In Event Coverage, Pameran Keliling Kultursinema 2019: "Buku Bergambar Kultursinema"
Bahasa Indonesia

pameran keliling kultursinema

Ide Kultursinema merupakan pembacaan atas arsip-arsip filem untuk melacak peta perkembangan sinema di Indonesia. Bentuk presentasinya yang selalu dalam rangkaian instalasi merupakan eksperimentasi bentuk sinema.

Setelah lima kali berjalan setiap tahunnya sejak 2014 hingga 2018 sebagai bagian dari ARKIPEL-Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival, Kultursinema mencoba untuk berpameran keliling mengingat masa-masa awal pemutaran filem di Indonesia bukanlah diadakan di bioskop, melainkan dengan melakukan pemutaran filem keliling menggunakan layar tancap. Ide pameran keliling ini juga ingin berbagi pengetahuan dan pengalaman sinema di kota-kota lain selain Jakarta.

Kultursinema dalam bentuk pameran keliling ini diadakan pertama kali di Bandung, di sebuah galeri bernama Orbital Dago. Pameran ini diadakan pada 7-11 Maret 2019, pukul 10.00-19.00 WIB. Selain pameran, Pameran Keliling Kultursinema juga mengadakan program Forum Kultursinema. Forum ini merupakan ruang berdiskusi dalam membicarakan arsip filem, khususnya di Bandung.

Pada 7 Maret 2019 telah diadakan Forum Kultursinema dengan tema “Ruang-Ruang Menonton dan Arsip Filem”. Pembicara yang ada di panel ini adalah Yustinus Kristianto (Film Programmer, Bahasinema), Damar Bagaskoro (Kurator, Ganesha Film Festival), Fausto Axel (Kepala Bidang, Bioskop Kampus Liga Film Mahasiswa ITB), serta Carda Arifin dan Yopie Nugraha (Sunday Screen).

Selanjutnya, pada 9 Maret 2019, telah diadakan Forum Kultursinema panel kedua dengan tema “Penulisan Sejarah dan Arsip Filem” di Orbital Dago pada pukul 16.00 dengan pembicara Mahardika Yudha (Kurator, Kultursinema), Gorivana Ageza (Penulis dan Pemrogram, Bahasinema), dan Tanti Restiasih Skober, S.S., M.Hum. (Peneliti dan Dosen Sejarah, UNPAD).

Kemudian, pada 11 Maret 2019 pukul 16.00, Pameran Keliling Kultursinema ditutup dengan panel ketiga Forum Kultursinema yang berjudul “Reproduksi dan Representasi Arsip Filem”. Pembicara dalam panel ini adalah Yusuf Ismail (seniman), Afrian Purnama (Kurator, Kultursinema), dan Taufiqurrahman (Seniman dan Desainer Grafis, Milisifilem).

English

kultursinema traveling exhibition

The idea of Kultursinema is an effort of interpreting film archives to track the development of cinema in Indonesia. Kultursinema presents its archives in a series of installation which is also a form of cinematic experimentation.

After five series, from 2014 to 2018 as part of the ARKIPEL-Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival, Kultursinema trying to run a traveling exhibition. Since the early days of film screenings in Indonesia were not held in theaters, but were held in the open air, the idea of this travelling exhibition is also to share knowledge and experience of cinema in cities other than Jakarta.

Kultursinema travelling exhibition started for the first time in Bandung, in Orbital Dago gallery, from 7-11 March 2019, 10:00-19.00 WIB. In addition to the exhibition, the Pameran Keliling Kultursinema (Kultursinema Traveling Exhibition) also held the Forum Kultursinema program. This forum is a space for discussion on film and archives, especially in Bandung.

On March 7, 2019, a Forum Kultursinema was held with the theme “Film Screening and Film Archives”. The speakers in this panel are Yustinus Kristianto (Film Programmer, Bahasinema), Damar Bagaskoro (Curator, Ganesha Film Festival), Fausto Axel (Head of Division, Cinema Film League Campus Student of ITB), and Carda Arifin and Yopie Nugraha (Sunday Screen).

Furthermore, on March 9, 2019, the second panel of Forum Kultursinema held with the theme “History Writing and Film Archives” at Orbital Dago at 4:00 pm with speakers Mahardika Yudha (Curator, Kultursinema), Gorivana Ageza (Writer and Programmer, Bahasinema), and Tanti Restiasih Skober, S.S., M.Hum. (Researcher and History Lecturer, UNPAD).

Then, on March 11, 2019, at 4:00 p.m., the Pameran Keliling Kultursinema closed with the third panel of the Forum Kultursinema entitled “Reproduction and Representation of Film Archives”. Speakers in this panel are Yusuf Ismail (artist), Afrian Purnama (Curator, Kultursinema), and Taufiqurrahman (Graphic Artist and Designer, Milisifilem).

