In ARKIPEL 2021 - Twilight Zone, Event Coverage, Festival Program, Festival Stories, Festival Updates, Film Screening Reviews, Special Presentation
Bahasa Indonesia

Tekstur-Tekstur Asing di Permukaan Ruang

Menonton Permukaan Tak Acuh, Gerakan Pendulum adalah pengalaman merasakan berbagai tekstur permukaan dari benda-benda asing yang secara konstan bergerak mengitari tubuh. Program berisikan 4 filem yang dikuratori Kim Eunhee ini menangkap gerakan dan memantik indera peraba lewat lanskap dan permukaan berbagai ruang di Bumi. Kim Eunhee sendiri adalah seorang kurator dan pembuat filem. Dia bekerja sebagai kurator yang berfokus pada filem dan gambar bergerak di Museum Nasional Seni Modern dan Kontemporer, Korea.

Filem pertama yang disuguhkan adalah The Red Filter is Withdrawn (Korea Selatan, 2020) karya Minjung Kim. Pembuat filem menangkap banyak tempat kolonial, termasuk gua pantai dan bangunan bekas bunker-bunker militer. Ia memanggil kembali kenangan akan pemberontakan dan pembantaian yang ada di sepanjang Pulau Jeju. Kotak, persegi panjang, bentuk-bentuk familiar yang dalam keseharian kita temukan baik di dunia nyata maupun maya. Dalam filem ini, tempat-tempat asing yang memiliki sejarah dingin ditangkap secara familiar. Rasanya seperti bergulir di Instagram, melihat bingkai demi bingkai kotak dari kehidupan orang lain yang asing. Lucunya, tetap menyenangkan dan terasa dekat. Pembuat filem mengatakan bahwa karyanya ini didasari pada La condition humaine (1935) karya René Magritte, yaitu pemandangan luar gua yang ditumpangkan di atas kanvas. Dalam lukisan tersebut, Magritte menyatukan dimensi realita dan kanvas, seakan gambar yang diciptakan oleh manusia ini menyatu dengan lanskap alam. Saya rasa filem ini membuat penonton melihat kembali batas-batas gambar yang kita lihat di layar dengan realita. Terbiasa dengan kotak-kotak digital di media sosial yang menangkap realita dalam bentuk instan membuat batas antar dimensi gambar tersebut menjadi bias.

Filem kedua yang ditonton adalah A Village (Korea Selatan, 2019) karya Jaekyung Jung. Filem ini menyampaikan cerita alegoris yang sangat kecil tentang desa Heonin di Seoul, Korea Selatan, dalam perjalanan menuju kepunahan selama proses memaksimalkan keinginan kapitalis perkotaan. Desa ini dimulai sebagai pemukiman bagi orang-orang yang terinfeksi penyakit Hansen pada tahun 1960-an. Pada awal tahun 2000-an, sebuah perusahaan rumah memulai proyek pembangunan kembali desa menjadi kota mewah, menghancurkan sebagian besar desa hingga pengembangnya bangkrut pada tahun 2011. Sebagai penggemar K-Pop dan drama Korea, filem ini memberi kesempatan saya melihat jalanan Korea Selatan yang hanya dihuni oleh anjing-anjing liar dan puing bangunan, tidak ada gemerlap lampu romantis, atau anak-anak muda yang berlari-larian di tengah hujan. Jalanan kosong dan sepi, suara pembangunan, suara alam, tidak ada dentum musik dansa-pop yang menduduki tangga-tangga lagu dunia. Tekstur yang berbeda dari sebuah negara yang kini seakan siap mengambil alih dunia hiburan secara global. Lanskap Korea Selatan dan sejarahnya dalam filem ini menyuarakan ketimpangan. Jujur, saya tidak pernah tahu bahwa Korea Selatan memiliki sisi yang menuju kepunahan di tengah banyak bidangnya yang sedang lahir dan berkembang. Kapitalis perkotaan adalah narasi yang sering kita tonton, tapi filem ini adalah bingkai-bingkai nyata yang lahir dari sebuah riset panjang. Ternyata Korea Selatan juga bisa kesepian.

