Membingkai Penyakit Sosial
Framing Social Maladies

Host Hafiz Rancajale

Senin, 28 Nov 2022 – 13:00

Dalam kehidupan kita, ada hal-hal yang perlu diingat dan dituturkan kembali sebagai sebuah kenangan atau pengetahuan bagi orang lain dan generasi selanjutnya. Ingatan-ingatan itu bisa saja dituturkan secara naratif dan informatif, juga melalui kemasan yang memberikan makna baru pada sebuah kenangan di masa tertentu. Persoalan mengingat dan menuturkan kembali ini juga menjadi tantangan tersendiri, karena tiap individu mempunyai kemampuan mengingat dan berkomunikasi yang berbeda-beda. Batas ingatan dan tuturan yang disampaikan juga sering mengalami distorsi berlebihan, ataupun mengalami penyusutan hingga tak mampu dikeluarkan oleh individu-individu tertentu. Dalam sinema, jarak antara peristiwa, hingga aksi mengingat dan menuturkan kembali adalah potensi filemis yang dapat dieksplorasi oleh sutradara dalam memasukkan muatan subjektifnya dalam filem. 

Dua filem yang ditampilkan dalam sesi ini mencoba menganalogikan persoalan ingatan-ingatan melalui simbol objek yang mempunyai kedekatan dengan masyarakat kontemporer. Pada filem pertama, Broca’s Aphasia (2022) karya Ming-Yen Su, mengajak kita mengikuti dan mengalami sekelompok orang bisnis penyewaan boneka seks di sebuah hotel di Taiwan. Boneka-boneka itu bertemu dan menjadi “perekam” rahasia-rahasia para pelanggannya. Mereka menjadi saksi dan tempat menerima berbagai keresahan para lelaki perkotaan yang kesepian, namun tak dapat mengungkapkan atau menuturkan kembali apa yang “terekam” itu kepada orang lain. Mereka adalah penjaga rahasia yang sesungguhnya. Dalam dunia medis istilah ‘broca aphasia’ adalah sebuah gejala neurotik dalam berkomunikasi, di mana penderita mengalami kesulitan menyampaikan atau mengutarakan sesuatu. Beberapa ahli mengatakan penyebabnya adalah kerusakan bagian otak atau kelainan genetis bawaan. Dalam filem ini tentu saja istilah itu dipakai sebagai sebuah analogi yang metaforis tentang penyakit sosial yang disampaikan secara prosaik dalam filem; bahwa boneka-boneka seks itu menjadi saksi sesungguh peristiwa-peristiwa besar yang terjadi pada satu masyarakat yang tak bisa dibongkar. 

Filem kedua, Sedap Malam/Agave Amica (2022) karya Gembong Nusantara, sebuah filem yang berhasil membingkai peristiwa besar menjadi puisi visual yang indah. Filem ini merekam persoalan pandemi Covid-19 dengan perspektif sangat intim dan penuh makna kemanusiaan yang jenial. Sang sutradara mengikuti perjalanan distribusi bunga sedap malam dari petani hingga ke kota, yang dijukstaposisikan dengan aktivitas pemakaman korban-korban pandemi. Filem ini berhasil menjadikan bunga sebagai “narator tak bersuara” dalam menarasikan persoalan yang sangat kompleks dari persoalan kemanusiaan di masa pandemi. 

Sinema akan selalu mencari cara untuk “menuturkan” hal-hal yang tak tersampaikan dari kesakitan sosial yang diderita sebuah masyarakat dengan caranya sendiri. Dalam sejarah, filem telah membuka berbagai tabir rahasia yang tersimpan karena kesakitan sosial itu. Meskipun pahit, ingatan yang disampaikan sinema akan selalu memberikan refleksi yang menggugah kita untuk berbuat lebih baik pada peradaban ini.

In life, there are things that need to be remembered and retold as a memory or knowledge for other people and the next generation. The memories can be told in a narrative and informative manner, also through a framing that gives new meaning to a memory at a certain time. The problem of remembering and retelling is also a challenge in itself, because each individual has different recall and communication skills. The limits of memory and speech conveyed are also often distorted too much, or shrinking to the point that certain individuals are unable to extract them. In cinema, the distance between events up until the act of remembering and retelling is a filmic potential that can be explored by the director in including his subjective material in the film.

The two films presented in this program attempt to analogize the problem of memories through object symbols containing a certain affinity with contemporary society. The first film, Broca’s Aphasia (2022) by Ming-Yen Su, invites us to follow and experience a group of people in the sex doll rental business at a hotel in Taiwan. The dolls meet and become “recorders” of their customers’ secrets. They become witnesses and a place to release the various concerns of lonely urban men, but it can’t express or retell what is “recorded” to others. They are the true keeper of secrets. In the medical field, the term ‘broca aphasia’ is a neurotic symptom in communication, in which sufferers have difficulty conveying or expressing something. Some experts say the causes are brain damage or inherited genetic disorders. In this film, of course, the term is used as a metaphorical analogy about social maladies conveyed prosaically in the film; that the sex dolls bear witness to major events happening in a society that can’t be uncovered.

The second film, Sedap Malam/Agave Amica (2022) by Gembong Nusantara, succeeds in framing a major event into a beautiful visual poem. This film records the problem of the COVID-19 pandemic with a very intimate perspective, full of genial and humane meaning. The director follows the tuberose flower sales distribution scheme from farmers to the city, which is juxtaposed with funeral activities for the victims of the pandemic. This film manages to turn tuberose flowers into “a voiceless narrator” in narrating such complex issues of humanity during the pandemic.

Cinema, in its own style, will always look for ways to “tell” things that can’t be conveyed from the social maladies suffered by society. In history, film has uncovered various secrets that are kept due to the social maladies in question. However bitter, the memories conveyed by cinema will always provide reflections that animate us to do better for this civilization.