In ARKIPEL 2019 - bromocorah, Event Coverage, Forum Festival
Bahasa Indonesia

Komunitas Filem dan Tantangan Pelaku Komunitas di Era Digital

Selasa (20/8) menjadi hari terakhir Forum Festival ARKIPEL bromocorah – 7th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival. Panel 5 yang terselenggara di GoetheHaus, Goethe-Institut Jakarta, ini membahas mengenai “Redefinisi Komunitas di Era Digital”. Panel terakhir tersebut mengundang tiga orang pembicara, yaitu Taufiqurrahman sebagai seniman dan ilustrator, Gorivana Ageza (Echa) sebagai anggota komunitas bahasinema, dan Rosalia Engchuan sebagai antropolog dan sutradara. Dini Adanurani hadir sebagai moderator pada sesi ini.

Kesempatan pertama diberikan kepada Taufiqurrahman – atau Ufik – yang membahas tentang komunitas yang ia kelola, yaitu Forum Sudutpandang yang berbasis di Palu. Ufik menceritakan bagaimana awal komunitasnya terbentuk melalui perkenalannya dengan seniman lainnya melalui direct message (DM) Instagram. Dari situlah Forum Sudutpandang berdiri dan mulai membuat berbagai program yang di antaranya adalah Piknikan, MULOK, #KAMISUKAGAMBAR, Klub Penonton, dan Pasarsalesale yang diwujudkan dalam bentuk gigs musik, menonton bersama, hingga mengadakan pasar kaget. 

Setelah Ufik menyelesaikan presentasinya, Rosalia kemudian melanjutkan diskusi dengan membahas riset yang ia lakukan di Indonesia mengenai komunits filem. Rosalia melihat bahwa komunitas filem Indonesia seperti Rizoma atau rimpang. Ia memiliki jaringan yang kompleks dengan keanggotaan yang cair yang terikat dengan sistem yang saling berhubungan. Hubungan antar jaringan tersebut bertambah ketika internet mulai masuk ke masyarakat dan memungkinkan akses terhadap informasi lebih leluasa. ”Semakin banyak orang yang bisa belajar tentang filem dan mengakses peralatan pembuatan filem. Pengetahuan dan peralatan ini didiseminasikan lewat berbagai lokakarya. Dan sekarang, untuk membuat filem di luar Jakarta ataupun sekolah seni sangat dimungkinkan di seluruh Indonesia,” jelasnya.

Salah satu alasan pula mengapa komunitas filem Indonesia bisa menjamur dan jumlahnya semakin tak terhitung ialah karena semangat gotong royong yang ada di masyarakat Indonesia. Menurut penelitiannya, semangat gotong royong merupakan semangat saling tolong menolong tanpa mengharap balasan. Selama mereka senang, mereka akan terus membantu teman-teman mereka. Rosalia juga menambahkan mengenai semangat gotong royong kontemporer di mana gotong royong merupakan pilihan untuk melawan kapitalisme dan modernisme yang mulai masuk ke masyarakat.

Ia juga membeberkan beberapa dampak negatif teknologi yang mempengaruhi gotong royong. Karena ketika teknologi itu masuk, semangat gotong royong perlahan mulai luntur dan hal tersebut berdampak pada frekeuensi pertemuan antar anggota. “Digital itu pengakselerasi keterhubungan. Ia memungkinkan pembuatan filem menjadi proses yang mudah untuk semua orang. Group WhatsApp amd Instagram kerap digunakan untuk menghubungkan dan mengelola. Keterhubungan dan kerja pengorganisiran bersama hadir – terutama pada kehidupan nyata. Sehingga hasilnya bukanlah kehidupan yang terisolasi; ini adalah sebuah kehidupan sosial.” Pungkasnya.

Paparan terakhir ialah oleh Echa sebagai anggota dari komunitas bahasinema. Pada presentasinya, Echa mengemukakan kekhawatirannya akan teknologi yang menyusup di keseharian masyarakat. Kekhawatiran tersebut di antaranya adalah kesulitan dalam membagi waktu untuk berkegiatan luring maupun daring. Karena fokus bahasinema adalah kajian, Echa mengaku menghadapi kebingungan mengenai publikasi tulisan. Karena era digital yang berjalan sangat cepat serta tuntutan masyarakat yang menginginkan informasi yang cepat, Echa menemukan dilema untuk memilih mengerjakan tulisan secara segera namun tidak mendalam atau menulis secara reflektif namun memakan lebih banyak waktu. “Mana yang harus kami prioritaskan: kesegeraan/kecepatan, atau refleksi? Karena keduanya memiliki tendensi yang berbeda. Semacam pertanyaan ‘apakah mungkin ada refleksi yang cepat-saji?’ Bagaimana mengawinkan kedalaman dengan kesegeraan? Kecepatan yang ditawarkan oleh dunia digital juga membawa konsekuensi lain yakni kesementaraan.”  ujarnya.

