In ARKIPEL 2018 - homoludens, Festival Updates, International Competition
Bahasa Indonesia

CATATAN TENTANG KOMPETISI INTERNASIONAL 2

Manusia dan Kehidupannya yang tidak Selalu Tunggal

Singularitas jika dalam bahasa sains, adalah sebuah titik ruang dalam waktu yang memiliki kerapatan tak terbatas dan volume yang sangat kecil, hingga akhirnya menjadikan kelengkungan ruang waktu yang tak terbatas. Akbar Yumni dalam program Kompetisi Internasional 2 di ARKIPEL Homoludens: 6th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival berusaha untuk menunjukkan singularitas tersebut secara sinematik lewat filem-filem dalam program seleksinya.

Menurut Akbar, sinema selalu berusaha untuk mencari jalan keluarnya sendiri untuk menggambarkan realitas, realitas itu sendiri pun tidak selalu berada pada pusaran singularitas “aku” sebagai individu yang hidup. Hal itu nampak dari makna yang selalu meluas, seiring perkembangan zaman, seiring rekam sejarah yang melekat pada “aku” dalam menjalani kehidupan. Salah satu contoh makna yang pada akhirnya menolak singularitas adalah pengalaman humanitas yang melekat pada diri manusia, yang mengalami perluasan hingga tidak selalu menjadi antroposentris, seperti yang ditampilkan dalam empat filem yang ditayangkan dalam Kompetisi Internasional 2 ini, yakni ada Traje de Luces (Suit of Lights) karya Fransisca Duran dari Kanada, De Madrugada (At Dawn) karya Ines de Lima Torres dari Portugal, Tempo Comum (Ordinary Time) karya Susana Nobre dari Portugal, dan Svetlarnik (Open Skylight) karya Srdan Vukajlovic.

Host: Akbar Yumni, salah satu anggota tim selektor

Dalam filem pertama, Traje de Luces, kita akan disuguhkan penggambaran perlombaan adu banteng yang dilakukan pada sekitar tahun 1975, yang cukup tidak membuat nyaman, dengan tindakan matador yang menusukkan tongkat runcing ke arah banteng yang mengamuk hingga ia berdarah-darah. Filem yang dibuat dengan rekaman 16mm dan bahan baku arsip yang sudah terlihat membusuk dan menjamur menjadi terasa semakin dalam dengan narasi tentang kultur kekerasan yang masih langgeng hingga saat ini. Narasi itu juga menyinggung bagaimana dunia fotografi menangkap momen-momen keji seperti yang dilakukan matador kepada banteng. Apakah ia hanya akan berakhir pada tujuan estetika, atau ada pesan yang hendak ditunjukkan untuk segera menghentikannya? Fotografi itu lantas menjadi sebuah refleksi bagi para generasi sesudahnya dalam menanggapi sejarah masa lalu sebagai hal yang tidak tunggal; dengan melihatnya sebagai sebuah keberanian, atau justru sebagai sebuah rantai yang harus dihentikan.

Dalam filem kedua, De Madrugada, bagi Akbar sendiri, ini merupakan salah satu filem yang bagus dan dapat meramu wajah kolonial menjadi tidak tunggal. Seorang remaja perempuan bernama Alice menemukan surat dari almarhum kakeknya kepada neneknya, tentang pertempurannya sebagai pihak penjajah. Dalam surat itu, Alice menemukan dua sisi kolonialisme yang rupanya sama-sama melukai dan membuat trauma dua pihak. Alice menemukan kebingungan dan patah hati kakeknya yang tidak lagi bisa menemukan jati diri pascakolonialisme. Bagi Akbar, bagian akhir filem adalah kunci di mana Alice membaca surat kakeknya dengan ungkapan-ungkapan simbolis seperti “pergi melintasi gurun dan tidak bisa kembali” yang menggambarkan bagaimana kolonialisme tidak hanya muncul secara tunggal melukai yang dijajah, tapi juga memaksa penjajah untuk mencerabut diri dari identitas mulanya.

Filem ketiga, Tempo Comum, menggambarkan kehidupan yang harus dirasakan oleh seorang perempuan bernama Marta setelah melahirkan. Kelahiran bayinya telah mengubah dunianya menjadi sarat makna yang serba bercabang, bak pohon rindang. Menurut Akbar, di situlah Marta harus menghadapi tubrukan-tubrukan dalam setiap pilihannya dan pilihan orang lain di sekitarnya yang juga hampir selalu bersenggolan dengan dirinya. Akbar berpendapat bahwa hal ini merupakan suatu peristiwa yang feminis. Di antara tubrukan-tubrukan itu, Marta menemukan bahwa kelahiran bayinya bukan sebuah peristiwa tunggal. Di antara peristiwa tersebut pun Marta masih memiliki hasrat yang harus ia penuhi untuk menopang kehidupannya.

