In ARKIPEL 2018 - homoludens, International Competition

Affirmatory Tracing: Journey Through the Labyrinth of The Past Anxiety, Poetic Paranoia, and
Present Horror

Penyusuran Afirmatif: Melewati Labirin-Labirin
Kemasygulan Masa Lalu, Paranoia Puitik, dan Horor Masa Kini

Host: Manshur Zikri

Saturday, August 11, 2018 | 01:00 pm | GoetheHaus
Monday, August 13, 2018 | 04:00 pm | Kineforum

Yang barangkali sering mengejutkan dari hari ini, salah satunya, adalah ketidakterdugaan kita sebelumnya, bahwa penggalian kembali atas masa lalu kerap membuat kita harus berhadapan dengan narasi lain, yang rasanya lebih nyata menyeramkan, mengenai dunia sekarang. Atau lebih tepatnya, ialah tentang kemestian dari peristiwa tertentu yang kini semata tersisa sebagai hal yang biasanya disesali, kalau bukan ditakuti, kemudian dihindari; sebuah kemestian yang, sengaja atau tidak, telah diluputkan oleh sistem kekuasaan, sementara seiring waktu yang berjalan, narasi-narasi konstruktif kontemporer terus membentuk persepsi kita.

Tapi benarkah paranoia akan masa lalu semacam itu adalah satu-satunya yang tak terhindarkan dari ingatan buram yang semakin hari semakin dipiuh oleh hubungan-hubungan kekuasaan yang terjalin rumit dari faktor-faktor terpusat?

Tiga filem yang disertakan ke dalam kuratorial ini, dengan pendekatan yang saling berbeda satu sama lain, sama-sama menyajikan sebuah refleksi dari dan tentang subjek yang tengah menelusuri labirin memori kaburnya, yang mana perjalanan itu dihantui oleh kegelisahan fotografis, trauma kekerasan, dan kecemasan akan pembuangan—ketiganya berkaitan satu sama lain dalam merepresentasikan bagaimana dampak lanjut modernisme—yang telah menentukan eksistensi manusia, relasi sosial, perilaku masyarakat, sikap hukum, kebebasan ruang, dan keleluasaan kapital, serta keabaian dan pengabaian komunal itu—pada akhirnya tidak hanya melanggengkan sistem pembatasan, tetapi juga secara bersamaan menyudutkan kita ke titik krisis.

Dangsan adalah suatu pencarian kembali memori-memori dari kegelisahan masa lalu di antara jejak pabrik-pabrik yang hilang di kotamadya Dangsan; memori yang ikut lenyap seiring pembangunan modern yang menenggelamkan masa lalu kota, kecuali kisah suci pohon gingko sang penyelamat. Penuturan melantur seorang mantan narapidana pengidap psikosis pasca kebebasannya dari jeratan hukuman mati setelah 48 tahun menjalani hukuman penjara karena secara keliru didakwa sebagai pelaku kejahatan pembunuhan, dalam filem berjudul 48 Years – Silent Dictator, adalah sebuah penggalian mengenai sistem-sistem yang saling berhimpit di antara narasi faktual dan narasi delusional. Sedangkan pada filem ketiga, Sub Terrae, kamera menuntun kita menelusuri sebuah labirin perkuburan yang dikerumuni burung nasar, dan telusuran itu berujung pada pemandangan sebuah tempat pembuangan akhir—gunungan sampah.

Dalam Dangsan, pencarian yang tampaknya sia-sia atas ingatan-ingatan yang terhapus itu melahirkan suatu kelegaan yang kiranya dapat menawar racun kegelisahan sekaligus membuka peluang refleksi baru atas lanskap urban kontemporer. Pada 48 Years – Silent Dictator, keputusan Iwao Hakamada untuk mengafirmasi dunia delusionalnya mungkin bukanlah sebuah pilihan untuk lari dari trauma kekerasan hukum, melainkan perlawanan subjektif Hakamada atas hukum itu sendiri; filem ini menunjukkan suatu afirmasi atas sebuah ‘dunia irasional’ yang secara filosofis justru menjadi cermin paling sesuai bagi kita dalam merasionalisasi dunia yang sesungguhnya—dunia yang diperangkap oleh sistem kekuasaan, entah milik negara atau korporat, atau yang dihasilkan oleh pengabaian dari masyarakatnya sendiri. Hal itu sebagaimana secara puitik terkiaskan dalam Sub Terrae yang berhasil menyampaikan teror yang begitu mengerikan: secuplik gambaran distopik tentang masa depan yang diramalkan, yang disimak pada hari ini dari bilik kematian tempat berbaringnya orang-orang masa lalu, sebagai penanda tentang krisis global kontemporer yang tengah berlangsung di zaman sekarang.

