In ARKIPEL 2022 - catch-22, Candrawala, Festival Stories, Festival Updates

Pada Jumat, 2 Desember 2022 pukul 19.00, program terakhir festival film ARKIPEL telah dilaksanakan. Program Candrawala adalah program unik dari ARKIPEL yang bertujuan untuk mencari film-film Indonesia yang dianggap bisa menawarkan pembacaan tentang perkembangan sinema Indonesia kini. Tahun ini, karena durasi filem-filem yang cukup panjang maka program Candrawala dibagi menjadi dua sesi, sesi pertama dilaksanakan pada Selasa, 29 November 2022.

Program ini dibuka dengan pembacaan kuratorial oleh salah satu anggota selektor dan anggota Forum Lenteng I Gde Mika. Dalam kuratorialnya, Mika menyatakan bahwa filem-filem ini dipilih karena bisa menunjukkan keterhubungan antara lanskap dan kebijakan pengarang (sutradara) untuk menggunakan medium filem dalam menyampaikan cerita yang ada dalam lanskap tersebut. 

Ada tiga filem yang yang ditayangkan pada Candrawala sesi dua: Agave Amica (Sedap Malam) (2022) dari sutradara Gembong Nusantara, Pasir yang Terbawa Arus dan Menyelinap di Sela Jemari (2022) dari sutradara Dito Yuwono, dan YK48 (2022) dari sutradara Riezky Andhika Pradana, ketiga filem tersebut semuanya diproduksi di Indonesia. 

Filem pertama yang diputar adalah YK48 yang bercerita tentang perkembangan budaya filem di kota Yogyakarta. Walau mempunyai premis yang menarik karena berfokus pada satu kota yang tidak bisa disangkal berpengaruh penting terhadap perkembangan sinema nasional, saya tidak bisa menghilangkan rasa kecewa yang mendalam ketika menonton filem ini yang sayangnya tidak terlalu memiliki perspektif yang mendalam dan kritis. Informasi-informasi yang disampaikan oleh sutradara tidak lebih dari pengetahuan umum dan glorifikasi semata, visual kolase yang ironisnya juga dipakai dalam salah satu filem favorit saya di ARKIPEL berjudul The Visitors (2022) tetap tidak mampu menutupi kekurangan perspektif yang kritis dalam filem ini. 

Dalam diskusi setelah penayangan, sutradara YK48, Riezky (atau lebih akrab disapa Kiki Pea), menjawab pertanyaan dari Hafiz Rancajale, direktur artistik ARKIPEL, dan juga pendiri Forum Lenteng, tentang mengapa filemnya tidak memiliki perspektif yang kritis. Dalam penjelasannya Kiki menyebut masalah-masalah sistematik selama proses pembuatan filem yang melibatkan berbagai kepentingan yang mempengaruhi keputusan artistik si sutradara. 

Filem kedua adalah Pasir yang Terbawa Arus dan Menyelinap di Sela Jemari, filem dimulai dengan tangkapan sebuah batu yang berubah seiring waktu dan diiringi oleh narasi sosok batu tersebut. Filem ini memiliki visual yang puitis untuk menggambarkan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan tambang melalui kesaksian para batu dan pasir itu sendiri. Namun pengalaman visual puitis yang saya rasakan cukup terganggu karena di akhir filem muncul tulisan panjang tentang kerusakan lingkungan karena tambang, sebuah hal yang menurut saya tidak diperlukan karena visual filem sudah cukup kuat dan puitik.

Agave Amica (Sedap Malam) adalah filem terakhir yang ditayangkan di program Candrawala dan juga filem terakhir yang ditayangkan di festival filem ARKIPEL tahun ini. Filem ini diawali oleh adegan-adegan yang simpel para petani bunga menyiapkan bunga sedap malam untuk dikirimkan ke suatu tempat. Namun adegan selanjutnya membuat bulu kuduk saya berdiri ketika saya sadar bahwa bunga-bunga ini akan dikirimkan ke kuburan massal korban Covid-19. Satu adegan yang tertancap di benak saya dan membuat saya menjadi emosional ketika menontonnya adalah setelah para penggali kubur dengan baju APD mereka menurunkan sebuah peti menuju tempat istirahat terakhirnya, lalu diterangi oleh penerangan seadanya ditengah kegelapan malam salah satu anggota penggali kubur berdiri di atas liang lahat setelah disemprot cairan desinfektan dan mengumandangkan azan seraya mengantar dan mendoakan sang mayat dalam perjalanannya. 

On Friday, 2 December 2022, at 19.00, the last program of the ARKIPEL film festival was held. The Candrawala program is a unique program from ARKIPEL which aims to find Indonesian films that can possibly offer us readings about the current development of Indonesian cinema. This year, due to the relatively long duration of the films, the Candrawala program was divided into two sessions, the first session being held on Tuesday, 29 November 2022.

This program was opened with a curatorial reading by one of the selector members and a member of the Lenteng Forum I Gde Mika . In his curatorial, Mika stated that these films were chosen because they can show the connection between the landscape and the author’s (director’s) wisdom to use the film medium in conveying the stories in the landscape.

There are three films shown at Candrawala season two: Agave Amica (Sedap Malam) (2022) from director Gembong Nusantara, Sand that is carried by the current and sneaks between the fingers (2022) from director Dito Yuwono, and YK48 (2022) from director Riezky Andhika Pradana, all three films were produced in Indonesia.

The first film to be screened was YK48 which tells the development of film culture in the city of Yogyakarta. Even though it has an interesting premise because it focuses on a city that cannot be denied has had an important influence on the development of national cinema, I cannot get rid of my deep disappointment when watching this film because it doesn’t have any deep or critical perspective of its subject. The information conveyed by the director is nothing more than general knowledge and glorification, and its visual collage which ironically is also used in one of my favorite films in ARKIPEL titled The Visitors (2022) still cannot hide the glaring weakness of the lack of perspectives shown in this film

In the discussion after the screening, the director of YK48, Riezky (or more familiarly called Kiki Pea), answered questions from Hafiz Rancajale, artistic director of ARKIPEL and the founder of Forum Lenteng, about why his film lacks have a critical perspective. In his explanation, Kiki mentioned the systematic problems that plagued the production process of this film involving multiple parties that unfortunately influenced the director’s artistic decisions.

The second film is Sand which is carried by the current and sneaks in between the fingers. The film begins with a shot of a stone that changes over time, accompanied by a narration of the figure of the stone. This film has poetic visuals to describe the environmental damage caused by mining activities through the testimony of the stones and sand themselves. However, the poetic visual experience that I felt was quite disturbed because at the end of the film a long wall of text appeared about environmental damage due to mining, a thing that in my opinion was unnecessary because the visuals before it already set a strong and more poetic impression for me about the problem.

Agave Amica (Sedap Malam) is the last film to be screened at the Candrawala program and also the last film to be screened at the ARKIPEL film festival this year. This film begins with simple scenes of flower growers preparing tuberose flowers to be sent somewhere. But the next scene gave me goosebumps when I realized that these flowers would be sent to the mass graves of Covid-19 victims. One scene that stuck in my mind and made me emotional when I watched it was after the gravediggers in PPE clothes lowered a coffin to its final resting place, then in the middle of the night illuminated with lamps. One of the members of the gravediggers stood over the grave after being sprayed with disinfectant liquid and echoed the call to prayer while escorting and praying for the corpse on its way.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Contact Us

We're not around right now. But you can send us an email and we'll get back to you, asap.

Not readable? Change text. captcha txt

Start typing and press Enter to search

X