Setelah Echa menyelesaikan presentasinya, suasana diskusi berjalan dengan sangat hidup dan ramai. Beberapa audiens menanyakan pertanyaan, dan terdapat sebagaian dari mereka yang menanggapi presentasi dari ketiga pembicara. Scott Miller Berry yang berprofesi sebagai aktivis kebudayaan mengajukan pertanyaan mengenai usaha-usaha yang dilakukan oleh komunitas dalam menghadapi perkembangan teknologi dan hal apa yang ingin diubah oleh pelaku komunitas.

Ufik menanggapi pertanyaan Scott bahwa internet digunakan Forum Sudutpandang sebagai penyebaran informasi yang seluas-luasnya. Ufik di komunitasnya juga berinisiatif untuk mengumpulkan kontak dari peserta yang datang ke acara Forum Sudut Pandang dan kemudian membuatkan grup WhatsApp agar penyebaran informasi acara bisa tersebar dengan lebih terarah sesuai dengan target hadirin.

Salah satu tanggapan menarik juga terlontar dari Irwan Ahmett  yang berprofesi sebagai seniman. Irwan bilang bahwa komunitas filem Indonesia bertumbuh dengan sangat cepat dan liar. Asumsi yang dilontarkan Irwan ialah bahwa komunitas itu sendiri adalah bromocorah yang berkeliaran dalam dunia yang ia pikir penuh dengan tanda tanya. 

English

Film Community and Challenges of Community Activist in Digital Era

Tuesday (20/8) is the last day of Forum Festival of ARKIPEL bromocorah – 7th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival. Panel 5 was held in GoetheHaus, Goethe-Institut Jakarta, discussing “Community Redefinition in The Digital Era.” The panel invited three speakers, Taufiqurrahman as artist and illustrator, Gorivana Ageza (Echa) as the member of bahasinema community, and Rosalia Engchuan as anthropologist and film director. The moderator in this panel was Dini Adanurani.

The first speaker was Taufiqurrahman – or Ufik – who talked about the community he organized named Forum Sudutpandang based in Palu. Ufik told the beginning of how this community was formed through his encounter with other artists through Instagram Direct Message (DM). From that encounter, Forum Sudutpandang was established, and it started various programs such as Piknikan, MULOK, #KAMISUKAGAMBAR, Klub Penonton, and Pasarsalesale as music gigs, watching a film together, up to organizing the spontaneous market.

After Ufik finished his presentation, Rosalia continued the discussion by presenting her research in Indonesia in the film community. Rosalia saw that film community in Indonesia is like a rhizome. It has such complex tissues with fluid affiliation bound within the interconnected systems. The connection between networks grows when the internet is present within society and allow more access to information. ”More people could learn about film and access to filmmaking equipment. This knowledge and equipment were disseminated through workshops. And now making a film was now possible outside of the Jakarta based art school circles, all around Indonesia,” she explained.

One of the reasons for the mushrooming of the Indonesian film community, growing even more countless is because of the gotong royong spirit as the nature of Indonesian society. According to her research, gotong royong is helping each other without expecting something in return. As long as they are happy, they will continue to help. Rosalia also added on contemporary gotong royong where it is a choice to stand up to capitalism and modernism that seep into the society.

She also unfolded several adverse effects of technology affecting gotong royong. Due to its presence, the spirit of gotong royong starts fading, and that affects the frequency of meetings of the members. “Digital is a connection accelerator. It makes filmmaking easier for more people. WhatsApp groups and Instagram are used to connect and organize. To connect and organize to come together – in real life. So the result is not a more isolated life; it is a social life,” she concluded.

The last presentation was by Echa, a member of bahasinema. She raised her concerns on technology that seeps into the everyday life of society. Among those concerns was the difficulty of managing the time to organize online and offline activities. Bahasinema focuses on reviews, so Echa admitted her confusion on publication. Because of the fast-moving digital era and the demands of people on fast information, Echa found herself in the dilemma of choosing to write fast but not profound, or write more reflectively but takes more time. “Which should we prioritize: speed or depth? Both have different tendencies. A sort of question, ‘is there a fast way to present such reflection? How to integrate speed and depth? The fastness offered by the digital era brings another consequence: temporariness.”

After Echa finished her presentation, the atmosphere of the discussion went very lively. Some of the audience asked questions and responded to the presentations of the speakers. Scott Miller Berry, a cultural activist, asked about the efforts by communities to face technological advance and what the speakers as community activists would like to change.

Ufik responded to the question by stating that the internet is utilized by Forum Sudutpandang as the propagation of information as full as possible. Ufik in his community also gathered contacts from Forum Sudutpandang events participants and created WhatsApp groups to help in the spreading of information in a more directed manner accordant to the audience target.

One of the interesting responses also came from Irwan Ahmett, an artist. Irwan stated that Indonesian film community grows rapidly and wildly. His assumption was that community is a bromocorah roaming in a world that, he thought, is full of obscurity.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Contact Us

We're not around right now. But you can send us an email and we'll get back to you, asap.

Not readable? Change text. captcha txt

Start typing and press Enter to search

X