In ARKIPEL 2019 - bromocorah, Candrawala

Feedback
Umpan Balik

Curator: Dhuha Ramadhani

Saturday, August 24, 2019 | 19:00 | GoetheHaus

Tak sukar memalingkan wajah dari situasi sosial-politik kita, semudah menggulirkan layar ketika menemui konten-konten yang tak sesuai selera, begitu saja. Meski seberapa pun kita mengabaikannya, konten-konten yang sengaja kita lewatkan tetap saja bersirkulasi di sekitar kita. Item-item digital ini bergerak, mulai dari ruang yang paling publik sampai yang paling privat dalam berbagai bilik komunikasi yang termediasi internet. Namun, ke mana perginya mereka setelah kita abaikan? Adakah mereka menyisakan jejak-jejak di memori kita dan secara tak sengaja muncul begitu saja dalam proses komunikasi yang tak termediasi internet? Tradisi lisan, “dari mulut ke mulut”, yang ada dalam keseharian kita, seakan mendapat “saluran” terbaiknya atas kehadiran internet: hasrat berbagi (sharing).

Keinginan kita untuk memalingkan wajah dari konten-konten dengan muatan tertentu, pada tingkat tertentu, menjadi sukar dilakukan. Konten-konten yang tampaknya tersebar acak dan berserakan tersebut lama-kelamaan memperlihatkan kesamaan ciri dalam muatan, bentuk, bahkan sikap (mungkin politis) yang dikandungnya. Sirkulasi yang cepat tak membuat konten-konten ini lekas terlupakan atau punah sama sekali; justru ia beradaptasi melalui beragam cara dan terus-menerus direproduksi. Sampai pada akhirnya konten-konten ini mempunyai kemampuan kehadiran yang multi-dimensional — di tataran yang lebih luas, ia mampu membentuk pola pikir, perilaku, dan aksi suatu kelompok sosial. Konten-konten ini keluar dari ruang hampa nilai dan memperlihatkan keberpihakannya. Semakin lama ia bertahan dalam sirkulasi, kita dapat menduga, jika bukan karena kemampuan adaptasinya yang semakin canggih, boleh jadi keberadaannya itulah yang begitu relevan dengan konteks sosiokultural kita saat ini. Dengan tidak melihatnya sebagai unit kultural tunggal, sejumlah teks, gambar, video, bahkan audio yang kerap berserakan dan kita abaikan itu agaknya dapat merefleksikan wacana publik yang penting. Jelas mereka merepresentasikan “suara” dan “perspektif yang beragam” akan banyak hal, dan bukannya hadir tanpa tujuan.

Delapan filem yang dipilih ke dalam kurasi Candrawala tahun ini, setidaknya — dari konteks latar belakang, metode produksi, dan pilihan bahasa visualnya — mengindikasikan fenomena bagaimana unit-unit selain “konten media” juga mengalami gejala serupa, di mana sirkulasinya yang terarah ketimbang organik itu (sebagaimana yang tampak atau kita duga selama ini) merupakan apa yang sebenarnya kita hadapi sehari-hari. Replikasi ide, ketakutan, ujaran, slogan, narasi, memori, pengalaman, peristiwa — yang beradaptasi dan diadaptasi secara evolusioner di sepanjang kehidupan manusia — pada akhirnya menentukan sudut pandang subjek-subjek, termasuk subjek-subjek kreatif, dalam membingkai beragam persoalan yang sengaja dipertentangkan ataupun diselaraskan dengan apa yang dominan ataupun subordinat.

