In ARKIPEL 2017 - Penal Colony, Festival Updates, Film Screening Reviews, Special Screening
Bahasa Indonesia

Presentasi 5 Filem dari Proyek 5 Pulau 5 Desa, Goethe-Institut

Kamis, 24 Agustus 2017, program penayangan khusus diselenggarakan di GoetheHaus, Jakarta pada pukul 19:00. Program pemutaran filem kali ini menghadirkan filem-filem yang dihasilkan dari proyek yang digagas oleh Goethe-Institut bersama HFBK, Hamburg, bernama 5 Islands, 5 Villages. Proyek 5 Islands, 5 Villages ini merupakan proyek pertukaran yang ditujukan bagi para pembuat filem dari generasi muda di Jerman dan Indonesia. Proyek tersebut dikonsepkan sebagai wadah pendekatan filem dokumenter yang mencoba menyoroti secara intensif perbedaan realitas yang muncul di dalam sisi kehidupan di lima desa atau pulau berbeda secara terpencar, selama kurang lebih 3 minggu. Dengan penempatan secara geografis yang cukup menantang, para pembuat filem dokumenter ini ditantang untuk dapat merefleksikan topik seputar periferi, jarak dan waktu yang dihasilkan dari setiap perjalanan mereka selama 3 minggu.

Dalam rangka ARKIPEL Penal Colony – 5th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival, 2017, kelima filem garapan para sutradara Indonesia yang mendatangi lokasi di Jerman untuk membuat filem, akan diputar untuk pertama kalinya di publik. Kelima sutradara tersebut adalah Andrianus “Oetjoe” Merdhi (Sumte, negara bagian Niedersachen), Wahyu Utami Wati (Pellworm, negara bagian Schleswig-Holstein), Bani Nasution (Leidingen, negara bagian Saarland),  Tunggul Banjaransari (Welzon, negara bagian Brandenburg) dan Rahung Nasution (Wildpoldsried, negara bagian Bayern). Kelima sutradara tersebut juga dihadirkan dalam sesi pemutaran filem kali ini untuk membuka ruang diskusi dengan para pengunjungnya.

Wahyu Utami Wati.

Filem pertama adalah Maja’s Boat (2017) karya Wahyu Utami Wati. Filem berdurasi 15 menit ini menyoroti keseharian dua orang nelayan, Nico dan Stefen, di pulau Pellworm, Schleswig-Holstein, Jerman. Dengan penyuntingan hamparan laut dan alat penangkap ikan ke dalam bidikan-bidikan yang berkesinambungan, filem ini memunculkan hubungan intensif antara penonton dan filem itu sendiri sehingga seakan-akan saya sendiri merasakan sensasi seolah-olah sedang berada di dalam kapal tersebut.

Rahung Nasution.

Filem kedua adalah Bavarian Fragments (2017) karya Rahung Nasution. Filem dokumenter ini mengobservasi kehidupan sebagian masyarakat di Bavaria. Tampak bahwa nilai kebersamaan yang masih dipegang utuh oleh masyarakat Bavaria lewat konstruksi filem yang menyoroti gambar keseharian mereka yang masih gemar kumpul-kumpul sambil menikmati bir.

Tunggul Banjaransari.

Filem ketiga adalah Hantu Mekanis (2017) karya Tunggul Banjaransari. Filem ini merekam sebuah desa kecil di Jerman bagian timur yang dikepung perusahaan-perusahaan swasta. Populasi penduduk yang sedikit menjadi tantangan bagi masyarakatnya untuk tetap menjaga sikap agar tidak memicu adanya perpecahaan yang timbul atas ambisis besar atas pemberontakan. Keruhnya masalah yang memperburuk suasana membuat pergaulan mereka tampak lebih semu. Namun, pada filem ini, sang sutradara mencoba menyoroti sisi kebahagian mereka atas kebersamaan yang mereka miliki sehingga memberikan gambaran kebahagiaan lain yang terjadi pada diri mereka masing-masing di masa depan.

Adrianus Oetjoe.

