In ARKIPEL 2014 - Electoral Risk, Festival Updates
[divider type=”space” height=”20″ no_border=”1″ /]

D / SAT. 13 SEP, 19-30 – 21.30 / GOETHEHAUS

[accordion auto=”0″][accordion_item title=”Foreword”] [column type=”1/2″ last=”0″ class=””]

Marxis Kekinian; Antara Teks dan Image

 

Tahun 2008,  pada karya News from Ideological Antiquity: Marx/Eisenstein/Capital, Kluge berusaha membawa gagasan Marx yang belum kadaluarsa pada konteks kekinian. Secara sinematis, Kluge berusaha untuk mengembalikan gagasan marxian pada kepentingan awalnya, yakni mempertanyakan kembali persepsi terhadap realitas sebagai sesuatu yang memiliki konstruksi politis, selain sinema sebagai sebuah cara melihat realitas memiliki signifikasi dan potensi penting mentransformasi pemikiran Marx dalam situasi masyarakat kekiniaan.

Alexander Kluge, sutradara yang banyak menggunakan bahan baku dokumenteris dalam berkarya, banyak mengambil tema-tema sejarah dan keseharian para kelas pekerja. Kluge banyak menyinambungkan antara sinema dengan situasi sosial-politik kekiniaan. Demikan pula dengan cara berkaryanya,  ia tidak membedakan antara menulis teks dan membuat filem sehingga ia seringkali membuat kolase sebagai gaya dalam memadukan antara hal-hal yang dokumentatif, fiksi, dan teks. Latar intelektualnya yang dekat dengan pemikiran mazhab Frankfurt, menjadikan ia sangat artikulatif terhadap teori-teori sosial dalam mengembangkan gagasan sinemanya. Terkait dengan perihal epistemologis terhadap keberadaan medium filem, Kluge banyak memanfaatkan filem sebagai perihal yang sosiologis dalam kebudayaan kapitalisme lanjut. Ia seringkali memandang sinema sebagai moda representasi dan ruang publik yang transformatif.

Indonesia, yang sedang mengalami tahun politik, khususnya pada peristiwa Pemilihan Umum 2014, peran-peran media massa, baik televisi maupun media sosial,  telah membuat pergeseran partisipasi politik masyarakat yang cukup signifikan dalam mengartikulasikan kesadaran politiknya. Kehadiran televisi dan media sosial telah menggeser partisipasi politik yang pada masa sebelumnya—khususnya pada masa pasca reformasi, ketika masyarakat banyak memainkan peran partisipasi politik di ‘lapangan’ realitas dalam bentuk politik massa. Kini pada Pemilu 2014, partisipasi masyarakat telah dikanalisasi pada partisipasi politik yang bermuara pada ruang-ruang domestik melalui layar televisi dan media sosial. Sayangnya, peran media televisi sendiri, belum sanggup memainkan potensi bahasa filemisnya sebagai bahasa yang mampu mengatasi kompleksitas permasalah sosial politik masyarakat itu. Justru, yang terjadi adalah banjir ‘image’ dan informasi di media massa televisi kita pada tahun politik kali ini. Hal tersebut tentu sangat mengurangi peran media televisi sebagai medium yang sanggup membawa pengalaman masyarakat sebagai pengalaman bersama atau pengalaman kebangsaan.

[/column] [column type=”1/2″ last=”1″ class=””]

Contemporary Marxism: Between Text and Image

 

In 2008, Alexander Kluge published News from Ideological Antiquity: Marx/Eisenstein/Capital, an attempt to bring Marx’s ideas for contemporary readers. Cinematically, Kluge attempts to return to early Marx’s idea, namely to question perception as a political construct. He also emphasizes the importance of cinema as a way of looking at reality that can or has a potential to transform Marx’s thought in our present society.

