEL bromocorah.