In ARKIPEL 2015 - Grand Illusion, Asian Young Curator, Film Screening Reviews

Penayangan Program Kurator Muda Asia 2: Tiga Filem tentang Hak Asasi

 

Sore, Hari Senin, 24 Agustus 2015, tidak terasa sudah hari ke-6 berlangsungnya ARKIPEL Grand Illusion – 3rd Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival dihelatkan, sejak pembukaan pameran Jajahan Gambar Bergerak: Antara Fakta dan Fiksi pada 19 Agustus lalu di Galer Cipta III, Taman Ismail Marzuki. Saya mendatangi pembukaan pameran, menyaksikan beberapa filem dari Program Kompetisi Internasional, sampai pada akhirnya, sore ini, saya menyaksikan pemutaran filem dari Program Asian Young Curator 2 di Kineforum pada pukul 17.00.

Saat saya memasuki studio, saya melihat kursi sudah mulai dipenuhi dengan kaum muda yang ingin menyaksikan pemutaran filem yang dikuratori oleh Jonathan Manullang. Dia adalah salah satu kurator muda dari Jakarta yang menyajikan tiga filem piliahannya untuk ARKIPEL Grand Illusion. Jonathan sendiri aktif mengelola sebuah kegiatan pemuataran filem-filem Indonesia, yang dikenal dengan nama Sinema Rabu. Sebelum duduk, saya mencoba membantu Jona, sapaan sang kurator, sebagai moderator yang memperkenalkan dirinya sebelum filem ditayangkan.

Ketika filem pertama dimulai, semua penonton hening, seakan mereka asik menyaksikam pemutaran filem dengan suasana  kondusif. Filem pertama yang diputar, berjudul Kameng Gampong Nyang Keunong Geula karya Aryo Danusiri. Filem ini bercerita tentang isu politik kontroversial, yang membuat saya mengetahui cerita soal era DOM Aceh. Sang kurator sendiri berpandangan bahwa isu itu dikemas melalui pendekatan sinema eksperimental yang disajikan secara kreatif.

Filem kedua, berjudul Trip To The Wound karya Edwin. Saya pribadi merasa bahwa filem ini menceritakan luka yang dialami seorang perempuan, namun tidak terjawab luka apa yang dialaminya. Responnya hanya terlihat dari mimik dan gerak-gerik tubuh yang menyatakan bahwa ada luka yang sedang atau telah dideritanya di salah satu bagian tubuhnya pada saat disentuh oleh tokoh pria dalam filem ini. setelah saya berbincang dengan Jona, sang kurator menyebutkan bahwa perlu diamati wajah si perempuan yang memiliki face Tionghoa. Dari sinilah saya bisa menangkap bahwa filem ini memiliki makna tersendiri terkait dengan hal tabu sehubungan dengan pesan moral yang hendak disampaikannya.

Kemudian, saya sampai di filem ketiga, yang berjudul Tragedi Kali Abang karya Arifin. Filem ini produksi mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah, Univesitas Negeri Yogyakarta, angakatan 2011. Filem ini diangkat berdasarkan tugas dalam bentuk makalah yang dijadikan medium presentasi pemaparan dinamika penguasaan lahan di pedesaan Klaten 1965. Saya merasa filem ini berbeda dengan filem pertama dan kedua, karena sangat kentara pengadeganan yang dilakukan sedemikian rupa dalam filem itu. Namun, terlepas dari kualitas filem itu sendiri, terkesan di diri saya bahwa mahasiswa yang membuat filem ini memiliki semangat untuk mencoba memilih filem sebagai medium alternatif dalam menyampaikan gagasan dan hasil studi mereka.

Tidak terasa, sudah satu setengah jam saya menoton ketiga filem yang disajikan. Setelah filem ketiga usai, masih ada sisa waktu kurang lebih 30 menit yang digunakan untuk sesi tanya-jawab antara penonton dan kurator. Tanggapan pertama yang saya dengar dari salah seorang penonton, sehubungan dengan persoalan bahwa filem Tragedi Kali Abang terlalu kuat dipengaruhi oleh Arifin C. Noer. Ada juga yang berpendapat bahwa filem tersebut seakan dibuat secara sembarangan dalam membingkai tahun 1965. Sedangkan Jona, sang kurator, berpendapat bahwa ia pribadi cukup menghargai inisiatif dan usaha pembuatan filem ketiga ini, karena filem ini bukan dibuat oleh seorang ‘seniman filem’.

