In ARKIPEL 2022 - catch-22, International Competition

Pertanyaan Tidak Mendesak dan Penelitian Telaten Lanjutannya
An Unecessary Question and Its Further Attentive Research

Host Otty Widasari

Minggu, 2 Des 2022 – 13:00

“Hubungan Utara-Selatan dimulai di sana. Apapun yang terjadi di depan kamera berada di Selatan. Kamera itu sendiri berada di Utara. Kamera seperti kompas, menunjuk ke arah selatan dan kau kehilangan pandanganmu tentang utara.” –Serge Daney

 

Kalimat mutiara di atas diibaratkan oleh seorang pengajar sebuah kampus di Belgia, Patrick Leboutte, sebagai enigma, tentang hubungan Utara-Selatan, dan kaitannya dengan sinema. Menurutnya, kalimat tersebut menyiratkan bahwa, dalam pembuatan sinema kita harus rela kehilangan pandangan kita tentang Utara, dan selalu bicara tentang makna dari Selatan.

Dan sebaliknya, sebagian  “kita” yang ada di sini harus rela duduk di bawah kaca prisma teropong dominasi power Utara, sebagai objek amatan.

“Bagaimana jika ideologi dari teknologi meneropong tersebut ternyata rasis dan diskriminatif?”

Sebelumnya, perlukah pertanyaan itu muncul? Bukankah posisi subjek yang meneropong saja sudah bersifat diskriminatif sejak awal?

Film Prisme yang diproduksi oleh tiga sutradara perempuan lintas negara dan lintas warna kulit ini menawarkan pertanyaan awal yang tidak mendesak tersebut, namun juga menjabarkan penyelidikan telaten tentang problematika kalibrasi kamera terhadap warna kulit warga dunia selain kulit putih. Pertanyaan tersebut menarik lebih jauh para sutradaranya, khususnya yang berasal dari Afrika, pada situasi pencarian makna-makna ideologis dari teknologi kamera. Mereka juga jadi terbelit dalam persoalan-persoalan lapisan ganda identitas sebagai perempuan Afrika: Terpenjara oleh budaya, terdominasi oleh patrilinealisme, dan terkolonisasi oleh teknologi Barat.

Premis tentang diskriminasi bisa menjadi pisau bermata dua saat dilemparkan pada era ini, karena diskriminasi dan rasisme sudah bermutasi ke dalam bentuk-bentuk tercanggihnya sekarang, dan masuk ke dalam sendi kehidupan multi-layer yang bahkan menjadikan pencetusnya sendiri sebagai target. Namun di saat yang bersamaan, peluang bersiasat melampauinya juga terbuka lebar. Hal inilah yang membuat Prisme menjadi film yang menarik untuk ditelaah lebih jauh, karena perkembangan wacana global memiliki banyak jawaban langkas yang diperoleh dari metode-metode partisipatoris yang telah berkembang sejak lebih dari setengah abad lalu: menerabas tabu-tabu dan mengupayakan kesetaraan.

Hal lain yang menarik dari perjalanan wacana ini adalah persilangannya dengan ranah industri, di mana moda-moda produksi industrial selalu menemukan cara-cara retas yang tak ada habisnya dalam mengatasi persoalan-persoalan yang tampaknya tidak harus dipahami secara tunggal ini. Sebagaimana Leboutte kemukakan di dalam film ini, “Saya mempertontonkan film Bamako (pada mahasiswa-), kadang saya memutarkan La Noire de… film penting Ousmane Sembene, sebuah film tentang pembebasan dan kecaman, … bukan karena ia adalah sutradara berkulit hitam … Bukan karena persoalan-persoalan warna kulit, atau perempuan tapi saya sedang menunjukkan SINEMA. Itu adalah aksi pembebasan. Apa itu dekolonisasi kalau bukan tentang ‘hubungan’? Kita meninggalkan yang sebelumnya, tentang penindasan dan dominasi, otoritas, dan menggantikannya dengan yang baru…”

Sekali lagi, pertanyaan tidak mendesak tentang kerja teknologi kamera yang diskriminatif hanya sekadar pemicu, dan yang terpenting adalah penyelidikan lanjutannya yang telaten tentang kerja prisma dalam kamera terhadap persoalan paling menyebalkan di dunia: rasisme. Sebuah komponen optik transparan yang berfungsi membiaskan cahaya, dengan membelokkan jatuhnya cahaya, sekaligus membiaskan arti sebuah identitas warga dunia yang harus berjuang lebih kuat dalam sirkulasi wacana dunia. Permukaan datar prisma harus diletakkan miring agar bisa membalikkan (flipping dan inverting), memutar (rotating), menyimpangkan (deviating), dan menggantikan (displacing) berkas cahaya. Artinya, usaha lebih harus dilakukan oleh inisiator aksi peneropong dalam menerapkan kuasanya, sejak awal. Dan usaha lebih pun harus dilakukan sekarang untuk menunjukkan siapa yang dibiaskan oleh prisma kamera.