Melalui Adegan Yang Hilang dari Petrus (2019), tanpa bermaksud menyederhanakan kompleksitas persoalannya, kita disajikan latar belakang sejarah yang mendahului sejumlah situasi dan kondisi dalam atmosfer sosial-politik hari ini.  The Nameless Boy (2017) menjadi contoh teraktual tentang bagaimana proses replikasi sudut pandang akan persoalan berlangsung dan tidak hanya akan berdampak pada situasi hari ini melainkan juga memungkinkan di masa yang akan datang.  Topo Pendem / Merged with The Ground (2018), Gowok The Ins and Outs of A Woman’s Body (2018), dan Blues Sides on the Blue Sky (2018) menjadi percontoh ketika persoalan yang naik ke permukaan pada dasarnya bukanlah persoalan yang pokok dalam keseharian kita. Bahwa dalam sirkulasi teks, gambar, video bahkan audio dan percakapan kita sehari-hari rupanya tidak menyentuh persoalan-persoalan mendasar yang riil. Ia justru menghantarkan kepentingan-kepentingan politis yang lebih dekat ke persoalan politik elektoral.

Fade Out (2019) dengan gamblang melancarkan kritiknya pada hal-hal yang mendasari tersendatnya kultur kritisisme di masyarakat kita ketika cara pandang tertentu dibatasi diskursusnya. Meski tidak menyinggung secara langsung dan tidak berusaha menggambarkan latar sosial-politik tokohnya, Woo Woo / Or the Silence That Kills You and Me (2019) justru memperlihatkan pada kita bagaimana keterasingan seseorang dari manusia lain, dunia sosial, sudut-sudut pandang dan barangkali pilihan-pilihan alternatif berakhir pada sesuatu yang tidak konstruktif. Menyerahkan kerja perekaman pada seekor burung dara balap, Sapu Angin / Windswept (2017) menyediakan ruang reflektif antara kita sebagai subjek yang menonton dan dunia sosial yang tersaji dalam bingkaian si sutradara. Ia turut memberikan gambaran tentang kondisi carut-marut yang terefleksi bahkan dari sesuatu yang nampaknya tertata. Sebaliknya, juga menunjukan adanya keputusan-keputusan yang mendahului penggambaran yang carut-marut tersebut. Melaluinya kita dapat membayangkan proses kerja sebuah pembentukan cara pandang ataupun narasi akan situasi dan kondisi tertentu.

It is not difficult to look away from our socio-political situation; it’s as easy as rolling the screen when we face contents unsuitable with our taste as such. Though we ignore them, they still circulate us. These digital items move from the most public spaces to the most private in various internet-mediated communication pools. However, where are they going? Do they leave traces in our memory and presumably emerge in the world wherein communication occurs without the internet? Human oral customs or word of mouth transmission seemly get its best modes, thanks to the internet, to unleash our main desire: to share.

Consequently, to some extent, it’s hard to turn away from some contents which have certain substances. These contents, which seems like they’re spreading randomly, show similarity to each other over time in their substance, form, even their attitude. The rapid circulation won’t make them extinct; they can adapt in many ways and are even reproduced constantly until they reach an ability to present themselves multi-dimensionally – in a higher level they can determine the mindset, behavior, and action of social groups. They come out of a vacuum of value and shows their partiality. We can argue that the longer those contents stay in the circulation, so to speak, the more relevant they would be to our current socio-cultural context, and it’s not only because of its increasingly sophisticated adaptability. By not seeing them as a single unit of culture, such scattered contents as texts, images, audios, and moving images reflect an important public discourse. It is apparent that they represent “voices” and “diverse perspectives” of many things rather than being present without purpose.

Eight films selected in Candrawala curatorial this year, at least —based on their background of context, method of production, and visual language choices— indicates the phenomenon of how units other than “media content” also experience similar symptoms. Such units have a directed circulation, rather than an organic one (as seemed or thought of all this time); that’s what we actually face every day. The replication of ideas, fears, speeches, catch-phrases, narratives, memories, experiences and events —those which evolutionarily adapt and are adapted throughout human life— ultimately determine the point of view of subjects, including creative subjects, in framing a variety of issues that are deliberately contradicted to or aligned with what is dominant or subordinate.

