In ARKIPEL 2020 - Twilight Zone, Forum Festival

Alternative Lenses in Film Criticism Practice
Praktik Lensa Alternatif dalam Kritisisme Filem

Moderator: Valencia Winata
Panelists: Dhuha Ramadhani, Intan Paramaditha, Seno Gumira Ajidarma

Sunday, 8 November 2020 | 16.00 GMT+7
in Bahasa Indonesia with English translation
registration: bit.ly/ForumFestival2020

Abstrak / Abstract

Di saat pandemi COVID-19, ekosistem seni termasuk filem diuji pertahanannya. Dari segi produksi, distribusi, dan konsumsi hingga kritisisme filem, kultur filem mengalami perubahan besar. Sistem atau model yang dulunya mendominasi dan mendikte pergerakan kultur filem sekarang melemah kekuatannya, malah ada yang rontok dan hancur. Pandemi COVID-19 ini memaksa kita melihat kembali, membongkar, dan mengkritik model ekosistem filem lama. Tak hanya itu, kita juga didorong untuk menyiasati dan merumuskan model ekosistem filem yang dapat beradaptasi dengan perubahan cara bertahan hidup sekarang. Di sinilah peran kritisisme filem menjadi penting. Kritisisme filem membuka kesempatan untuk membaca dan berpikir tentang filem dengan perspektif baru. Di samping itu, kritisisme filem merupakan ruang untuk merevisi dan mengimajinasikan estetika dan wacana filem yang jauh lebih inklusif untuk masyarakatnya. 

Panel ini bertujuan untuk menginvestigasi peran dan kontribusi kritisisme filem terhadap kultur filem dan masyarakat sekarang. Filem sebagai artefak kebudayaan dapat dibaca secara tekstual, historis, dan kultural. Interpretasi filem memang berbeda tergantung lensa dan posisi pembacaan mana yang dipilih. Tugas penting di dalam kritisisme adalah membedah estetika filem secara bentuk dan komposisi, selain juga mempersoalkan dan menguak makna filem. Ini kemudian dapat membuat wacana filem tersirkulasikan dan membentuk pengetahuan baru baik untuk pembuat filem dan penontonnya. Dengan demikian, kritisisme dapat dipandang sebagai roda yang memperdalam dan memperluas wacana filem.

Panel ini mengundang panelis untuk berbagi gagasan, praktik, dan kontribusinya di bidang kritisisme filem. Bagaimana sebuah ideologi, pengetahuan, pengalaman dan agensi seseorang membentuk posisi dan respons membaca filem. Lensa dan kerangka berpikir apa yang digunakan secara strategis untuk mengartikan filem? Selain itu, bagaimana pemilihan posisi sudut pandang ini dapat menggugat kultur filem yang dominan, serta menawarkan gagasan baru mengenai estetika dan wacana filem?

During the COVID-19 pandemic the survival of the art ecosystem, including the film industry, is being tested. From production, distribution, consumption, and criticism, the film industry has experienced a huge change. The system or model that has dominated and dictated the film culture is now deteriorating, brought to its end. The COVID-19 pandemic forces us to look back, deconstruct, and criticize the old model of the film industry. Moreover, it urges us to navigate and formulate a new model of film ecosystem that suits our current way of life. This is where the role of film criticism becomes important. FIlm criticism creates opportunities to read and think about film from a new perspective. Film criticism is also a place to revise and reimagine film aesthetics and discourse that are far more inclusive for the society. 

This panel is aimed to investigate the role and contribution of film criticism in the film culture and in the public. As a cultural artefact, film can be read in textual, historic, and cultural context. Depending on the lens and position that are chosen, a film can be read in different ways. The important role of film criticism is dissecting the aesthetics of film in terms of its form and composition as well as questioning and uncovering its meaning. It has the potential to circulate film discourse and build a new knowledge for filmmakers and the public. Thus, criticism can be seen as the driving force that deepens and expands film discourse. 

This panel invites the speakers to share their ideas, practices, and contribution in the field of film criticism. How does a person’s ideology, understanding, experience and agency build their understanding and response in reading a film? What are the lenses and frameworks that are strategically used to assign meanings to a film? How can one’s point of view contest the dominant film culture and offer a new idea on film aesthetics and discourse?

About the Panelist

Dhuha Ramadhani (lahir 23 Februari 1995, di Jakarta) adalah seorang pembuat film dan kurator. Menyelesaikan pendidikan sarjana di Departemen Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Anggota Forum Lenteng, aktif sebagai partisipan Milisifilem Collective dan 69 Performance Club. Sejak 2018, ia menjadi kurator program Candrawala di ARKIPEL – Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival. Pada Juli 2019, ia mempresentasikan kuratorialnya di Asia Forum 3 for EXiS – Experimental Film and Video Festival 2019, Seoul, Korea Selatan. Film terbarunya adalah Jakarta Unfair (2016) dan Into The Dark (2018).