Alexander Kluge, a film director who used many documentary materials in his works, liked to work on the topics of history and the everyday life of working class. His works reflect his attempt to connect cinema and contemporary social political situations. Like all his works, he did not distinguish writing a text from making a film therefore he frequently made a collage as a mode of combining different materials such as documentary, fiction, and texts.  His intellectual lineage which was close to the Frankfurt school made him very articulate and well-versed in social and film theories. In regard to the epistemology of filmic medium, Kluge often saw film as a sociological phenomenon of the late capitalism. On the other, he saw cinema as a transformative mode of representation and public sphere.

In Indonesia, which is experiencing a recent political momentum especially with the 2014 General Election, the role that mass media whether television or social media played during the election has radically transformed citizens’ political participation. The intensive involvement of television and social media has shifted political participation from a street and mass based political mobilization popular in the early reform era to a more domestic space of television screens and social media. Unfortunately, television has not yet been able to develop its filmic language to understand the complexities of social political situations. What is happening is a mere excess of images and information that is unable to transcend and bring this society’s experience beyond its confine, that is as a collective national experience as a nation.

[/column] [/accordion_item] [accordion_item title=”Films”]

News from Ideological Antiquity: Marx–Eisenstein–Das Kapital
Alexander Kluge (Germany)

[/accordion_item] [accordion_item title=”Speakers”]

Budi Hardiman

Budi Hardiman

Dr. Phil. Fransisco Budi Hardiman: Lahir di Semarang, 31 Juli, 1962. Setelah menyelesaikan studi sarjana filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta (1988), melanjutkan studi ke Hochschule fuer Philosophie Muenchen, Jerman (1992) dan meraih gelar Magister Artium (1996) dan Doktor der Philosophie (2001) dari perguruan tinggi yang sama. Setelahnya mengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan Universitas Pelita Harapan Jakarta. Menulis buku-buku, antara lain: Kritik Ideologi, Heidegger dan Mistik Keseharian, Memahami Negativitas, Filsafat Fragmentaris, Demokrasi Deliberatif, Humanisme dan Sesudahnya, Dalam Moncong Oligarki.
Dr. Phil Fransisco Budi Hardiman: was born in Semarang, July 31st, 1962. He graduated the philosophy at Driyarkara Philosophy School Jakarta (1988), continued his study to Hochschule fuer Philosophie Muenchen, Germany (1992). He holds an artium magister (1996) and Doktor der Philosophie (2001) from the same school. He teaches at Driyarkara and University of Pelita Harapan. He writes some books, such as Kritik Ideologi, Heidegger dan Mistik Keseharian, Memahami Negativitas, Filsafat Fragmentaris, Demokrasi Deliberatif, Humanisme dan Sesudahnya, Dalam Moncong Oligarki
[divider type=”space” height=”20″ no_border=”1″ /]

Martin Suryajaya

Martin Suryajaya: penulis filsafat. Saat ini sedang menulis buku sejarah estetika dari era Klasik hingga Kontemporer yang didukung dan akan diterbitkan oleh Indonesia Contemporary Art Network (iCAN)

Martin Suryajaya: is a writer of philosophy. He is currently writing a book on the history of aesthetics from Classical to Contemporary era, which supported and will be published by the Indonesia Contemporary Art Network (ICAN).

[divider type=”space” height=”20″ no_border=”1″ /]

Akbar Yumni
Moderator

Lahir di Jakarta, 1975. Penulis, aktivis kebudayaan, peneliti dan pendiri www.jurnalfootage.net. Anggota Forum Lenteng. Menempuh pendidikan Ilmu Komunikasi di Universitas Muhammadiyah Malang dan saat ini kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Bekera sebagai peneliti lepas di Dewan Kesenian Jakarta.

Born in Jakarta, 1975. He is  writer, cultural activist, researcher, and founder of www.jurnalfootage.net. He is a member of Forum Lenteng. He studied Communication at Muhammadiyah University, Malang, and now studied Philosophy at Driyarkara Philosophy School Jakarta. Now, he is also part-time researcher at Jakarta Arts Council.

[/accordion_item] [/accordion]

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Contact Us

We're not around right now. But you can send us an email and we'll get back to you, asap.

Not readable? Change text. captcha txt

Start typing and press Enter to search

X