Through Adegan Yang Hilang Dari Petrus (2019), without intending to simplify the complexity of the problem, the film features the historical background that precedes some situation and condition in the socio-political sphere today. The Nameless Boy (2017) is the most actual example of how replication of perspectives on a problem occurs, and it impacts not only the situation today but possibly the future, too. Topo Pendem / Merged with The Ground (2018), Gowok The Ins and Outs of A Woman’s Body (2018), and Blues Sides on the Blue Sky (2018) are the examples of when the problems that emerge to the surface are not the main problem in our daily life. That within the circulation of contents, such as text, visual, video, even audio, and our everyday conversation doesn’t touch the actual fundamental problems. Instead, it delivers political interests that belong more to the affairs of electoral politics.

Fade Out (2019) explicitly unleashes its criticism to some matters obstructing the culture of criticism in our society, that limits the discourse on a certain way of seeing. Although it doesn’t directly address or depict the socio-political background of its character, Woo Woo / Or the Silence That Kills You and Me (2019) shows us how the alienation of an individual from other individuals, the social world, perspectives, and alternatives choices would end up being unconstructive. Handing out the recording mechanism to a racing pigeon, Sapu Angin/Windswept (2017) provides us a reflective space between us, as the spectator, and the social world captured in the frame of the director. It also gives us the depiction of a chaotic condition reflected even from something that seems orderly. In contrast, it also shows the decisions that precede that depiction of chaos. Through it, we can imagine how the formation of perspective occurs regarding a particular situation and condition.

Film List

Adegan Yang Hilang dari Petrus draft #4

Filmmaker Arief Budiman (Indonesia)
International Title  Adegan Yang Hilang dari Petrus draft #4
Country of Production Indonesia
Language  Javanese & Indonesian
Subtitle  English

5 min, stereo, HD, color, 2019

Dalam filem ini, Arief Budiman mengangkat proses yang mendahului Peristiwa Lapangan Banteng. Tokoh dalam filem berkisah tentang perjalanan dirinya bersama Kelompok Fajar Menyingsing (KFM) menuju Jakarta dari Semarang pada tahun 1982. Lebih jauh, Arief mempersoalkan kembali peristiwa Petrus di tahun 1980-an ketika pemerintah dan elit politik menggunakan ketakutan sebagai instrumen kontrol masyarakat. Menggunakan sumber-sumber foto dan narasi yang tersebar di internet, filem Adegan Yang Hilang Dari Petrus mengeksplorasi pembuatan filem tanpa menggunakan kamera.

In this film, Arief Budiman raises a process preceding the Lapangan Banteng incident. The figure in this film narrates his journey with Kelompok Fajar Menyingsing (KFM), heading to Jakarta from Semarang, in 1982. Furthermore, Arief re-problematizes the Petrus killings that occurred in the 1980s when the government and political elites used fear as the instrument to control society. By using photographs and narratives scattered on the internet as his its sources, Adegan Yang Hilang Dari Petrus sexplores a camera-less filmmaking process. 

Arief Budiman adalah seniman kelahiran Depok yang kini menjalani studi mengenai sinema di Yogyakarta. Arief menggunakan gambar bergerak sebagai medium utama karyanya. Di samping melakukan eksplorasi bentuk secara spontan dan intuitif, ia juga membahas isu tentang gaya hidup atau perilaku masyarakat terkini dan pengaruh Internet. Ia aktif di Piring Tirbing, sebuah kelompok produksi dan pengembangan konten audio visual. Selain itu ia ikut mengurus program Video Battle dan Cafe Society Cinema di Ruang Mes 56.

Arief Budiman is a Depok-born artist who is now studying cinema in Yogyakarta. Arief used moving images as the primary medium of his work. In addition to exploring forms spontaneously and intuitively, he also discusses issues about current lifestyle or community behavior and the influence of the Internet. He is active in Piring Tirbing, a group that produces and develops audio-visual content. Also, he took care of the Video Battle program and Cafe Society Cinema in Ruang Mes 56.

