Perkembangan teknologi digital yang masif dan cepat memungkinkan setiap orang sekarang menjadi produsen sekaligus penonton audio-visual. Dalam situasi keterbukaan akses terhadap alat produksi dan teknologi informasi, kini eksperimentasi sinema berada pada titik terleluasanya. Eksplorasi atas eksperimen cara bertutur pun dapat dilakukan pula pada ranah tontonan dan penonton yang mendasari produksi dari karya sinema itu sendiri. Penuturan konten diolah sedemikian rupa, mulai dari siasat ulang-alik antara medium dan karya, modus interaksi sosial saat proses produksi, hingga percobaan cara-cara bertutur yang agaknya dapat dikatakan “segar”. Filem-filem yang masuk dalam program Candrawala 2018 ini kami anggap dapat mewakili sekaligus memantik diskusi tentang pembacaan tersebut. Bahwa, dalam lanskap sinema kita saat ini, bahan artikulasi sinematik tetap berkisar pada ketimpangan akses baik dari segi ekonomi, ruang individu-kolektif, maupun pendidikan, tetapi bahasan ini diolah lewat cara yang mengindikasikan arah pada spekulasi tentang eksperimentasi sinema terhadap moda produksi dari teknologi kontemporer: utak-atik pengolahan medium dan siasat pengemasan bahasa tutur yang berusaha keluar dari pendekatan konvensional dalam rangka memenuhi usaha refleksi yang bersifat sosial.
CANDRAWALA
What’s Wrong With My Film (Roberto Rosendy, 2018, Institut Seni Budaya Indonesia, Bandung, 6 menit 36 detik)
–
Kasihan (Muhammad Reza, 2017 Jakarta, 7 menit 15 detik)
–
Kakak Mau Beli Tisu (2017, Batara Aji Pekerti, FFTV Institut Kesenian Jakarta, 14 menit 8 detik)
–
Ojek Lusi / Tour on Mud (Winner Wijaya, 2017, Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang, 18 menit 8 detik)
–
Lahir di Darat Besar di Laut (Steven Vicky Sumbodo, 2018, Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang, 17 menit 20 detik)
–
Rimba Kini (Wisnu Dewa Broto, 2017, Thesign Films, 17 menit 46 detik)