Dhuha Ramadhani (b. February 23, 1995, in Jakarta) is a filmmaker and curator. Completed undergraduate education at the Department of Criminology, Faculty of Social and Political Sciences, University of Indonesia. Member of the Forum Lenteng, active as a participant in the Milisifilem Collective and 69 Performance Club. Since 2018, he is the curator of the Candrawala program at ARKIPEL – Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival. In July 2019, he presented his curatorial on Asia Forum 3 for EXiS – Experimental Film and Video Festival 2019, Seoul, South Korea. His latest films are Jakarta Unfair (2016) and Into The Dark (2018).

Intan Paramaditha (lahir 15 November, 1979 di Bandung, Indonesia) adalah seorang akademisi dan penulis fiksi. Ia menyelesaikan pendidikan Sarjana di bidang Sastra Inggris di Universitas Indonesia, serta Magister Sastra Inggris di University of California, San Diego. Ia kemudian memperoleh gelar Doktor di bidang Kajian Sinema di New York University. Saat ini, ia mengajar Kajian Media dan Filem di Macquarie University, Australia. Karya fiksi dan ilmiahnya membahas feminisme, transnasionalisme, pascakolonialisme, dan aktivisme. Ia juga aktif terlibat di beberapa proyek seni dan budaya berlandaskan feminisme, di antaranya Cipta Media Ekspresi dan PERIOD, sebuah kelas penulisan kritik sastra dan filem.

Intan Paramaditha (born on 15 November, 1979 in Bandung, Indonesia) is an academic and fiction writer. She obtained her Bachelor’s Degree in English Literature from Universitas Indonesia and Master’s in English Literature from University of California, San Diego. She earned her PhD in Cinema Studies at New York University. She currently teaches Media and Film Studies in Macquarie University, Australia. Her fiction and academic works often discuss feminism, transnationalism, postcolonialism, and activism. She is also actively involved in feminist projects on arts and culture, such as Cipta Media Ekspresi and PERIOD, a writing workshop on literature and film criticism.

Seno Gumira Ajidarma (lahir 1958 di Boston, Amerika Serikat) adalah seorang kritikus, sastrawan, dan akademisi. Ia menempuh kuliah di Departemen Sinematografi Lembaga Kesenian Jakarta (kini Institut Kesenian Jakarta), danmenyelesaikan studi di Magister Ilmu Filsafat di Universitas Indonesia. Ia kemudian memperoleh gelar Doktor Ilmu Sastra di Universitas Indonesia. Ia pernah aktif bekerja sebagai wartawan dan mengulas filem di beberapa majalah dan surat kabar. Ia kini mengajar di Fakultas Film dan Televisi, Institut Kesenian Jakarta dan menjabat sebagai Rektor Institut Kesenian Jakarta, periode 2016-2020.

Seno Gumira Ajidarma (born in 1958 in Boston, USA) is a critic, writer, and academic. He completed his studies in Cinematography at Lembaga Kesenian Jakarta (now Institut Kesenian Jakarta), and his Master’s Degree in Philosophy at Universitas Indonesia. He received his PhD in Literature at Universitas Indonesia. He has worked as a journalist and film critic in several magazines and newspapers. He now teaches in the Department of Film and Television in Institut Kesenian Jakarta and serves as a rector in Institut Kesenian Jakarta in 2016-2020. 

About the Moderator

Valencia Winata (lahir 14 Februari 1992, di Medan, Indonesia) adalah asisten peneliti dan penerjemah. Ia menyelesaikan pendidikan Sarjana di bidang Kajian Filem dan Filsafat di University of East Anglia, Inggris. Ia bergabung dengan komunitas Forum Lenteng pada tahun 2019, aktif berpartisipasi di program Milisifilem, dan terlibat sebagai tim editing penulisan bahasa Inggris untuk ARKIPEL Film Festival.

Valencia Winata (born on 14 Februari 1992, di Medan, Indonesia) is a research assistant and translator. She completed her studies in Film Studies at University of East Anglia, UK. She joined Forum Lenteng in 2019. She is now active in Milisifilem Collective and part of the English editorial team for ARKIPEL Film Festival.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Contact Us

We're not around right now. But you can send us an email and we'll get back to you, asap.

Not readable? Change text. captcha txt

Start typing and press Enter to search

X