The Nameless Boy

Filmmaker Diego Batara Mahameru (Indonesia)
International Title  The Nameless Boy
Country of Production Indonesia
Language  Indonesian
Subtitle  English

5 min 17 sec, stereo, digital, color, 2017

Ciri fisik dan faktor biologis telah lama kehilangan relevansinya untuk memahami mengapa seseorang menjadi pelaku penyimpangan atau kejahatan. Sejumlah kriminolog meyakini bahwa perilaku itu adalah sesuatu yang dipelajari secara sosial, sejumlah lain menekankan pada proses pewacanaan yang dilakukan agen-agen tertentu untuk mempertahankan ideologi bahwa kejahatan adalah realitas yang konkret. Relasi hierarkis memungkinkan sebagian agen menggunakan kekuatannya untuk membentuk wacana dominan tentang kejahatan: hukum, produksi dan reproduksi ketakutan, dan pemberitaan bernarasi tunggal. The Nameless Boy, selain sebagai arsip peristiwa sebuah proses sosial, juga dapat digunakan untuk mengkaji bagaimana produksi sosial hari ini dapat mempengaruhi dunia sosial di masa depan.

Physical characteristic and biological factor have long lost its relevance to understand why someone becomes an offender or a deviant. Some criminologists believe that those behaviors are something studied socially, some others emphasize the discourse-making conducted by certain agents to defend an ideology that believes the crime as a concrete reality. Hierarchal relation allows some of the agents to use their power to shape the dominant discourse of crime: law, production, and reproduction of fear, and single narrative reporting. The Nameless Boy, besides as an archive of social occurrences, it can also be used to study how social production today could affect the social world in the future.

Diego Batara Mahameru adalah pembuat filem independen yang berbasis di Jakarta, Indonesia. Setelah lulus dari jurusan ilmu politik, Diego bekerja sebagai jurnalis video. Karirnya sebagai pembuat filem dimulai dengan film pendek berjudul Calon (2015), yang terpilih di beberapa festival filem termasuk Jogja-Netpac Asian Film Festival. Filemnya yang berjudul The Nameless Boy (2017) telah dipilih di beberapa festival filem internasional. Dia saat ini berpartisipasi dalam lokakarya filem atau program beasiswa, seperti ASEAN-ROK Film Leader Incubator: FLY. Saat ini, ia sedang belajar di Busan Asian Film School (AFIS).

Diego Batara Mahameru is an independent filmmaker based in Jakarta, Indonesia. After graduated in political science major, Diego worked as a video journalist. His career as a filmmaker starts with a short film titled Calon (2015), it was selected in several film festivals including Jogja-Netpac Asian Film Festival. His film The Nameless Boy (2017) has been selected in several international film festivals. He is currently participating in film workshops or fellowship program, such as ASEAN-ROK Film Leader Incubator: FLY. Currently, he is studying in Busan Asian Film School (AFIS).

Topo Pendem

Filmmaker Imam Syafi’i (Indonesia)
International Title  Merged with The Ground
Country of Production Indonesia
Language  Javanese
Subtitle  English

18 min 24 sec, stereo, digital, color, 2018

Laku topo pendem diyakini sebagai warisan Sunan Kalijaga, yakni seorang Wali yang kerap mengakulturasi budaya lokal dan Islam dalam berdakwah. Melalui aksi ini, dipercaya harapan kita akan dikabulkan Yang Maha Kuasa; umumnya kesehatan, keselamatan jiwa dan raga dari gangguan dan ancaman. Menokohkan seorang anak yang menyandang autisme, filem ini berkisah tentang usaha seorang bapak yang melakukan topo pendem demi anaknya. Dalam beberapa kasus, kondisi medis tertentu ditangani dengan cara ‘khas’ secara non-medis, bergantung pada budaya setempat – berlandaskan kepercayaan maupun keterbatasan pilihan. Topo Pendem membingkai ketidakberiringan sirkulasi masuknya pengetahuan dan produk massal di suatu wilayah yang terlanjur dianggap lumrah terjadi di Indonesia.