CURATORIAL ESSAY

Buku Bergambar Kultursinema

Kultursinema merupakan salah satu program ARKIPEL – Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival yang berlangsung sejak tahun 2014, yang mencoba membaca dan meletakkan berbagai pondasi tentang kehadiran eksperimentasi dalam berbagai bentuk produksi, penyebarluasan, dan sejarah sosial pada perkembangan sinema di Indonesia. Rentang 2014-2018, Kultursinema telah menyelenggarakan lima pameran arsip kultur sinema di Indonesia yang diselenggarakan di tiga lokasi berbeda, bekas gedung laboratorium filem Produksi Film Negara (2014), Gudang Sarinah Ekosistem (2016-2017), dan Galeri Cipta III-Taman Ismail Marzuki (2015 & 2018). Kelima pameran ini diselenggarakan sebagai upaya untuk mengumpulkan, mendata, membaca, dan memaknai kembali perkembangan kultur sinema di Indonesia yang telah berjalan lebih dari satu abad. Dari pameran pertama hingga kelima, pameran ini menghadirkan beragam wacana yang coba dibaca secara kronologis, sesuai dengan poros tema festival. Diawali dengan pembacaan bagaimana pola-pola teknologi sinema disebarluaskan ke seluruh dunia di akhir abad ke-20; masuk, berkembang, hingga menjadi salah satu bagian kehidupan masyarakat Indonesia; dan kemudian sinema dipakai sebagai pernyataan politik global di masa 60-an. Dari 1896 hingga 1965, arsip-arsip perjalanan sinema di Indonesia dihadirkan kembali untuk melengkapi catatan-catatan kultur sinema yang telah dituliskan sebelumnya, beserta beberapa reproduksi, representasi, dan dekonstruksi wacana sinema yang pernah terjadi di dalam perkembangan sinema di Indonesia yang kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai medium, mulai dari karya video, instalasi, teks, bebunyian, digital imaging hingga objek.

Proses penerjemahan atau usaha untuk memberikan konteks terhadap arsip-arsip tersebut ke dalam berbagai medium juga menjadi salah satu tujuan dari pameran ini untuk mencoba mempresentasikan perjalanan kultur sinema di Indonesia dengan menerjemahkannya ke dalam gagasan ‘sinema yang diperluas’; bagaimana menghadirkan dan atau mengkonstruksi gagasan sinema tidak hanya dalam bentuk presentasi konvensionalnya, tetapi melihat kemungkinan lain, terutama dalam menanggapi perkembangan teknologi media digital yang telah membentuk kultur menonton yang berbeda dengan masa sebelumnya. Kemungkinan lain itu, antara lain; seperti mencoba membayangkan sebuah ruang pameran sebagai bentuk fisik dari sinema yang tidak hanya memberikan pengalaman menonton, tetapi juga mengalami sinema.

Lalu, setelah pameran berlangsung sebanyak lima kali, kami merasa perlu untuk berhenti sejenak dan melihat kembali dengan apa yang telah dilakukan pameran Kultursinema selama lima tahun ini. Setidaknya, ada empat hal yang kami coba lihat; pertama adalah tentang perkembangan wacana kultur sinema di Indonesia yang terbaca dari arsip-arsip yang telah kami kumpulkan dan presentasikan pada lima kali pameran sebelumnya. Kedua, mencoba membaca kembali catatan-catatan kami dalam usaha mengumpulkan, mendata, membaca, dan memberikan konteks kepada arsip-arsip sinema tersebut, serta bagaimana pengalaman kami ketika berhubungan dengan lembaga-lembaga arsip, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Ketiga, tentang bagaimana proses penerjemahan dan eksekusi artistik pameran terhadap wacana kultur sinema tersebut. Hal ini berkaitan dengan usaha mengevaluasi bagaimana peristiwa proses pra-saat-pasca pameran, menjadi semacam peristiwa untuk menguji bagaimana usaha dalam memberikan konteks arsip-arsip tersebut diterima, diserap, diterjemahkan, dan atau bahkan ditanggapi oleh pengunjung pameran. Keempat, ketika memulai pembacaan dari kelima pameran sebelumnya, kami tertarik untuk mencoba melihat bagaimana tegangan antara arsip yang telah kami presentasikan dan terjemahkan ke dalam pameran tersebut, dengan arsip [dokumentasi] yang kemudian dihasilkan oleh pameran Kultursinema itu sendiri. Dalam usaha memberikan konteks pada arsip-arsip sinema yang akan dipamerkan, arsip-arsip tersebut telah mengalami pemaknaan ulang sesuai konteks zaman—baik gagasan maupun materialnya. Lalu bagaimana seandainya jika arsip yang telah mengalami pergeseran, perubahan, dan pengurangan-pendalaman makna itu kemudian dilihat dari reproduksi arsipnya—melalui dokumentasi pameran Kultursinema? Apa yang kemudian terjadi? Apakah ada peluang pemaknaan baru dari tegangan atas peristiwa tersebut? Seperti kita semua tahu, bahwa kehadiran kultur digital telah membuka eksisnya sifat kesementaraan dan kultur manipulatif dalam realitas sehari-hari. Berangkat dari kelima hal itulah, kami membuat Pameran Keliling Kultursinema ini di empat kota; Bandung, Yogyakarta, Surabaya dan Semarang. Melalui pameran ini juga kami mencoba meneruskan praktik belajar kami dalam mengaktivasi arsip dan menyebarluaskan praktik penggunaan arsip sinema di Indonesia, serta mencoba tetap berpegang pada usaha kami dalam mengkonstruksi sinema dalam bentuk pameran. Selamat menonton!