Tiga filem tersebut menawarkan kepada kita suatu pandangan, bahwa usaha-usaha untuk mengurai teka-teki historis yang ada, dan optimisme dalam mencapai pintu keluar dari labirin ingatan-ingatan arus-bawah, atau setidaknya afirmasi atas keganjilan alam pikir kaum periferal—walaupun acap kali belum berhasil menjelaskan apa yang saru di mata rasional kita—adalah disrupsi-disrupsi kecil yang bisa kita percayai akan meretakkan jeruji-jeruji yang memenjara arti dari sebuah kebenaran. Sinema, dalam konteks ini, memainkan peran terpentingnya dalam menciptakan suatu pengertian dan keadaan yang elastis, atau melipatgandakan efek dari disrupsi-disrupsi itu, dalam rangka menawarkan suatu relativitas sekaligus paralelitas sebuah narasi. Tidak jarang, langkah itu dihadirkan lewat kekuatan puitiknya yang meneror konformitas manusia-manusia hari ini.

Tapi memang, diskonformitas oleh sinema adalah narasi alternatif untuk kita pikirkan ulang. Mengacu kasus yang diangkat ketiga filem tersebut, kuratorial ini mencoba memahami bahwa, dalam pengertian sinema, apa yang buntu bisa jadi ialah jalan keluar. Ketiga filem ini kiranya menunjukkan satu benang merah: jikalau kebenaran absolut dan perbaikan sistem belum akan berhasil diraih, “aksi mencari” itu sendirilah yang bisa jadi tujuan sesungguhnya. Menafsir puisi Dante, Inferno, Canto I, kita patut percaya bahwa, dalam kondisi sekrisis apa pun, setidak-tidaknya, manusia harus selalu mencari jalan yang tepat untuk tetap dapat hidup dan bertindak adil, karena di dalam pencarian itu, kita dirangsang untuk melihat, mendengar, dan menyimak dengan lebih saksama sehingga kita bisa menilai paranoia tentang masa lalu dari sudut pandang yang berbeda, yang lebih empatik.

Perhaps the most surprising of these days, among others, is: our unexpected results of the excavations of the past often make us face another narrative, which seems even more sinister, about the present world. Or rather, it is about an unrealized ideal of the particular events, of which its absence is now merely a thing to be regretted and often causes anxiety, and then its disclosure is frequently avoided. It is something that has been, intentionally or not, eliminated by the system of power while contemporary constructive narratives are continuing to shape our perceptions over time.

But is it true that such a past paranoia is the only inevitability of the foggy memories that are increasingly being distorted by the power relations complexed by centralized factors?

The three films included into this curatorial, with their respectively different approaches, present a reflection from and about the subject traversing the labyrinth of their vague memories, whose journey haunted by photographic anxieties, a trauma of violence, and fear of discard. They relate to each other in representing how the further impact of modernism—which has been determining human existence, social relations, social behaviors, legal provisions (or rule of law), freedom of space, and capitalist’s discretion, as well as communal neglecting and abandonment—ultimately not only perpetuates a system of confinement but also simultaneously cornering us to the point of crisis.

Dangsan is the retrieval of memories of past anxiety among traces of the lost factories in the Dangsan sub-municipality; the memory that disappears as modern development drowns the city’s past, except for the sacred tale of the gingko tree the savior. The rambling narrative from a psychotic ex-convict freed from capital punishment after 48 years serving a prison sentence for being mistakenly sentenced to death for mass murder, in 48 Years – Silent Dictator, is an excavation of systems overlapping between factual narrative and the delusional one. While in the third film, Sub Terrae, the camera leads us through a maze of cemeteries surrounded by vultures, and the trek ends with a view of a garbage dump.