People believes that the act of topo pendem (merging with the ground) is a legacy from Sunan Kalijaga – a Wali (guardian) who often converge the local and Islamic culture in their preaching. Through this act, people believe that the Almighty will grant their pray; generally regarding health, safety of body and soul from any threat and intrusions. Capturing a child as an autistic figure, this film narrates the effort of a father who committed topo pendem for his son. In several cases, certain medical condition receives ‘typical’ non-medical treatment, depending on the local custom – based on a believe or the limited choices. Topo Pendem frames the unsynchronized circulation of the influx of knowledge and mass product in a certain location that already regarded as a habit in Indonesia.

Imam Syafi’i (Klaten, 22 April 1997) adalah seorang mahasiswa di Institut Kesenian Jakarta dan saat ini tinggal di Jawa Tengah, Indonesia. Ia kini aktif bergiat sebagai pembuat filem.

Imam Syafi’i (Klaten, 22 April 1997) is a student in the Jakarta Institute of the Arts and he lives in Central Java, Indonesia. He is currenly active as a filmmaker.

Gowok

Filmmaker Steve Masihoroe (Indonesia)
International Title  The Ins and Outs of A Woman’s Body
Country of Production Indonesia
Language  Indonesian
Subtitle  English

17 min 16 sec, stereo, digital, color, 2018

Kedatangan dan kuatnya pengaruh Islam menekan Pemerintah Hindia Belanda menghapus tradisi Gowok. Istilah Gowok merujuk pada perempuan yang berjasa dalam mempersiapkan lelaki sebelum menikah. Utamanya memastikan si lelaki mampu memperlakukan perempuan dengan baik — mental dan fisik. Pemilihan Gowok umumnya disepakati kedua keluarga calon mempelai. Berlatar persoalan tingginya angka perceraian yang terjadi di Indonesia, filem ini berusaha menghadirkan kembali tradisi yang telah lama hilang dalam situasi kontemporer hari ini. Melaluinya kita dapat melihat persoalan tubuh perempuan ketika ia dihadirkan dalam bingkai kamera dan bagaimana hal ini dapat kita telaah untuk memahami ketabuan dan pengaruhnya di masyarakat kita.

The arrival of Islamic influence and its strength pushed the Dutch East Indies government to erase the tradition of Gowok. As a term, Gowok refers to the women who render service to prepare men before marriage, primarily ensuring the man’s ability to treat a woman well – mentally and physically. Family of the groom and bride usually decide the Gowok. Putting the height of divorce rate in Indonesia as its background, this film tries to bring forth again the long-lost tradition within today’s situation. Through it, we can see the case of woman bodies when it is in the frame of the camera and how we can analyze this to understand taboo and its influence in our society.

Steve Masihoroe adalah sutradara filem pendek Ayo Kita Pulang, Closer dan Gowok yang telah diputar di berbagai festival filem. Ia belajar di Art Film School Yogyakarta dan di jurusan Komunikasi Universitas Mercu Buana Yogyakarta. Dia juga penasihat di Ruang Gelap – sebuah klub audiovisual dan produksi.

Steve Masihoroe is director of short films Ayo Kita Pulang, Closer and Gowok that have been screened in numerous film festivals. He studied at Art Film School Yogyakarta and in Communication Science of Mercu Buana University Yogyakarta. He is also the advisor in Ruang Gelap – an audiovisual club and production.

Blues Side on the Blue Sky

Filmmaker Rachmat Hidayat Mustamin (Indonesia)
International Title  Blues Side on the Blue Sky
Country of Production Indonesia
Language  Buginese
Subtitle  English

15 min 30 sec, stereo, digital, color, 2018

Ketidakpahaman masyarakat akan kondisi medis terkait jiwa membuat beberapa penyandangnya berakhir dipasung — demi ‘melindungi’ dirinya dan orang sekitar. Tak jarang kondisi tersebut dikaitkan dengan hal-hal supranatural, gaib, dan non-medis seperti kerasukan.  Mitos, dalam praktiknya, begitu kental mengalir dalam sebagian masyarakat kita dan ia cukup berperan dalam pengambilan keputusan-keputusan. Menggunakan sarung sebagai metafora, Rachmat berupaya menampilkan bagaimana seorang ibu berjuang demi anaknya dalam situasi yang demikian itu.