Kultursinema

Kultursinema Image Book

Kultursinema is one of the programs of ARKIPEL – Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival, which has been held since 2014, which tries to read and lay the foundations of the presence of experimentation in various forms of production, dissemination and social history of the development of cinema in Indonesia. Between 2014-2018, Kultursinema has organized five exhibitions of cinema culture archive in Indonesia held in three different locations, the former State Film Production film laboratory building (2014), Gudang Sarinah Ekosistem (2016-2017), and Galeri Cipta III-Taman Ismail Marzuki (2015 & 2018). Those five exhibitions were held as an attempt to collect, record, read, and reinterpret the development of cinema culture in Indonesia existed for more than a century. From the first to fifth exhibitions, a variety of discourses are trying to be read chronologically, according to the festival’s theme axis. Starting by reading how the patterns of cinema technology were disseminated throughout the world in the late 20th century; entered, grew, and became part of the life of the Indonesian people; and then cinema was used as a global political statement in the 1960’s. From 1896 to 1965, the archives of the journey of cinema in Indonesia were presented again to complement the cultural records of cinema that had been written previously, along with some reproductions, representations, and deconstruction of the discourse of cinema that had occurred in the development of cinema in Indonesia which was later translated into various mediums, such as video works, installations, text, sounds, digital imaging and objects. 

The translation process – or attempt to provide the context for the archives – into various mediums is also one of the objectives of this exhibition to try presenting the journey of cinema culture in Indonesia by translating it into the idea of ‘expanded cinema’; how to present and or construct the idea of cinema not only in the form of conventional presentations, but to look at other possibilities, especially to respond the development of digital media technology that has shaped a different cinema culture from the previous period. Other possibilities are, among others; like trying to imagine an exhibition space as a physical form of cinema that not only provides the experience of watching films, but also experiencing the cinema.

Then, after the fifth exhibition, we consider the need to repose and look back at what Kultursinema exhibition had done for the past five years. At least, there are four things we try to see; first is about the development of the cinema culture discourse in Indonesia read from the archives that we have collected and presented at the previous five exhibitions. Second, attempting to re-read our notes in an effort to collect, record, read, and provide context to the archives of cinema, as well as our experience when dealing with archival institutions, both in Indonesia and abroad. Third, about how the translation process and the exhibition artistic execution of the discourse of cinema culture. This is related to attempt to evaluate how the process of before, during and after the exhibition, becomes a moment to examine how the attempt in providing context for the archives is received, absorbed, translated, or even responded by visitors of the exhibition. Fourth, when we began the reading of the five previous exhibitions, we were interested in trying to see how the tension between the archives, we had presented and translated into the exhibition, and the archive [documentation] produced by Kultursinema exhibition itself later. In an effort to provide context for the exhibited archives of cinema, the archives have been reintepretated in the context of the times – both ideas and material. Then what if the archives that had undergone a shift, change, and reduction – deepening of meaning were seen from the reproduction of the archives – through the documentation of Kultursinema exhibition? What happened then? Is there a chance for a new meaning of the tensions at that moment? As we all know, the presence of digital culture has opened up the existence of transience nature and manipulative culture in everyday reality. Departing from these five things, we made this Kultursinema Traveling Exhibition in four cities; Bandung, Yogyakarta, Surabaya and Semarang. Through this exhibition we also try to continue our learning practices in activating the archive and disseminating the practice of using cinema archives in Indonesia, and trying to stick to our efforts in constructing cinema in the form of exhibitions. Enjoy watching!

 

Kultursinema

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Contact Us

We're not around right now. But you can send us an email and we'll get back to you, asap.

Not readable? Change text. captcha txt

Start typing and press Enter to search

X