Filem keempat yakni Open Skylight, bagi saya merupakan filem yang begitu unik, yakni bagaimana humanitas manusia digambarkan layaknya fable yang terdiri dari kehidupan burung merpati liar di suatu kawasan perumahan. Di antara suara kegaduhan manusia-manusia, burung-burung ini melakukan aktivitas seperti mencari makan untuk anaknya, melindungi anaknya dari tetesan air hujan, hingga bercumbu dengan pasangannya. Suara gaduh yang menjadi latar filem bagi Akbar adalah penggambaran guncangan sosial meskipun di sisi lain para burung tersebut masih beraktivitas di tengah suara gaduh perumahan padat penduduk itu.

Adapun Kompetisi Internasional 2 ini dilaksanakan pada Jumat, 10 Agustus 2018 pukul 13.30 – 15.44 WIB di Kineforum, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, yang dihadiri sebanyak 6 penonton. Kompetisi Internasional 2 ini akan kembali dilaksanakan pada Minggu, 12 Agustus 2018 di Kineforum, pukul 19.00 WIB.

English

NOTES ON INTERNATIONAL COMPETITION 2

People and Their Not-Always-Singular Life

Singularity in the language of science is a point of space in time that has infinite density and a very small volume, to the point of making infinite curvature of space-time. Akbar Yumni in the 2nd International Competition program at ARKIPEL homoludens: 6th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival tries to show that singularity cinematically through the films in his selection program.

According to Akbar, cinema always tries to find its own way out to describe reality, and reality itself is not always within the vortex of “me” singularity as a living individual. It appears from the meaning that always extends, along with times, along with the historical record attached to “me” in living the life. One example of meaning that ultimately rejects singularity is the experience of humanity that is inherent in humans, which has expanded so that it does not always become anthropocentric, as shown in the four films screened in this 2nd International Competition, namely Traje de Luces (Suit of Lights) by Fransisca Duran of Canada, De Madrugada (At Dawn) by Ines de Lima Torres of Portugal, Tempo Comum (Ordinary Time) by Susana Nobre of Portugal, and Svetlarnik (Open Skylight) by Srdan Vukajlovic.

Host: Akbar Yumni, one of the selector teamIn the first film, Traje de Luces, we were presented with a depiction of bullfighting race held around 1975, which was quite uncomfortable, with the matador thrusting a stick towards the rampaging bull until it bled. The film that was made with 16mm footage and rotting archives became increasingly deep with narratives about the culture of violence that is still lasting today. The story also alludes to how the world of photography captures cruel moments like those carried out by the matador to the bulls. Was it only for aesthetic goals, or was there a message stop it immediately? Photography then becomes a reflection for future generations in responding to history as something that is not singular; by seeing it as courage, or instead of a chain that must be stopped.

The second film, De Madrugada, for Akbar himself, is a good film that can show the not-so-singular face of colonialism. A young woman named Alice found a letter from her late grandfather to her grandmother, about his battle as an invader. In the letter, Alice found two sides of colonialism which apparently both hurt and traumatized the two parties. Alice found the confused and heartbroken feeling of her grandfather who could no longer find an identity after colonialism. For Akbar, the final part of the film is the key where Alice reads her grandfather’s letter with symbolic expressions such as “going across the desert and not being able to return” which depicts how colonialism not only harm the colonized but also forced the invaders to uproot themselves from their original identity.

The third film, Tempo Comum, depicts a life that must be experienced by a woman named Marta after giving birth. The birth of her baby has transformed her world into a branching of multiple meaning, like a huge tree. According to Akbar, that is where Marta had to deal with the collisions due to her choices and the choices of others around her who is almost always related to her. Akbar argues that this is a feminist event. Among the collisions, Martha found that the birth of her baby was not a singular event. Among these events, Marta still has the desire that she must fulfil to sustain her life.

Personally, the fourth film, Open Skylight, was a very unique film, as it depicts how the humanity of mankind is described as a fable which consists of the lives of wild pigeons in a residential area. Among the noise of humans, these birds carry out activities such as foraging for their children, protecting their children from raindrops, as well as making out with their mate. For Akbar, the noise that became the background of the film was a depiction of social shocks even though on the other hand the birds were still active in the midst of the noise of the densely populated housing.

The 2nd International Competition was held on Friday, 10 August 2018 at 13.30 – 15.44 WIB at Kineforum, Taman Ismail Marzuki, Central Jakarta, and was attended by 6 spectators. This 2nd International Competition will be held again on Sunday, 12 August 2018 at Kineforum, at 19:00 WIB.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Contact Us

We're not around right now. But you can send us an email and we'll get back to you, asap.

Not readable? Change text. captcha txt

Start typing and press Enter to search

X