Filem ketiga yang saya tonton adalah The North of The Nonexistence (Korea Selatan, 2019). Seijin Kim sebagai pembuat filem membahas Sámi, tanah akumulasi waktu, masyarakat adat di wilayah kutub Eropa Utara yang secara geografis terisolasi karena kondisi cuaca buruk. Saat ini, mereka masih hidup dengan cara hidup tradisional di daerah pemukiman sebagai kelompok minoritas. Mereka dominan dalam hegemoni regional untuk hak berburu dan budaya tradisional mereka. Identitas mereka mau tidak mau menimbulkan konflik dengan sistem modern. Peralihan dari filem sebelumnya ke filem ini cukup mengejutkan dengan bingkai-bingkai yang berputar 360 derajat. Pergerakan kamera dalam pembukaan filem ini menculik penonton ke dalam perjalanan yang selanjutnya akan diberi tamparan visual. Saya pikir, Seijin Kim memaparkan sisi historis dari filem ini dalam sebuah satir yang ditunjukkan lewat betapa modernnya visual dalam filem. Setiap bingkai terasa seperti video permainan yang tidak akan membiarkan kita menang. Kontrasnya cara tutur filem ini dengan subjek yang dibicarakan dapat membuat indera-indera di tubuh saya merasakan permukaan dari tanah Sámi yang dingin dan asing.

Porosity Valley 2: Tricksters’ Plot (Korea Selatan, 2019) adalah filem penutup perjalanan visual yang cukup membuat saya terombang-ambing. Ayoung Kim menciptakan filem ini sebagai sekuel dari Porosity Valley, Portable Holes (2017). Filem sekuel ini memperluas karya sebelumnya melalui penggambaran fiksi tentang migrasi migran/mineral/klaster data yang dikenal sebagai Petra Genetrix (yang saya tidak paham sama sekali istilahnya). Lewat pergerakan dan eksperimentasi visual, film ini berjalan terus melewati perbatasan, menyebrang, menyatu dengan elemen lain, dan bersimbiosis. Ruang dan waktu tercipta lewat perpindahan dari satu objek ke objek lainnya dengan bentuk geometris hingga latar tempat yang berbeda. Lagi-lagi, saya merasakan tekstur permukaan yang dingin, cair, bergelombang, tajam, bersisik, lembek, keras, lewat perpindahan objek dari bingkai ke bingkai dalam filem ini. Pergerakan biologis pun terasa selama filem ini berjalan, seakan elemen visual itu masuk ke sistem tubuh, membuat pusing dan mual. Mungkin itu yang dirasakan oleh mereka yang bermigrasi.  Mungkin juga, itu hanyalah impresi perpindahan di mata orang-orang yang lebih beruntung tidak harus bergerak ke mana-mana untuk bisa bangun tidur lebih layak (seperti saya).

Program ini tersedia di website Festival ARKIPEL hingga tanggal 11 Desember 2021.

 

Terjemahan Bahasa Inggris oleh Innas Tsuroiya

English

Foreign Textures on The Surface of Space

To watch Indifferent Surface, Pendulum Movement is to experience the feeling of various surface textures of foreign objects constantly moving around the body. The program consisting of four films curated by Kim Eunhee captures movements and ignites the sense of touch through the landscapes and surfaces of various spaces on Earth. Kim Eunhee herself is a curator and filmmaker. She has worked as a curator focusing on film and moving images at the National Museum of Modern and Contemporary Art, Korea.