“North-South relation starts there. Everything that happens in front of the camera is in the South. The camera itself is always in the North. The camera is like the compass that is pointing south. And so, you lose sight of north.” Serge Daney

 

The line above was quoted by Patrick Leboutte, a lecturer at a campus in Belgium, on the enigma of North-South relation in relation to cinema. According to him, the sentence implies that in creating cinema, we must be willing to lose our view of the North, and always talk about the meaning of the South.

And in return, some of “us” who are here must be willing to sit under the prism of binocular dominated by the powers of the North, as objects of observation.

“What if the ideology of the technology of seeing turns out to be racist and discriminatory?”

Before we answer, does this question need asking? Isn’t the position of the seeing subject already discriminatory from the start?

Prism, produced by three women directors across multiple countries and skin colors, offers this initial question, while also explicates their attentive research on the problem of camera calibration on the skin color of the world’s citizen other than white. This question further draws the directors, especially those from Africa, into the situation of searching for ideological meaning of the camera technology. They also become entangled in the problems of multiple layers of identity as African women: imprisoned by their culture, dominated by patrilinealism, and colonized by Western technology.

The premise of discrimination can be a double-edged sword when proposed in this era, because discrimination and racism has mutated into their most sophisticated forms, infiltrating the joints of this multi-layered life; even turning the person who proposed it into a target.

But at the same time, the opportunity to outsmart it is wide open. This is what makes Prism an interesting film to examine further. The development of global discourse has obtained many witty answers from participatory methods evolving from half a century ago: breaking taboos and striving for equality.

Another interesting thing about the journey of this discourse is its crossover with the industry, where industrial modes of production always managed to hack through problems that seemingly does not need to be understood singularly. As Leboutte put it in this film, “I show Bamako (to my students), sometimes I show La Noire de… Ousmane Sembene’s important film on liberation and denunciation… Not because he is a black director… Not because of issues related to skin color or women, but I was showing them CINEMA. That is an act of liberation. What is decolonization, if not about ‘relations’? We are leaving it behind, those of oppression and domination, authority, and replace it with a new one…”

Once again, the unnecessary question on the discriminatory workings of camera technology is merely a trigger. The most important thing is its further attentive research on the inner workings of the prism and camera towards one of the world’s most infuriating problem: racism. A transparent optical component that functions to refract light, by deflecting the falling light, as well as refracting the meaning of a world citizen’s identity who must fight stronger in the circulation of the world’s discourse. The flat surface of the prism must be positioned in an oblique angle to flip and invert, rotate, deviate, and displace the light beam. Therefore, more effort must be made by initiators of the acts of looking to exercise their power since the beginning. And even more needs to be done to reveal who is being refracted by the camera prism.

Film List

Prism

Filmmaker An van Dienderen, Eléonore Yameogo, Rosine Mbakam
Country of Production Belgium
Language English
Subtitle  English

77 min, stereo, 16:9, HD, color, 2021

Tiga sutradara perempuan lintas negara dan lintas warna kulit menggugat diskriminasi ideologi dari kinerja kamera dalam produksi sinema. Percakapan melalui hubungan video dalam jaringan dijadikan pemicu bagi telaah-telaah visual yang lahir di Eropa, dan melanjutkan perjalananan kinerjanya ke tanah-tanah (bekas) jajahannya.

Three women directors across multiple countries and skin color contest the ideological discrimination of the camera’s mechanism in cinema productions. Online video conversations serve to ignite the series of visual analyses born in Europe, and to continue the mechanism’s journey to their (former) colonized lands. 

Tiga sutradara perempuan lintas negara dan lintas warna kulit menggugat diskriminasi ideologi dari kinerja kamera dalam produksi sinema. Percakapan melalui hubungan video dalam jaringan dijadikan pemicu bagi telaah-telaah visual yang lahir di Eropa, dan melanjutkan perjalananan kinerjanya ke tanah-tanah (bekas) jajahannya.

Three women directors across multiple countries and skin color contest the ideological discrimination of the camera’s mechanism in cinema productions. Online video conversations serve to ignite the series of visual analyses born in Europe, and to continue the mechanism’s journey to their (former) colonized lands. 

About the Host

Otty Widasari (Balikpapan, 1973) adalah seorang seniman, sutradara, pegiat media, salah satu pendiri Forum Lenteng, dan Direktur Program Pemberdayaan Media Berbasis Komunitas (AKUMASSA) Forum Lenteng. Lulusan Seni Murni, Institut Kesenian Jakarta, tahun 2013.

Otty Widasari (Balikpapan, 1973) is an artist, filmmaker, media activist, one of the founders of Forum Lenteng, and Director of Community-Based Media Empowerment Program (AKUMASSA) at Forum Lenteng. She graduated Fine Arts at the Institut Kesenian Jakarta in 2013.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Contact Us

We're not around right now. But you can send us an email and we'll get back to you, asap.

Not readable? Change text. captcha txt

Start typing and press Enter to search

X