catatan tentang kuratorial program 01
Tentang Konspirasi dan Resusitasi: Menengok Filem Eksperimental Iran
Tubuh beserta panca indra yang dimiliki manusia adalah suatu cara untuk mengalami dunia. Tubuh manusia senantiasa berusaha melahirkan tubuh-tubuh baru untuk beradaptasi dengan zaman yang terus berubah. Ini mengingatkan pada alegori gua Plato mengenai sekelompok manusia yang telah hidup dirantai ke dinding gua dan menghadap dinding kosong sepanjang hidup mereka. Manusia menyaksikan bayangan yang diproyeksikan di dinding dari objek yang terletak di depan api tepat di belakang mereka. Bayangan di dinding gua adalah realitas bagi para manusia tersebut. Hingga salah satu manusia membebaskan diri dari kekangan dan melihat bentuk realitas yang sebenarnya – ia melihat matahari. Manusia yang masih berada di gua tidak ingin meninggalkan tempat tersebut karena tidak tahu kehidupan yang lainnya. Ini memperlihatkan bagaimana seperti api yang menerangi dinding gua, kondisi manusia selamanya terikat pada kesan yang diterima melalui indra. Setidaknya ini yang menjadi salah satu sorotan saya pribadi ketika menonton program kuratorial Tentang Konspirasi dan Resusitasi pada 15 Agustus 2018 pukul 16.30 di Kineforum.
Manshur Zikri memperkenalkan Azar Mahmoudian
Mengutip dari katalog ARKIPEL homoludens (2018), Tentang Konspirasi dan Resusitasi bergema melintasi emosi, optik, pemancar radio, bahasa, jaringan komunikasi, tubuh-tubuh yang menolak status quo, perjalanan psikedelik, dan keadaan narkotik. Kurator dari program kuratorial ini sendiri adalah Azar Mahmoudian. Program kuratorial ini menampilkan 8 filem karya seniman-seniman yang mempunyai ikatan khusus dengan konteks yang berhubungan dengan Iran. Proses seleksi pada program ini adalah bentuk respon terhadap tema homoludens. Azar mengatakan bahwa ia telah bekerja sama dengan Laleh Khorramian dan Tala Madani sebelumnya. Sisanya, seperti karya Rambod Vala, Baher Noorizadeh, dan Mamali Shafahi, didapat melalui hasil pencarian dan riset. Menurut Azar ini juga menjadi kesempatan bagus untuk mengenal seniman-seniman yang lebih muda yang menurutnya memiliki sikap yang berbeda dalam “menemukan jalan keluar yang estetis dan praktis dari kondisi-kondisi yang memerangkap generasi sebelumnya”.
Pada filem pertama, ‘I Without End’ realisasi Laleh Khorramian, menampilkan kulit jeruk sebagai perumpamaan dari dua orang kekasih yang direkam secara time lapse. Filem ini memperlihatkan tubuh dengan hasrat, sensualitas, dan intimasi pada satu sisi. Di sisi lain adanya rasa sesak terkurung di suatu tempat atau terikat pada seseorang. Hal tersebut tergambar tidak hanya melalui visual, melainkan melalui bunyi-bunyi seperti bebunyian hujan, bebunyian sesuatu terbakar, dan bebunyian bel pintu rumah. Amel, dari Komunitas Pembacaan Baru Bogor, mengatakan bahwa filem ini adalah filem kesukaannya karena menampilkan suatu keintiman dan kesan sensual yang didapat dari gerakan-gerakan sederhana yang saling terkait dan memunculkan pemaknaan sendiri.
Azar memaparkan program kuratorialnya
Filem kedua, Ultima Ratio A Mountain of The Sun karya Bahar Noorizadeh memperlihatkan industri tua ganja di Lembah Bekaa, Lebanon. Pendekatan sinematik yang dilakukan membuat penonton seolah-olah sedang berada dalam kondisi mengkonsumsi narkotika; delusional dan dengan perasaan melayang-layang. Menimbulkan pertanyaan, siapa yang akan menyelamatkan manusia ketika justru manusia sendiri yang mengantarkan tubuhnya kepada kematian? Selanjutnya filem Hamdani karya Slavs dan Tatars menampilkan video berbasis teks membicarakan ‘konspirasi’ atau keserentakan sensualitas dan spritualitas dalam tradisi Sufi melalui naskah yang tumpang tindih dalam berbagai bahasa.
