In ARKIPEL 2020 - Twilight Zone, Forum Festival

Navigating the Twilight Zone in the Current Time
Menavigasikan Zona Temaram Hari Ini

Moderator: Luthfan Nur Rochman
Panelists: Martin Suryajaya, Butet Manurung, Hizkia Yosie Polimpung

Friday, 6 November 2020 | 19.30 GMT+7
in Bahasa Indonesia with English translation
registration: bit.ly/ForumFestival2020

Abstrak / Abstract

Segera setelah Eropa menguasai ilmu navigasi samudera, dunia menemukan bentuk pemaknaannya yang baru semenjak revolusi agrikultur. Berabad kemudian kolonialisme dan revolusi yang terjadi atas nama pencerahan melahirkan kosakata tunggal dalam merelasikan manusia modern dengan yang liyan (alam dan manusia yang belum tercerahkan). Krisis ekologi yang menjadi wacana sejak beberapa dekade silam membangunkan kita pada gagapnya, atau mungkin gagalnya, modernisme dalam memberikan kepastian hidup generasi yang akan datang di atas bumi. Sebagian menyebutnya Antroposen, atau era di mana manusia menjadi daya dominan pengubah bumi. Sebagian yang menolak, menyebutnya Kapitalosen (Capitalocene), di mana si pengubah adalah kapital dengan kebun, pabrik, bor minyak, tambang, limbah, dan struktur ekososbudpol yang dimodifikasinya untuk mendulang untung sebanyak-banyaknya.

Mikroorganisme yang dinamakan SARS-CoV-2 meruntuhkan daya tahan tubuh materi dan kesepakatan-kesepakatan manusia di era Kapitalosen ini.  Kapitalosen, yang telah mewariskan pada kita tatanan sosial yang mengasingkan, keterhitungan, ruang sebagai sesuatu yang dapat dilipat, dan waktu yang linear menemui lawan lamanya yang paling mematikan, pandemi. Ironisnya, virus muasal pandemi ini tidak hanya bermutasi secara biologis dan environmental saja, tapi ia bermutasi dan menyebar dengan menumpang interaksi transaksional yang dimungkinkan oleh kapitalosen. Ia secara radikal menyibak kepayahan sistem mapan hari ini dalam mengendalikan ekses-ekses sejarah yang digerakkan oleh kapital.

Interaksi transaksional yang menuntut penyeragaman simbol yang diinstitusikan itu telah sepanjang zaman menggerus pengetahuan jenial kita atas pengelolaan diri dan komunitas dalam ruang dan waktu. Di beberapa bagian bahkan mematikan suara mantra dan pengetahuan yang dianggapnya usang. Di celah-celah itulah, virus masuk dan mereplikasi dirinya untuk menjangkiti masyarakat urban global hingga penghuni hutan adat sehingga sistem yang terancam tidak hanya sistem kapital, namun juga seluruh sistem dan lapisan-lapisan kehidupan di dalamnya. Distribusi pelayanan kesehatan dan informasi yang tidak merata mengaburkan lagi prospek keberlangsungan hidup manusia dalam melewati penanda zaman ini.

Zona temaram adalah pengetahuan yang bersembunyi dan ikut kusut dalam jalinan benang kerusakan ekologi, modernisme, kolonialisme, teknologi, algoritma internet, modal, dan politik identitas. Pandemi ini menuntut kita mengurai benang-benang itu dengan segera dan merumuskan strategi bertahan hidup, resiliensi, dan atau mungkin sebuah retaliasi.