In Dangsan, a seemingly futile quest for such deleted memories spawned a relief that could neutralize the toxic of anxiety as well as open up new opportunities for critical reflection on the contemporary urban landscape. In 48 Years – Silent Dictator, we can perhaps see Iwao Hakamada’s decision in affirming his delusional world as an option which is not in the sense of escaping the trauma of legal violence, but rather as Hakamada’s subjective resistance to the law itself. This film shows a kind of affirmation of an ‘irrational world’ that philosophically functions as a mirror that suits us in rationalizing the real world—that is a world controlled by a system of power owned either by the state or corporation or generated by people’s indifference. As the Sub Terrae poetically echoes by showing us such a terrifying terror: a dystopian imagery of the foreseeable future, which is being seen from the current death chamber where the people of the past buried, signifying the contemporary global crisis in the present.

Through those films we can understand that the attempts to unravel existing historical conundrums and the optimism in reaching the solution from the labyrinth of undercurrent memories, or at least the affirmation of the anomaly of the peripheral minds—though often have not yet succeeded to explain what is vague in our rational eyes—are the small disruptions that we can trust will crack the bars that imprison the meaning of a truth. Cinema, in this context, plays its most essential role in creating an elastic sense or multiplying the effects of the disruptions; to offer relativity as well as the parallelity of a narrative. And more often than not, cinema poetically terrorizes the conformity of humans.

But indeed, the cinematic disconformity is an alternative narrative for us to rethink. Referring to the cases raised by those three films, this curatorial tries to understand that, in the sense of cinema, a cul-de-sac maybe is a way out. These three films will show a common thread: if the absolute truth and correction of the system will not be achieved yet, “the act of pursuing it” itself is perhaps the true goal. Interpreting Dante’s Inferno, Canto I, we ought to believe that under any crisis conditions, at least, humans should always find the right path in order for staying alive and behaving justly. For in that quest we will be more triggered to see, listen and scrutinize more closely so that we can appreciate the paranoia of the past from a different, more empathic point of view.

Film List

Dangsan – 당산

Filmmaker Geonhee Kim (South Korea)
International Title  Dangsan – 당산
Country of Production  South Korea
Language  Korean, English
Subtitle  English

38 min, color, stereo, HD, DCP, 16:9, 2017

Mengunjungi kembali kota kelahirannya, si sutradara menemukan kenyataan betapa Dangsan telah banyak berubah, kecuali kisah pohon ginkgo berusia ratusan tahun yang konon menyelamatkan warga dari bencana banjir besar. Terganggu oleh kegelisahannya tentang ingatan-ingatan masa lalu yang muncul kemudian, penelusurannya untuk kembali mengenali image-image subjek yang dahulu beradu tatap dengannya, si sutradara membangun narasi filem ini dengan membawa kita melihat sebagian fenomena historis terkait separasi kawasan Korea dan perubahan kota itu akibat pembangunan modern. Mata siapakah itu? Ke manakah mereka yang luput terekam? Dangsan adalah sebuah pencarian atas ingatan-ingatan yang terhapus, yang melahirkan kelegaan dan refleksi baru tentang lanskap urban kontemporer.

Revisiting her hometown, the director discovers the reality of how Dangsan had changed much, except for a hundred-year ginkgo tree which supposedly saves people from big floods. Stirred by her anxiety about memories that popped up in her head, her tracing to re-recognize the images of subjects whom she met previously, the director builds this film narrative by taking us to see some historical phenomena related to the separation of Korean region and changes in the municipality due to modern development. Whose eyes is that? Where did they go, those who were unrecorded? Dangsan is a quest of the deleted memories, which reveals a relief and a new reflection on contemporary urban landscape.

gunhee4147@gmail.com

Geonhee Kim, lahir di Dangsan-dong, Yeongdeung-po-gu, Seoul. Kim mengambil jurusan dokumenter di The School of Film, TV & Multimedia Korea National University of Arts. Dia menyutradarai beberapa film dokumenter: The Landscape (2013), Illusion (2015) dan Do you remember Cheongpa? (2016).

Geonhee Kim was born in Dangsan-dong, Yeongdeung-po-gu, Seoul. Kim majored documentaries at The School of Film, TV & Multimedia of Korea National University of Arts. She directed several documentaries: The Landscape (2013), Illusion (2015), Do you remember Cheongpa? (2016).