Society’s misunderstanding of mental medical condition makes some of its patients end up in shackle – to ‘protect’ themselves and the people around them. Often that condition will be linked to supernatural, mystical, and non-medical things such as being possessed. The myth, on its practice, flows thickly in most of our society and it plays an important role in decisions making. Using sarong as a metaphor, Rachmat tries to showcase how a mother must struggle for her child within such a difficult situation.

Rachmat Hidayat Mustamin adalah seorang sutradara filem, penulis, penyair, performer, dan seniman. Dia lulus dari Universiti Kebangsaan Malaysia pada tahun 2014. Sejak tahun 2017, ia menempuh pendidikan masternya di Program Penciptaan Film Pascasarjana, Institut Seni Indonesia Surakarta. Ia juga adalah seorang kontributor di Kinotika, sebuah komunitas yang mengorganisir pemutaran dan lokakarya filem, dan Direktur Program di Imitation Film Project, sebuah komunitas dan laboratorium filem yang berfokus dalam pembuatan program dan filem alternatif, keduanya berbasis di Makassar, Sulawesi Selatan. Filem-filem pendeknya antara lain Ziarah (2015), A Tree Growing Inside My Head (2016), dan The End (2016). Filem pendeknya yang terakhir Blues Side on The Blue Sky (2018) pernah diputarkan di Akademi ARKIPEL 2018. Dia juga telah menerbitkan sejumlah buku, antara lain Hujan Bakawali Di Rumah Tuhan (Rumah Ripta, 2018) – Anthology, Origins: A Bilingual Anthology of Indonesian Writing (Bitread, 2017) – Anthology, Kesibukan Mencatat Bayangan Di Dalam Rumah (Selfpublishing, 2017), Merelakan Diri Terbakar  (Indie Book Corner, 2017) – Poetry Collection , dan Benang Ingatan (Indie Book Corner, 2016) – Anthology.


*Terdapat kesalahan dalam katalog cetak ARKIPEL bromocorah 2019, biodata yang tercantum di dalamnya adalah biodata produser dari filem ini 

Rachmat Hidayat Mustamin is a film director, writer, poet, performer and artist. He graduated from National University Of Malaysia in 2014. Since 2017 he has taken his master’s at the Indonesia Institute of The Arts Surakarta (Masters in filmmaking). He is also a contributor in Kinotika, a community is organising film screening and workshops, and Program Director at Imitation Film Project, a community and mini creative film development lab that focuses on the making of alternative programs and films, both based in Makassar, South Sulawesi. His short films include Ziarah(Pilgrimage) (2015), A Tree Growing Inside My Head (2016), and The End (2016). His last short film Blues Side on The Blue Sky (2018) has been screened at Akademi ARKIPEL 2018. He has also published a number of books such as Hujan Bakawali Di Rumah Tuhan (Rumah Ripta, 2018) – Anthology, Origins: A Bilingual Anthology of Indonesian Writing (Bitread, 2017) – Anthology, Kesibukan Mencatat Bayangan Di Dalam Rumah (Selfpublishing, 2017), Merelakan Diri Terbakar (Indie Book Corner, 2017) – Poetry Collection, and Benang Ingatan (Indie Book Corner, 2016) – Anthology.


