Program Kuratorial: (mungkin) sebuah tujuan
Pada acara ARKIPEL Garden of Earthly Delights – 11th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival, Phoebe Wong sebagai host mempersembahkan program dengan tajuk (mungkin) sebuah tujuan. Program ini mengajak para penonton untuk merenungkan transformasi dunia yang semakin diwarnai oleh urbanisasi dan teknologi. Di tengah realitas yang terus berubah ini, Phoebe mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendalam: Apakah mereka yang hidup di hutan beton masih bisa merasakan kesegaran memijak tanah basah? Bagaimana mereka berinteraksi dengan hewan di lingkungan yang makin artifisial? Dan bagaimana mereka menyikapi artifisialitas ini sebagai sesuatu yang normal, bahkan alami? Melalui karya-karya yang ditampilkan, para seniman dari Hong Kong, Cina, Taiwan dan Makau mengeksplorasi upaya mereka dalam merekonstruksi, menelaah, dan berinteraksi dengan dunia sekitar, mulai dari lanskap yang terasa asing, perubahan pola cuaca, hingga pergeseran geografi dan sejarah urban yang semakin kompleks.
Program ini bekerjasama dengan Videotage – Hong Kong dengan dukungan Hong Kong Arts Development Council. Videotage – yang didirikan pada tahun 1986 – adalah organisasi nirlaba yang berbasis di Hong Kong. Mereka bergerak dalam bidang promosi, presentasi, kreasi, dan pelestarian gambar bergerak dan seni media dalam berbagai bahasa, bentuk, dan rupa.
Acara dimulai dengan pemutaran film, yang kemudian disusul dengan sesi tanya jawab. Phoebe, yang turut berkontribusi dalam kurasi ini, mengungkapkan bahwa perannya hanyalah sebagai peneliti, bukan kurator pada keseharian. Ia lebih memilih diakui sebagai penulis, meskipun kontribusinya tentu sangat penting sebagai Kepala Riset Videotage. Dalam penjelasannya, Phoebe mengangkat konsep “Garden” dan “Nature” sebagai kata kunci. Ia menekankan spektrum yang luas dalam video art, dokumenter, dan karya eksperimental yang dipresentasikan—mengaburkan batas antara fiksi dan non-fiksi. Eksperimen dengan medium menjadi inti dari pendekatan kreatif ini, di mana fokusnya adalah pada bagaimana medium, digunakan untuk menggali lebih dalam pengalaman manusia dan lingkungannya.
Jess Lau, salah satu seniman yang hadir dan memutar dua karyanya, Sparkling Fountain (2021) dan The Fading Piece (2014), kemudian berbagi kisah tentang perjalanan pribadinya dalam dunia animasi. Dengan ketekunan dan semangat, ia mengerjakan animasi pertamanya setiap malam, mengatasi rasa malu dengan keberanian yang tumbuh dari setiap bingkai yang ia ciptakan. Dalam prosesnya, Jess hampir berubah menjadi mesin yang tidak kenal lelah, terus bergerak tanpa henti. Pengalaman ini juga membawanya ke kolaborasi dengan seniman lain, di mana ia bereksperimen dengan medium baru, termasuk penggunaan kamera untuk menangkap setiap detail penting dalam karyanya. Ia menekankan betapa setiap goresan pena dan setiap elemen visual memiliki makna mendalam dalam proses kreatifnya.
Jess juga menjelaskan bahwa bintang memiliki simbolisme penting dalam karyanya. Bintang-bintang ini melambangkan harapan, mimpi, dan keinginan yang tersembunyi di balik setiap karya. Warna-warna yang ia pilih menjadi jembatan antara visual dan narasi, menggambarkan perasaan yang lebih besar dari sekadar apa yang terlihat. Dalam proses pencarian suara yang tepat untuk mendampingi visualnya, ia memutuskan untuk menggunakan nada organik dari kotak musik buatan tangan, yang menambah lapisan keintiman pada karya tersebut.
Ketika sesi tanya jawab berlangsung, Ali Al Adawy menanyakan teknik stop motion yang digunakan Jess dalam salah satu karyanya yang menyusun sebuah kota dengan garis demi garis. Ia menjelaskan bahwa proses dokumentasi lukisan lanskap tersebut dilakukan secara real-time, menciptakan keindahan dan kedalaman dalam setiap gerakan bingkai demi bingkai.
Namun, di tengah penjelasannya, listrik padam. Suasana semakin dramatis ketika seluruh peserta menyalakan lampu ponsel mereka, menciptakan cahaya yang hangat dan sinematik. Jess, yang juga menampilkan karyanya di acara tersebut, melanjutkan penjelasannya tentang proses kreatif stop motion dengan ketenangan yang mendalam, seolah-olah semua yang hadir telah menjadi bagian dari sebuah adegan film yang hidup.
Momen tersebut tidak hanya memperdalam pemahaman tentang karya-karya yang ditampilkan, tetapi juga menciptakan pengalaman kolektif yang terus menyala. Di bawah sinar ponsel yang redup, para peserta menjadi satu dengan cerita yang mereka saksikan dan dengarkan, menjadikan acara ini lebih dari sekadar diskusi; itu adalah perjalanan emosional dan intelektual yang membekas dalam hati mereka.