The first film being screened was The Red Filter is Withdrawn (South Korea, 2020) by Minjung Kim. The filmmaker shot many colonial sites, including coastal caves and ex military bunkers. He recalls the memories of the rebellions and massacres that existed along Jeju Island. Squares, rectangles, familiar shapes that we find in our daily lives whether in the real and virtual worlds. In this film, foreign places that have a cold history are familiarly shot. It’s like scrolling through Instagram, viewing frame by frame boxes of strangers’ lives. Funnily enough, it’s still fun and feels close. The filmmaker said that his work is based on René Magritte’s La condition humaine (1935), which is a view of the outside of a cave projected on canvas. In the painting, Magritte unites the dimensions of reality and the canvas, as if the image created by humans is one and the same with the natural landscape. I think this film makes the audience rethink the boundaries of the images we see on screen against reality. Getting used to digital boxes on social media that capture reality in an instant form turns the boundaries between the dimensions of the image biased.

The second film I watched was A Village (South Korea, 2019) by Jaekyung Jung. This film tells a very small allegorical story about the village of Heonin in Seoul, South Korea, on its way to extinction during the process of fulfilling the desires of urban capitalists. The village began as a housing for people infected with Hansen’s disease in the 1960s. In the early 2000s, a developer company started a project to redevelop a village into a luxurious city, destroying large parts of the village until the developer went bankrupt in 2011. As a fan of K-Pop and Korean dramas, this film gave me the opportunity to see the streets of South Korea that are only inhabited by stray dogs and ruins, no sparkling romantic lights, or young children running around in the rain. Empty and deserted streets, sounds of construction, sounds of nature, no thumping of dance-pop music that tops the world charts. A different texture from a country that is now seemingly ready to take over the world of entertainment globally. The South Korean landscape and its history in this film speak of inequality. Honestly, I never knew that South Korea had a side that was headed for extinction amidst its many nascent and developing fields. We have often watched the urban capitalist narrative, but this film consists of real frames born out of extensive research. It turns out that South Korea, too, can be lonely.

The third film I watched was The North of The Nonexistence (South Korea, 2019). Seijin Kim as the filmmaker discusses Sámi, the land of accumulated time, indigenous people in the polar regions of Northern Europe who are geographically isolated due to bad weather. Currently, they still live the traditional way of life in residential areas as a minority group. They are dominant in regional hegemony for their hunting rights and traditional culture. Eventually their identities conflict with the modern system. The transition from the previous film to this one is quite surprising with the frames that rotate 360 ​​degrees. The movement of the camera in the opening of this film forces the audience into a journey which will then be given a visual slap. I think Seijin Kim elaborates the historical side of this film in a satire shown through how modern the visuals are in the film. Every frame feels like a video game that won’t let us win. The contrast between how the film communicates and the subject being communicated about, can make the senses in my body feel the cold and foreign surface of the Sámi land.

Porosity Valley 2: Tricksters’ Plot (South Korea, 2019) is the closing film of a visual journey that is enough to make me feel ambivalent. Ayoung Kim directed this film as a sequel to Porosity Valley’s Portable Holes (2017). This sequel expands on his previous work through the fictional depiction of the migrant/mineral/data cluster migration known as Petra Genetrix (which I don’t understand the term at all). Through movement and visual experimentation, this film goes on and on across borders; crosses, merges with other elements, and symbioses. Space and time are created by movements from one object to another, from geometric shapes to different backgrounds. Again, I feel the cold, fluid, wavy, sharp, scaly, soft, hard surface textures through the movement of objects from frame to frame in this film. Biological movements are felt throughout the film, as if the visual elements entered the body’s system, making it dizzy and nauseous. Perhaps that is the feeling experienced by those who migrate. Or perhaps, that is just how migration is perceived by people who are more fortunate for not having to relocate to be able to wake up in a decent condition (like me).

This program is available in Festival ARKIPEL website until December 11, 2021.

 

English translation by Innas Tsuroiya

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Contact Us

We're not around right now. But you can send us an email and we'll get back to you, asap.

Not readable? Change text. captcha txt

Start typing and press Enter to search

X