*There is a mistake in the printed catalog of ARKIPEL bromocorah, the biograpy written is the producer’s biography

Fade Out

Filmmaker Achmad Rezi Fahlevie (Indonesia)
International Title  Fade Out
Country of Production Indonesia
Language  Indonesian
Subtitle  English

8 min 4 sec, stereo, digital, color, 2019

Tanpa berbasa-basi, filem ini mempersoalkan pelarangan cara berpikir tertentu dalam lingkungan yang diharapkan mampu melatih anak manusia dapat berpikir rasional dan kritis. Lebih dari 50 tahun, ia terus dimapankan melalui cara-cara formal, informal, maupun nonformal. Kurikulum diambil sebagai salah satu percontoh untuk memperlihatkan bagaimana rezim kebenaran tertentu dipertahankan melalui pengetahuan. Hal mana, pengetahuan barang tentu memiliki efek kuasa – yang melalui itulah kekuasan teraktualisasikan. Fade Out, dengan begitu gamblang, turut menyajikan bagaimana cara berpikir itu sebenarnya tetap hadir. Namun, kehadirannya yang hanya di ruang privat — bukan ruang publik — sekaligus juga menjadi gambaran mengapa rezim kebenaran tertentu tetap bertahan.

This film problematizes restriction on a certain way of thinking in an environment that is expected able to educate the human to think rationally and critically. More than 50 years, it gets more established through formal, informal, and nonformal ways. The curriculum is a sample showing how knowledge maintains a particular regime of truth. The knowledge surely has the effect of power – which through it, actualization of power occurs. Fade Out explicitly presents how that way of thinking remains exist. But the presence is only in private space – not in public space – and it becomes a depiction of why a certain regime of truth survives.

Achmad Rezi Fahlevie (Kendawangan, 11 Juli 1996) adalah seorang pembuat filem dari Yogyakarta. Filem-filemnya telah diputar di berbagai festival filem nasional dan internasional.

Achmad Rezi Fahlevie (Kendawangan, 11 July 1996) is a filmmaker from Yogyakarta. His films have been screened in national and international film festivals.

Woo Woo

Filmmaker Ismail Basbeth (Indonesia)
International Title  Or the Silence That Kills You and Me
Country of Production Indonesia
Language  
Subtitle  

13 min 41 sec, stereo, digital, color, 2019

Kesendirian yang menjadi semacam penyakit manusia modern, khususnya masyarakat urban, menjadi topik yang coba dibongkar oleh Woo Woo. Filem yang adalah adaptasi sebuah lagu dari band Sore ini bahkan tak menyinggung alasan-alasan – spiritual maupun ideologis – yang melatari aksi bom bunuh diri tokohnya. Meski mencoba tak terikat konteks sosial maupun politik, namun melaluinya kita dapat menelaah prakondisi yang memungkinkan terjadinya alienasi pada diri seseorang, baik dari manusia lain maupun dunia sosial. Plot disusun linier dengan kamera handheld yang apa adanya, Basbeth agaknya menyerahkan narasi filem pada interpretasi personal penontonnya.

Woo Woo attempts to unfold the topic of solitariness that has became a kind of modern human disease, especially in urban society. The film, which is an adaptation from a song by Sore band, doesn’t feature the reasons – both spiritually or ideologically – that drives its character to commit a suicide bombing. Even though the film tries not to be limited by a certain social or political context, but we can examine the preconditions that enable an alienation happens to an individual, both from other individuals or social world. The visuals from handheld camera compose its linear plot, it seems that Basbeth hand over the narrative of his film to the interpretation of the film’s audience.

Ismail Basbeth (Wonosobo, 1985) adalah seorang sutradara dan seniman visual Indonesia yang juga adalah lulusan Berlinale Talent Campus di Jerman dan Asian Film Academy di Korea Selatan – di sana, ia berhasil mendapat Beasiswa BFC & SHOCS. Sejak tahun 2008, ia telah memproduseri dan menyutradarai berbagai filem pendek maupun filem panjang yang tampil dalam berbagai festival nasional maupun internasional. Ia merupakan produser dan salah satu pendiri Matta Cinema dan Bosan Berisik Lab.

