In ARKIPEL 2018 - homoludens, Festival Updates, Forum Festival
Bahasa Indonesia

Catatan Tentang Forum Festival Panel V

Catatan Panel 5 Forum Festival ARKIPEL homoludens

Dalam panel terakhir, yakni panel kelima dalam rangkaian ARKIPEL homoludens – 6th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival, tema yang diangkat adalah bagaimana peran komunitas-komunitas yang ada, terutama komunitas filem, untuk menentukan bahasa dalam sinema. Panel yang kelima ini dilaksanakan di GoetheHaus, Goethe-Institut Indonesien, Menteng, Jakarta Pusat pada Kamis, 9 Agustus 2018, pukul 11.15 – 13.00 WIB.

Panel ini diisi oleh tiga panelis serta seorang moderator yang seluruhnya berasal dari Indonesia, dengan jumlah peserta forum sebanyak 15 orang. Ketiga panelis ini, masing-masing memaparkan pengalaman mereka bergiat dalam sebuah komunitas atau organisasi filem. Panel ini diawali oleh pernyataan sekaligus pertanyaan dari sang moderator yaitu Dhuha Ramadhani, yang merupakan peneliti dari Forum Lenteng dan pengurus harian AKUMASSA, yang mengatakan bahwasanya komunitas filem itu sama dengan kultur filem itu sendiri yang harus mampu bergerak dengan cara mereka sendiri dalam gempuran industrialisasi dunia sinema.

Kiri ke kanan: Findo Bramata Sandi, Dhuha Ramadhani, Dini Adanurani, Rachmat Hidayat Mustamin

Pernyataan dari Dhuha tersebut diperluas lagi melalui pemaparan tentang pengalaman berkomunitas oleh panelis pertama, yakni Findo Bramata Sandi yang merupakan pendiri Relair Cinema, yang didirikan pada Agustus 2015. Ia juga merupakan Direktur Andalas Movie Exhibition. Findo secara cair menceritakan bagaimana pengalamannya ketika membuat filem berjudul ”Rel Air” yang sempat ditampilkan cuplikannya di layar. Ia mengaku bahwa pembuatan filem itu berawal dari rasa ingin tahunya kepada tanah asalnya sendiri; tanah Minangkabau. Ia berusaha untuk mencari narasi-narasi yang ada mengenai tanah kelahirannya, dengan menggunakan tradisi lisan yang masih kental dan melekat di tanah kelahirannya tersebut. Dari pembuatan film “Rel Air” itu, akhirnya ia membuat sebuah komunitas yang melakukan riset mengenai bioskop dan menulis kritik filem. Ia mengaku anggotanya pun tidak semuanya memiliki latar belakang yang kuat dalam hal perfileman, tapi secara berkala mereka mengadakan diskusi dan menghadiri banyak acara komunitas filem lainnya, salah satunya adalah AKIPEL. Findo mengatakan dirinya dan Relair Cinema terus membuka jaringan seluas-luasnya, karena program-program berkualitas itu ada berkat riset, diskusi, dan jalinan hubungan yang baik antar komunitas.

Panelis yang juga menceritakan mengenai pengalaman berkomunitas di daerah adalah Rachmat Hidayat Mustamin, seorang penulis dan sutradara, yang menceritakan Kominutas Kinotika dan Imitation Film Project dari Makassar. Dalam pemaparannya, Rachmat menceritakan problematika yang sedang dihadapi oleh komunitas-komunitas filem di Makassar pasca hadirnya sebuah filem berjudul “Uang Panai”. Filem tersebut kerap digadang-dagang sebagai filem ciri khas komunitas Makassar meskipun produksinya bukan dari rahim komunitas. Rachmat berkomentar, terdapat suatu hambatan dalam laju perkembangan komunitas ketika menjelajahi ciri khas sinematik mereka terutama ketika filem “Uang Panai” menjadi titik tolaknya. Hingga akhirnya, situasi tersebut memicu Komunitas Kinotika untuk terus melakukan diskusi dan memantik rasa lokal untuk menambah pengalaman menonton filem dengan cita rasa Makassar, tanpa harus hanya terpaku pada satu hal tanpa mengembangkan variasi pandangan.

Panelis perempuan satu-satunya dalam Panel V ini, Dini Adanurani yang adalah seorang Mahasiswi Filsafat Universitas Indonesia yang juga tergabung dalam komunitas Sinematografi UI, memaparkan pengalaman dan permasalahan yang dihadapi oleh mahasiswa dalam berkomunitas di bawah naungan nama Universitas. Dini mengatakan dengan masuk ke dalam komunitas di kampus, Sinematografi UI misalnya, mahasiwa dapat melakukan rehat dan mencari penyegaran di luar kehidupan akademisnya. Baginya, berkomunitas di dalam kampus menjadi sebuah pengalaman di mana para mahasiswa diberikan kesempatan untuk mencicipi dunia orang dewasa, namun masih dalam gelembung kampus. Namun, seringkali masih ada tendensi dari kampus untuk membuat program-program khusus, bahkan juga sistem yang terasa mekanis dan jauh dari kesan bebas ataupun kreatif. Hal ini menjadi titik benturan bagi anggota komunitas di mana idealisme dan realita terus bersitegang. Namun, Dini juga mengatakan bahwa kehadiran komunitas filem di kampus, baginya, juga merupakan salah satu cara merepresentasikan suara mahasiswa dalam perfileman Indonesia.