48 years – 沈􀀀の独裁者

Filmmaker Hiroshi Sunairi (Japan)
International Title  48 years – Silent Dictator
Country of Production  Japan
Language  Japanese
Subtitle  English

74 min, color, stereo, HD, HD, 16:9, 2018

Sebagian besar filem ini berisi wawancara sutradara dengan Iwao Hakamada, mantan narapidana yang bebas dari hukuman mati dan mengalami psikosis pasca menjalani kurangan penjara selama hampir setengah abad. Diselingi oleh rekaman aktivitas Iwao yang berjalan-jalan sepanjang hari, wawancara ini menyelami dunia delusional Iwao, di antara ingatan-ingatan yang memburam dan keyakinannya untuk menjadi Sang Mesin yang murni. Ini adalah sebuah filem tentang liku membingungkan dari dunia imajinasi si narasumber yang sekaligus menjadi refleksi kritis terhadap kenyataan yang mengerikan dari dunia kita yang berdiri dengan melanggengkan kekerasan sistemik lewat kekuasaan hukum.

This film contains interviews conducted by the filmmaker with Iwao Hakamada in most of its duration, a psychotic former prisoner who is free from the death penalty after serving an almost-half-century of imprisonment. Punctuated by scenes of Iwao’s all-day-walk routines, this interview penetrates the delusional world of Iwao, between his fading memories and his conviction to become a pure Mr. Machine. This is a film about the confusing twists of the imaginary world of the informant, which at the same time becomes a critical reflection of the terrible reality of our society which stands by perpetuating systemic violence through the rule of law.

sunairi@hotmail.com

Hiroshi Sunairi (1972) lahir di Hiroshima dan tinggal di NYC. Ia membuat patung atau instalasi dan sinema dalam berbagai konten untuk membahasa topik yang berkisar pada memori kolektif dan ruang public. Filem-filemnya telah diputar di berbagai festival film internasional maupun pada berbagai pameran seni.

Hiroshi Sunairi (1972) was born in Hiroshima and lives in NYC. He creates sculpture or installation and cinema on various contents to deal with issues of collective memory and the public sphere. His films have been screened in numerous international film festivals and art occasion.

Sub Terrae

Filmmaker Nayra Sanz Fuentes (Spain)
International Title  Sub Terrae
Country of Production  Spain
Language  No Dialogue
Subtitle  No Dialogue

8 min, color, stereo, HDV, HD, 16:9, 2017

Kamera menuntun kita menelusuri sebuah labirin perkuburan yang dikerumuni burung nasar, dan telusuran itu berujung pada pemandangan sebuah tempat pembuangan akhir—gunungan sampah. Sub Terrae hendak menyampaikan teror yang begitu mengerikan: secuplik gambaran distopik tentang masa depan yang diramalkan, yang disimak pada hari ini dari bilik kematian tempat berbaringnya orang-orang masa lalu, sebagai penanda tentang krisis global kontemporer yang tengah berlangsung di zaman sekarang.

The camera leads us through a maze of cemeteries surrounded by vultures, and the trek ends with a view of a garbage dump. Sub Terrae poetically echoes with showing us such a terrifying terror: dystopian imagery of the foreseeable future, which is being seen from the current death chamber where the people of the past buried, signifying the contemporary global crisis in the present.

distribucion@digital104.com

Nayra Sanz Fuentes (1979) lahir di Las Palmas de Gran Canaria, Spanyol. Ia merupakan lulusan Filologi Hispanik. Sebagian tesis doktornya dikerjakan di Berlin. Ia mengambil Master of Film Direction di New York. Dia telah meyutradarai lima film pendek sebelum kemudian mengerjakan filem panjang pertamanya; As Old As the World.

Nayra Sanz Fuentes (1979) was born in Las Palmas de Gran Canaria, Spain. She has a degree in Hispanic Philology. She did part of her doctoral thesis in Berlin. She studied a Master of Film Direction in NY. She has directed five short films before finally works on her first feature film; “As Old as the World”

About the Host

Manshur Zikri (Pekanbaru, 1991) adalah kritikus dan kurator filem, anggota Forum Lenteng, mengurus Program AKUMASSA. Lulus dari Departemen Kriminologi, Universitas Indonesia, pada tahun 2014. Ia kini juga koordinator riset untuk www.senimedia.id.

Manshur Zikri adalah salah satu anggota tim selektor ARKIPEL homoludens.

Manshur Zikri (Pekanbaru, 1991) is a film critic and curator, a member of Forum Lenteng, in charge of AKUMASSA program. He graduated Criminology at the University of Indonesia in 2014. He is also the research coordinator for www.senimedia.id.

Manshur Zikri is one of the selector members of the ARKIPEL homoludens.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Contact Us

We're not around right now. But you can send us an email and we'll get back to you, asap.

Not readable? Change text. captcha txt

Start typing and press Enter to search

X