Ismail Basbeth (Wonosobo, 1985) is a self-taught Indonesian filmmaker and visual artist, alumni of Berlinale Talent Campus in Germany and Asian Film Academy in South Korea where he won the BFC & SHOCS Scholarship Fund. Since 2008, he had produced and directed various short and feature films which have been highlighted in prestigious national and international film festivals. He is a producer and co-founder of Matta Cinema and Bosan Berisik Lab.

Sapu Angin

Filmmaker Cahyo Prayogo (Indonesia)
International Title  Windswept
Country of Production Indonesia
Language  
Subtitle  

5 min 19 sec, HD, color, 2017

Merekam masifnya ekspansi properti di pinggiran kota Surabaya. Ketimbang menyusun gambar-gambar secara konvensional, Sapu Angin memberikan tawaran pada kita dengan bahasa visualnya yang sama sekali lain dari kecenderungan tersebut. Melihat persoalan di suatu lokasi dengan menyerahkan kerja mekanik kamera pada seekor burung dara balap. Keputusan sutradara ini justru memberikan kita peluang pembacaan yang lebih luas dari sekadar isu-isu pembangunan. Ia turut memberikan gambaran tentang kondisi carut-marut yang terefleksi bahkan dari sesuatu yang nampaknya tertata.

The film records the massive expansion of property in the suburb of Surabaya. Instead of composing images conventionally, Sapu Angin offers us a completely different visual language from that tendency. The film looks at a problem in a location by handing over the mechanical work of the camera to a racing pigeon. This director’s decision gives us the opportunity for a broader interpretation than merely a problem of development. It allows us to offer a depiction of the chaotic situation reflected even from something that seems orderly.

Cahyo Wulan Prayogo adalah seniman yang berbasis di Surabaya, Indonesia. Anggota Kinetik, sebuah komunitas yang fokus pada kegiatan seni dan sinema. Ia aktif membuat karya gambar bergerak menggunakan medium video sejak keterlibatannya pada program AKUMASSA Forum Lenteng. Sapu Angin merupakan salah satu output dari riset panjangnya mengenai fenomena “adu doro” di kotanya berada.

Cahyo Wulan Prayogo is an artist based in Surabaya, Indonesia. Member of Kinetik, a collective that focuses on arts and cinema activities. He has been active in making moving image works using video since his involvement in the Forum Lenteng’s AKUMASSA program. Sapu Angin is one of his films based on his long research on the phenomenon of “adu doro” (‘pigeon contest’) in his city.

About the Curator

Dhuha Ramadhani (lahir 23 Februari 1995, di Jakarta) adalah pembuat film dan kurator. Menyelesaikan pendidikan sarjana di Departemen Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Anggota Forum Lenteng, aktif sebagai salah satu peserta program AKUMASSA. Sekarang, dia juga seorang peserta dalam Milisifilem Collective. Sejak 2018, ia adalah kurator program Candrawala di ARKIPEL – Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival. Pada Juli 2019 ia mempresentasikan kuratorialnya di Asia Forum 3 untuk EXiS – Experimental Film and Video Festival 2019, Seoul, Korea Selatan. Film-film terbarunya adalah Jakarta Unfair (2016) dan Into The Dark (2018).

Dhuha Ramadhani (b. February 23, 1995, in Jakarta) is a filmmaker and curator. Completed undergraduate education at the Department of Criminology, Faculty of Social and Political Sciences, University of Indonesia. Member of the Forum Lenteng, active as one of the AKUMASSA program participants. Now, he is also a participant in the Milisifilem Collective. Since 2018, he is the curator of Candrawala program at ARKIPEL – Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival. On July 2019 he presented his curatorial on Asia Forum 3 for EXiS – Experimental Film and Video Festival 2019, Seoul, South Korea. His latest films are Jakarta Unfair (2016) and Into The Dark (2018).

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Contact Us

We're not around right now. But you can send us an email and we'll get back to you, asap.

Not readable? Change text. captcha txt

Start typing and press Enter to search

X