Saya pribadi tidak mendapatkan suatu penjelasan yang lebih komprehensif terkait motif estetik maupun historik yang melatarbelakangi penyusunan kuratorial yang berjudul Kreativitas Bercerita Mengenai Represi Hak Asasi (atau Human Rights Repression, Retold through Creativity) tersebut.

Ada tiga Program Asian Young Curator di ARKIPEL Grand Illusion. Setelah penayangan Program Asian Young Curator 1 (dikurasi oleh Merv Espina dan Shireen Seno, dari Filipina), 23 Agustus lalu, dan Program Asian Young Curator 2 (dikurasi oleh Jonathan Manullang, dari Indonesia), 24 Agustus, para penikmat filem masih dapat menyaksikan Program Asian Young Curator 3 (dikuratori oleh Siew-Wai Kok, dari Malaysia) pada tanggal 26 Agustus nanti, di Goethe-Institut Indonesien, pukul 19.00.

Afternoon, Monday, 24 August 2015, hard to believe that it was already the 6th day of ARKIPEL Grand Illusion – 3rd Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival, since the opening of the exhibition Moving Image Colony: Between Fact and Fiction on 19 August at Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki. I went to the exhibition opening, watched some film from the International Competition Program, until finally, this afternoon, I watched the film from Asian Young Curator Program 2 in Kineforum at 17.00.

When I entered the studio, I saw seats already filled with young people who wanted to watch the film screenings curated by Jonathan Manullang. He is one of the young curator from Jakarta which presented three films of his choices to ARKIPEL Grand Illusion. Jonathan himself actively manages Indonesian film screening, known as Sinema Rabu (Wednesday Cinema). Before sitting down, I tried to help Jona, the curator’s nickname, as a moderator who introduced him before the films showed.

When the first film started, all the audience were in silent, as if they were eager to experience the screening with a conducive atmosphere. The first film screened, entitled Kameng Gampong Nyang Keunong Geula by Aryo Danusiri. This film tells the story of controversial political issues, which enlighten me about the story of DOM era in Aceh. The curator himself saw that the issue was packed through experimental cinema approach in a creative way.

The second film, entitled Trip to the Wound by Edwin. I personally feel that this film tells a wound suffered by a woman, but with no explanation about the wound that she had. The response was only visible from the expressions and gestures which states that there are wounds that are currently or have been suffered in one part of her body when being touched by a male character in the film. After I spoke with Jona, the curator stated it is necessary to observe the face of the woman who has a Chinese face. From here I could catch that this film has a special meaning related to the taboo that connected with the moral message in which the film tried to convey.

Then, I got to the final film, entitled Tragedy of Kali Abang by Arifin. This film is a production by students of History Education, State University of Yogyakarta ‘11. This film departed from the paper assignment that became a presentation medium to expose to the dynamics of land tenure in Klaten village back in 1965. I feel this film is different from the first film and second, since it’s so obvious how amateur the actors were, but didn’t come arranged in a good way. However, regardless of the quality of the film itself, it’s impressed me that students who made this film had a passion for trying to choose film as an alternative medium to communicate ideas and results of their studies.

Finally, I wasn’t aware it was already one and a half hour that I have watched all the three films presented. After the third film ended, there was still 30 minutes-more or less-were used for the Q&A session between the audience and curator. The first response that I heard is from one of the audience, about how the film Tragedy Kali Abang is too strongly influenced by Arifin C. Noer. There was also opinion that the film seemed to be made arbitrarily in attempt to frame the 1965 coupe. While Jona, the curator, believed that he is personally quite appreciate the initiative and effort in that third film, because the film is not made by an ‘artist’.

I personally did not get a more comprehensive explanation about the underlying aesthetic or historical motives for the preparation Human Rights Repression, Retold through Creativity curatorial.

There are three Asian Young Curator Programs in ARKIPEL Grand Illusion. After the presentation of Asian Young Curator 1 program (curated by Merv Espina and Shireen Seno, from the Philippines), 23 August, and Asian Young Curator 2 program (curated by Jonathan Manullang, from Indonesia), August 24, the audienc can still see Asian Young Curator 3 program (curated by Siew-Kok Wai, from Malaysia) on 26 August, at the Goethe-Institut Indonesien, 19.00.

 

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Contact Us

We're not around right now. But you can send us an email and we'll get back to you, asap.

Not readable? Change text. captcha txt

Start typing and press Enter to search

X