Dalam panel ini, terdapat pertanyaan yang diajukan oleh seorang anggota komunitas Liga Film Mahasiswa ITB, Fay, yang bertanya soal bahasa yang digunakan dalam sinema. Ketiga panelis menanggapi pertanyaan dari Fay dengan garis besar yang tidak jauh beda, bahwasanya penggunaan bahasa tergantung dalam pembuatannya, keterlibatan orang-orang sekitar, dan kultur yang melekat. Visi yang hendak disampaikan lewat film juga harus dapat sampai ke penonton terkait citra apakah yang hendak ditonjolkan secara lebih gamblang.

Adapun panel kelima ini merupakan panel terakhir dalam Forum Festival ARKIPEL #6: homoludens ini.

Sampai jumpa di Forum Festival 2019!

English

Catatan Tentang Forum Festival Panel V

Notes on Forum Festival Panel V

The fifth and final panel of ARKIPEL homoludens6th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival brought up the theme of how existing communities, especially film communities, can determine language in cinema. The fifth panel was held at GoetheHaus, Goethe-Institut Indonesien, Menteng, Central Jakarta on Thursday, 9 August 2018, at 11:15 – 13:00 WIB.

The panel invited three panelists and a moderator, all of whom came from Indonesia, with 15 forum participants. Each of the three panelists described their experiences working in a film community or film organization. This panel begins with a statement and question from the moderator, Dhuha Ramadhani, who is a researcher at Forum Lenteng and the secretary of AKUMASSA, by saying that film community is no different than film culture as both needs to move in their own ways despite the constant assault from the industrialization of cinema.

Left to right: Findo Bramata Sandi, Dhuha Ramadhani, Dini Adanurani, Rachmat Hidayat Mustamin

Dhuha’s statement was further elaborated by the first panellist, namely Findo Bramata Sandi, the founder of Relair Cinema which was founded in August 2015. He is also the Director of Andalas Movie Exhibition. Findo casually told about his experience making a film entitled Rel Air of which the footage was displayed on the screen. He told that the film was made due to his curiosity to his homeland; Minangkabau. He tried to look for existing narratives about his homeland, using oral traditions that were still thick and embedded in his homeland. Due to making the film Rel Air, he finally made a community that researched cinema and wrote film criticisms. He agreed that not all of the members have a strong background in filmmaking, but they regularly held discussions and attended many other film community events, one of which was AKIPEL. Findo said that he and Relair Cinema continued to spread their network as widely as possible because qualified programs can only exist from research, discussion, and good relations between communities.

Another panellist who told about his experience in the local community was Rachmat Hidayat Mustamin, a writer and director, who told the story of Kinotika Community and Imitation Film Project from Makassar. In his presentation, Rachmat recounted the problems faced by film communities in Makassar after the presence of a film entitled “Uang Panai“. The film is often cited as the identity of Makassar film community even though its production is not community-based. Rachmat claimed that there is an obstacle in the pace of community development when exploring their cinematic characteristics, especially when the film “Uang Panai” became its starting point. The situation ultimately drove Kinotika Community to continue making discussion and inciting local value to add to the experience of watching a Makassar-themed film, without being trapped inside a box.

The only woman panellist in Panel V, Dini Adanurani who is a Philosophy student at University of Indonesia (UI) and member of UI Cinematography community, explained the experiences and problems faced by students in a community under the auspices of the University’s name. Dini said that by entering into the community on campus, UI Cinematography, for example, students could take a break and seek refresher outside of their academic life. For her, the community on campus became an experience where students were given the opportunity to taste the world of adults, but still in the campus vicinity. However, there is often a tendency from campus to make special programs, even systems that feel mechanical and far from being free or creative. This is a point of conflict for members of the community where idealism and reality continue to be in discord. However, Dini also said that the presence of film communities on campus, for her, was also one way to represent the voice of students in Indonesian cinema.

In this panel, there were questions raised by a member of ITB Student’s Film League community, Fay, who asked about the language used in cinema. The three panelists responded to Fay’s question with a pretty similar point, that the use of language depends on its production, the involvement of nearby people, and the inherent culture. The vision to be conveyed through the film must also be able to reach the audience in regard to which image that must be emphasized more.

The fifth panel is the final panel of Forum Festival in ARKIPEL #6: homoludens.

See you at Forum Festival 2019!

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Contact Us

We're not around right now. But you can send us an email and we'll get back to you, asap.

Not readable? Change text. captcha txt

Start typing and press Enter to search

X