Panel ini berfokus pada pencarian tawaran lain dalam cara melihat, merasa, dan mengetahui dalam rangka produksi dan penyebaran pengetahuan yang dapat menavigasikan isu kontemporer secara all- encompassing (meliputi semua, tidak sektoral). Di tengah pandemi yang membuat kita merasakan krisis ekologi dan krisis ekonomi, tuntutan untuk mempertanyakan kembali sistem yang mapan meningkat. Seni sebagai pendekatan multidisipliner dan spekulatif punya andil besar dalam mempertanyakan kembali produksi pengetahuan yang selama ini ada. Bagaimana seni dan khususnya sinema memungkinkan kita untuk melihat, menginderai, dan mengetahui apa yang tersembunyi di balik modernisme untuk mengetahui diri kita sendiri? Hantu apa yang ada di balik modernisme itu? Alternatif apa yang dapat ditawarkan dalam membongkar cara mengetahui dan menginderai kita? Masyarakat apa yang lahir setelah pandemi ini selesai?

Once European colonies had mastered the art of navigating the ocean, the world provided new opportunities since the end of the agricultural revolution. What came after was the age of colonialism and domination that happened in the name of enlightenment, an act which gave birth to a new approach on how modern humans associated with the Others (in this case, nature and unenlightened men). The ecological crisis that has become a topic of discussion since a few years back has made us more aware of the struggle, or perhaps the failure of modernism in sustaining lives of the upcoming generation. There are some that disagree, and call this phenomenon the Capitalocene, where the perpetrators are corporations who own fields, factories, plantations, mines, produce waste, and other eco-cultural structures that have been modified to gain as much profit as possible.

The microorganisms called SARS-CoV-2 do not just break down a body’s immune system, but also the Capitalocene system. This Capitalocene system–that had been handed down and gave us a social order that has alienated, formulated, and treated land as something adjustable and time as something linear–finally meets its most deadly threat: the pandemic. Ironically, the virus that causes this pandemic does not just mutate biologically and environmentally, but it also mutates and spreads through the social interaction made possible by the Capitalocene. The virus radically uncovers the difficulties of the established system today in controlling historical excesses driven by capital.

Transactional interactions that demand uniformization of institutionalized symbols throughout the ages have eroded our knowledge and agency to govern our self and community. In some parts, they have silenced the rituals and knowledge that they deemed ancient. Through that kind of system, the virus enters and replicates itself to infiltrate the global urban society and the customary forest inhabitants, up to the point where the system being threatened is not just the capitalistic system, but every system and everyone living within it. The disproportionate distribution of healthcare and information complicates the prospect of life sustainability after the pandemic.

The Twilight Zone is a hidden understanding, tangled with the strings of ecological damage, modernism, colonialism, technology, algorithms, capital, and identity politics. This pandemic forces us to immediately untangle these strings and create a new strategy as a means of survival, resilience, and maybe retaliation. 

This panel focuses on finding an alternative way of seeing, feeling, and understanding of the distribution and production of knowledge that can navigate all-encompassing contemporary issues. In the middle of the pandemic that is making us all experience an ecological and economic crisis, there is a rise in demand for a sturdy system. Art as a multidisciplinary and speculative approach has a big opportunity to question the current production of knowledge. In order to get a better understanding of self, how does art, specifically cinema, make us see, sense, and understand what is hidden underneath the veil of modernism? What kind of ghost that lingers underneath modernism? What alternative can be offered in dismantling our way of knowing and sensing? What kind of society will be born after the pandemic ends?

About the Panelist

Martin Suryajaya adalah seorang penulis dengan topik filosofi, kritikus sastra, dan novelis. Juara I Lomba Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2013. Karya terbarunya adalah buku puisi “Terdepan, Terluar, Tertinggal” (Penerbit Anagram, 2020).

Martin Suryajaya is a philosophical writer, literary critic and novelist. He won first place in the 2013 Jakarta Arts Council Literary Criticism Contest. His latest work is the poetry book “Terdepan, Terluar, Tertinggal” (Publisher Anagram, 2020).