Filem keempat dan kelima adalah karya animasi dari Tala Madani yaitu Eye Stabber dan Old Factory. Kedua filem tersebut memperlihatkan figur pria paruh baya nan gagah dalam suatu situasi yang tak lazim. Keduanya seakan-akan membangun narasi mengenai manusia yang dalam setiap langkahnya akan ditonton dan dikritik manusia lainnya. Kemudian filem Shahed karya Rambod Vala. Cerita terjadi pada dua buah layar komputer yang menangkap percakapan antara seorang migran dan seorang tukang tipu. Posisi kamera membuat penonton merasa menjadi mata seseorang yang sedang mengakses dunia digital. Memperlihatkan manusia yang tidak hanya memiliki tubuh riil tetapi juga tubuh digital.
Why do We Prefer Lettuce to Other Fruits karya Hadi Fallahpisheh menjadi filem ketujuh yang diputar. Filem ini merekam sebuah aksi mengayun buah-buahan dan sayur-sayuran di suatu taman bermain di pinggiran Tehran. Pada akhirnya, aktivitas tersebut hanya menyisakan selada ketika diayun sekencang mungkin. Buah dan sayur tersebut seperti memperlihatkan kerapuhan tubuh manusia. Dalam hukum rimba, adanya proses seleksi di mana hanya manusia yang kuat dan bisa beradaptasi yang pada akhirnya bisa bertahan.
Filem terakhir adalah Nature Morte karya Mamali Shahafi. Filem ini terbagi menjadi dua bagian yaitu Daddy Sperm dan Immortal. Bagian pertama berfokus pada keajaiban hidup bagaimana setetes cairan berubah menjadi manusia dan memengaruhi siklus kreativitas dan kehidupan. Sedangkan bagian kedua menampilkan lompatan gambar dari dunia nyata dan virtual serta usaha ‘mengabadikan orang tua’ dari pembuat filem yang kian menua. Filem ini sedikit membingungkan bagi saya dan penonton lainnya yang mungkin tidak bisa menangkap referensi yang diberikan.
Sesi diskusi setelah pemutaran delapan filem terkurasi
Azar mengatakan kita dapat melihat filem ini dari aspek kehidupan sehari-hari dari dua pasangan tua yang sangat biasa dengan ritme hidup yang lambat. Ketika tubuh menua, maka performativitas tubuh menurun sehingga manusia harus memperlambat dirinya dan mulai menerima. Orang tua dari pembuat filem yang mengambil bagian dalam filem menjadi lebih terbuka terhadap kolaborasi. Melalui proyek seni ini, sang pembuat filem dan orang tuanya yang memiliki perbedaan generasi bisa saling menerima dan hidup berdampingan. Tentu filem-filem dalam program kuratorial ini bukan filem yang dapat direduksi terhadap satu naratif saja. Melainkan mengundang interpretasi tak terbatas dari yang menontonnya.
notes on curatorial program 1
Of Conspiracy and Resuscitation: Looking on Iranian Experimental Film
Human’s body and his five senses is a way to experience the world. Human’s body is constantly trying to give birth to new bodies to adapt to the increasingly changing times. This reminds us of the Plato cave allegory about a group of people who have been chained to the cave’s walls, forced to stare at blank walls only, for their whole lives. The humans saw the projected shadows on the wall from the object which happened to be in the front of a flame located behind them. The shadow in the cave’s wall became a reality for them. Until one of them tried to free him from the chain and finally saw the ‘real’ reality – he saw the sun. The humans who were still in the cave didn’t want to leave because they have no idea about the life besides their reality. This philosophical allegory shows us that like the flaming fire which lighted the cave’s wall, the human’s condition was forever trapped by the impression received through their senses. At least, this was what I highlighted personally from the curatorial program Of Conspiracy and Resuscitation on August 15th 2018, 16.30 p.m., at Kineforum.