Setelah sesi tanya jawab berakhir, suasana berubah menjadi lebih hangat dan santai. Beberapa peserta mulai menyiapkan makanan dan minuman, sementara yang lain berbagi cerita dengan penuh keakraban. Percakapan mengalir dengan alami—mereka berbicara tentang film-film yang menginspirasi, merencanakan berbagai tujuan untuk minggu ini di Indonesia, hingga berbagi pengetahuan tentang tumbuhan dan cara merawatnya. Diskusi berkembang menjadi obrolan yang lebih luas tentang kultur Indonesia dan Hong Kong, menemukan jembatan antara dua budaya yang tampaknya berbeda namun memiliki kesamaan yang mendalam.
Lalu lampu kembali menyala, menemani malam dengan hangatnya persahabatan yang organik, di mana diskusi tentang seni dan film perlahan mengalir ke dalam percakapan tentang kehidupan sehari-hari. Malam tersebut menjadi lebih dari sekadar pertemuan; itu adalah sebuah simfoni percakapan yang merajut kisah dan tujuan, membentuk momen yang indah dan tidak terlupakan bagi semua yang hadir.
Curatorial Program: (maybe) somewhere to go
At ARKIPEL Garden of Earthly Delights – 11th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival, Phoebe Wong as host presented a program entitled (maybe) somewhere to go. This program invited the audiences to reflect on the transformation of the world that is increasingly characterized by urbanization and technology. Amidst this ever-changing reality, Phoebe raised profound questions: Can people living in concrete jungles experience the freshness of wet soil? How do they interact with animals in an increasingly artificial environment? And how do they deal with this artificiality as something normal, even natural? Through the selected works, artists from Hong Kong, China, Taiwan and Macau explore their attempts to reconstruct, examine and interact with the world around them, from unfamiliar landscapes and changing weather patterns to shifting geographies and increasingly complex urban histories.
This program was in collaboration with Videotage – Hong Kong with the support from the Hong Kong Arts Development Council. Videotage – founded in 1986 – is a non-profit organization based in Hong Kong. They are specialized in the promotion, presentation, creation and preservation of moving images and media arts in various languages, forms and shapes.
The program began with film screening, followed by a Q&A session. Phoebe, who contributed to the curation, revealed that her main role is as a researcher, not a curator on a day-to-day basis. She prefers to be recognized as a writer, although her contribution is definitely important as Videotage’s Head of Research. In her explanation, Phoebe brought up the concepts of “Garden” and “Nature” as keywords. She emphasized the broad spectrum of video art, documentary and experimental works presented – blurring the lines between fiction and non-fiction. Experimentation with the medium becomes the core of this creative approach, where the focus is on how the medium is used to delve deeper into the human experience and its environment.
Jess Lau, one of the artists who attended and screened two of her works, Sparkling Fountain (2021) and The Fading Piece (2014), then shared her personal journey in animation. With perseverance and passion, she worked on her first animation every night, overcoming shyness with courage that grew with every frame she created. In the process, Jess almost turned into a tireless machine, moving relentlessly. This experience also led her to collaborations with other artists, where she experimented with new mediums, including the use of cameras to capture every important detail in her work. She emphasizes how every stroke of her pen and every visual element has a deep meaning in her creative process.
Jess also explained that stars are important symbolism in her works. They symbolize the hopes, dreams, and desires hidden behind each piece. The colors she chooses become the bridge between the visuals and the narrative, portraying feelings that are bigger than just what is seen. In the process of finding the right sound to accompany the visuals, he decided to use the organic tones of a handmade music box, which added a layer of intimacy to the work.
During the Q&A session, Ali Al Adawy asked Jess about the stop-motion technique used in one of her works that constructs a city line by line. He explained that the process of documenting the landscape painting was done in real-time, creating beauty and depth in each movement frame by frame.
However, in the middle of her explanation, the electricity went out. The atmosphere became even more dramatic when all participants turned on their cell phone lights, creating warm, cinematic ambience. Jess continued her explanation about her stop motion creative process with a profound calmness, as if all the attendees had become part of a living film scene.
This moment not only deepened the understanding of the works presented, but also created a collective experience that continued to ignite. Under the dim light of the cell phones, the participants became one with the stories they witnessed and listened to, making this event more than just a discussion; it was an emotional and intellectual journey that made an impression on their hearts.
After the Q&A session ended, the atmosphere turned warmer and more relaxed. Some participants started preparing food and drinks, while others shared stories with great intimacy. Conversations flowed organically-they talked about inspiring films, planned various destinations for this week in Indonesia, and shared knowledge about plants and how to care for them. The discussion evolved into a broader conversation about the cultures of Indonesia and Hong Kong, finding bridges between two cultures that are apparently different yet have deep similarities.
The lights then came back on, accompanying the evening with the warmth of organic friendship, where discussions about art and films slowly flowed into conversations about everyday life. The evening became more than just a gathering; it was a symphony of conversations that weaved together stories and destinations, forming a beautiful and unforgettable moment for everyone.