Saur Marlina Manurung adalah perintis dan pelaku pendidikan alternatif bagi masyarakat terasing dan terpencil di Indonesia. Sebagaimana gadis Batak lainnya, ia biasa dipanggil “Butet” dan kini namanya lebih dikenal sebagai Butet Manurung. Sekolah rintisan pertama kali ia terapkan bagi masyarakat Orang Rimba (Suku Kubu) yang mendiami Taman Nasional Bukit Dua Belas, Jambi. Metode yang diterapkannya bersifat setengah antropologis. Pengajaran membaca, menulis, dan berhitung dilakukan sambil tinggal bersama masyarakat didiknya selama beberapa bulan. Sistem ini dikombinasi dengan mempertimbangkan pola kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Setelah tersusun secara sistematis, ia mengembangkan sistem Sokola Rimba (diambil dari bahasa yang digunakan orang Rimba, salah satu dialek bahasa Melayu). Sistem Sokola Rimba kemudian diterapkan pula di berbagai tempat terpencil lainnya di Indonesia, seperti di Halmahera dan Flores.

Saur Marlina Manurung is a pioneer and alternative education activist for isolated and remote communities in Indonesia. Like other Batak girls, she is usually called “Butet” and now her name is better known as Butet Manurung. The pilot school for the first time she applied to the Orang Rimba (Kubu tribe) who inhabit Bukit Dua Belas National Park, Jambi. The method she applies is half anthropological. The teaching of reading, writing, and arithmetic is done while living with the community for several months. This system is combined by considering the pattern of daily life of the people. After being systematically structured, he developed the Sokola Rimba system (taken from the language used by the Rimba people, a dialect of Malay). The Sokola Rimba system was then implemented in various other remote places in Indonesia, such as in Halmahera and Flores.

Hizkia Yosie Polimpung adalah seorang peneliti pluridisipliner, dosen universitas, dan penulis. Menyambi sebagai konsultan strategis, intelijen bisnis, dan terkadang psikoterapis klinis. Memiliki gelar doktor dalam filsafat ilmu pengetahuan dan master dalam studi strategis dan keamanan. Berpengalaman dalam penelitian di dan untuk menara gading akademik, sektor bisnis kapitalis, biro pemerintah, think-tank militer, intelijen keamanan, klinik psikoterapi, dan proyek-proyek berbasis komunitas. Memiliki ketertarikan untuk menjelajahi dunia eksperimental dan pasca-disiplin xeno-humaniora; khususnya pada persimpangan urbanisasi berskala planet, geopolitik keuangan, ekonomi postfordist, dan neurosis sosial pada hubungan kerja kapitalis. Dengan keras kepala yakin pada gagasan bahwa jalan keluar sebenarnya dari kegelapan yang dalam yang kita hadapi saat ini adalah melalui koperasi & serikat pekerja yang dirancang secara sibernetik.

Hizkia Yosie Polimpung is a pluridisciplinary researcher, a university lecturer, and a writer. Moonlights as a strategic consultant, business intelligence and sometimes a clinical pscyhotherapist. Holds a doctorate in philosophy of science and a master in strategic and security studies. Experienced in research in and for academic ivory towers, capitalist business districts, governmental bureaus, military think-tanks, security intelligence, psychotherapeutic clinic, and community-based settings. Have a keen on venturing the experimental and post-disciplinary world of xeno-humanities; of particular interest is the intersection of planetary urbanization, financial geopolitics, postfordist economy, and societal neurosis on the capitalist labor relations. Stubbornly convinced to the idea that the true way out of the deep dark sh*t we are in right now is through the cybernetically designed cooperatives & worker union.

About the Moderator

Luthfan Nur Rochman (19 Agustus 1993) adalah seorang pembuat film yang berbasis di Jakarta. Lulusan Arkeologi, Universitas Indonesia, ini sehari-harinya juga berkegiatan di Milisifilem Collective, sembari menyalurkan hobinya dalam mengulik budaya manga Jepang.

Luthfan Nur Rochman (August 19, 1993) is a filmmaker based in Jakarta. A graduate of Archaeology, University of Indonesia, in his daily life he is a member of Milisifilem Collective while still doing his hobby in invoking Japanese manga culture.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Contact Us

We're not around right now. But you can send us an email and we'll get back to you, asap.

Not readable? Change text. captcha txt

Start typing and press Enter to search

X