Manshur Zikri introduced Azar Mahmoudian
As quoted from ARKIPEL homoludens (2018) catalogue, Of Conspiracy and Resuscitation echoed across the emotions, optics, radio transmitters, languages, communication networks, queer bodies, psychedelic journeys and narcotic states. The curator from this curatorial program is Azar Mahmoudian. This curatorial program screened eight films from several artists who formed a unique bond with any Iranian-related context. The selection process of this program was a response to ARKIPEL’s theme, homoludens. Azar said that she has worked with Laleh Khorramian and Tala Madani before. For the rest, like the films from Rambod Vala, Baher Noorizadeh, and Mamali Shafahi, were selected through research. For Azar, this program was also considered an excellent chance to get in touch with younger generation of Iranian artists who, in her view, have different attitudes in “finding aesthetical and practical exit points to the conditions in which the previous generation stuck in”.
The first film, I Without End by Laleh Khorramian, showed the orange fruit peel as a metaphor of a loving couple who were recorded by using a time-lapse method. This film captures the bodies with desire, sensuality and intimacy, on one side. On the other side, there’s this overwhelming feeling of tightness, like being trapped in a place or a relation with someone. Those were not only depicted visually but also through sounds, such as the sound of rain-drop, sound of burnt-thing and even the sound of a bell door. Amel from Komunitas Pembacaan Baru Bogor, picked this film as her favourite one because it shows the intimacy and sensuality from the simplest interconnected motions, and successfully brought their meanings.
Azar presented her curatorial programThe second film, Ultima Ratio A Mountain of The Sun from Bahar Noorizadeh shows an old marijuana industry in Bekaa Valley, Lebanon. Its cinematic approach invites the audiences to experience the act of consuming the drugs or narcotics; felt the delusions with floating feelings. This film raised a question, at least for me: who will save the human when the human himself is the one who takes him to the lap of death? The next film was Hamdani by Slavs and Tatars which displayed a text-based video about ‘conspiracy’, respiration together, or a simultaneity of sensuality and spirituality in Sufi tradition, through the overlapped script in various languages.
The fourth and fifth films were animation films from Tala Madani, titled Eye Stabber and Old Factory. Both films captured the figure of a dashing middle-aged man in an abnormal situation. Both films tried to construct a narrative about a man, who in his life journey, will always be watched and criticized by other humans. Shahed from Rambod Vala was screened after those animation films. The story relied upon two screen of personal computers which captured the conversations between a migrant student/ swindler and his long distance love. The camera’s position made the audience felt the sensation of being the eye of the beholder who accessed the digital world in the film. This film shows that a real body is not the only embodiment that a human has; they also have a digital body.
Why do We Prefer Lettuce to Other Fruits from Hadi Fallahpisheh became the seventh screened film on this program. This film captures the act of swinging fruits and vegetables at a playground in the outskirts of Tehran. In the end, the act left a lettuce behind while it was swung as fast as possible. The fruits and vegetables became a metaphor for the vulnerability of human body. In the law of jungle, there has always been a selection process, whereas it always gets the strongest and most adaptive one survives.
The last film screened in this program was Nature Morte by Mamali Shahafi. The film was splitted to two parts: Daddy Sperm and Immortal. The first part was focused on the magic of life, like how a small drop of a liquid can be transformed into a human and affects the creativity and life cycles. Meanwhile the second part showed a leap of images from the real and virtual world, while also ‘immortalize the growing old parents’ of the filmmaker. This film confused me and the other audiences, who probably didn’t really get the reference and meaning the film’s trying to show.
Q&A Session after the screening of eight curated films
Azar said that we could see this film from the perspective of the relationship of the artist to his parents as creators of him, and his attempt in making them immortal through art. With a reference to an Iranian Avant-garde film of the same title (Nature Morte), daily life’s rhythm of an old retired couple, is put into challange. When the body grows older, the bodily performativity is decreasing and human slows-down and, like it or not, accepts his conditions. The parents of the filmmaker, who also took part in making this film, became more open to the artist’s queer world, in the process of this collaboration. Through this art project, the filmmaker and the parents who have a vast gap in their understandings of body, gender and social roles, could have come to terms with each other beings. Indeed, the curated films in this program can’t be reduced to a single narrative or interpretation only. There should have always been a space for unlimited narrative and interpretation from the audiences.