Filem keempat adalah Der Grenzgang (2017) karya Adrianus Oetjoe. Filem ini menceritakan sebuah kompleks perkantoran di Sumte yang terbengkalai kemudian menjadi tempat tinggal sementara oleh para 700 pengungsi dari Timur Tengah. Sang kepala desa yang juga pemilik komplek perkantoran ini mulai memunculkan keresahan bagi nasib masa depan desanya yang hanya dengan seratus penduduk terdominasi oleh pengungsi asal Timur Tengah.

Bani Nasution.

Filem kelima adalah Neutrale Strasse (2017) karya Bani Nasution. Sebuah wilayah berbukit¸ Leidingen, yang mempunyai sejarah sebagai zona perang. Aktivitas di desa Leidingen cukup sepi dengan gambaran bangunanya yang tertutup. Kegiatan di desa ini hanya tampak ramai saat pemilihan umum presiden Prancis dan pesta perkawinan pasangan Jerman.

Dr. Heinrich Blömeke, Direktur Regional Goethe-Institut untuk Asia Tenggara, Australia, dan New Zealand

Dari kelima filem dokumenter yang diputar, pengunjung disuguhkan perspektif segar melalui refleksi-refleksi realitas yang berbeda dari sisi kehidupan warga-warga pedesaan di Jerman.  Setelah kelima filem diputar, masing-masing sutradara dan Heinrich Blömeke selaku Direktur dari Goethe-Institut Indonesien, dihadirkan di atas panggung untuk memulai sesi diskusi dengan para penonton. Manshur Zikri selaku moderator memimpin acara tanya-jawab tersebut.

Beberapa pengunjung melontarkan pertanyaan mengenai proses pendekatan yang para  sutradara lakukan dalam melakukan penyuntingan filem. Kemudian sutradara juga berbagi cerita tentang beberapa cara yang mereka lakukan dalam melancarkan pendekatan dengan warga lokalnya. Ada yang memperbanyak senyum (Wahyu Utami) sampai ada yang sering-sering mabuk di bar lokal (Tunggul) untuk mendekatkan diri dengan masyarakat lokal.

Kemudian, sebuah pertanyaan juga dilontarkan oleh salah seorang penonton, mengenai pendekatan puitis yang dilakukan oleh filem Maja’s Boat yang digarap oleh Wahyu Utami Wati. Wahyu Utami Wati menanggapi bahwa filem-filem selanjutnya yang tengah ia garap akan tetap memiliki unsur-unsur puitis tersebut.

Sesi diskusi berlangsung dengan singkat karena keterbatasan waktu. Pukul 09:00, akhirnya acara pun diakhiri. Tepuk tangan 123 pengunjung yang menghadiri sesi pemutaran filem malam itu memeriahkan penghujung acara pada hari itu. Tampak di luar auditorium, pengujung masih melanjutkan diskusi secara informal bersama para sutradara. ***

English

Presentation of 5 Films from the Project of 5 Island 5 Villages

Thursday, August 24th, 2017, a special screening was held in GoetheHaus, Jakarta, on 19:00. This program presents films produced by a project designed by Goethe-Institute in collaboration with HFBK, Hamburg, called 5 Islands, 5 Villages. The 5 Islands, 5 Villages project was an exchange program for young filmmakers in Germany and Indonesia. The project was conceptualized to educate about documentary film-making in order to intensively highlight the difference of reality existing in the lives of five different villages or islands for at least three weeks. The geographically strategic location was very chalenging for the filmmakers. In the three weeks they spent,the filmmakers felt they were challenged to reflect the topic surrounding periphery, distance, and time.

As a part of ARKIPEL Penal Colony – 5th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival, 2017, the five films produced by Indonesian filmmakers visiting Germany will be screened for the first time in public. Those five are Andrianus “Oetjoe” Merdhi (Sumte, Niedersachen), Wahyu Utami Wati (Pellworm, Schleswig-Holstein), Bani Nasution (Leidingen, Saarland),  Tunggul Banjaransari (Welzon, Brandenburg) and Rahung Nasution (Wildpoldsried, Bayern). The five filmmakers were also present during the screening session to open the public discussion.

Wahyu Utami Wati.

The first film was Maja’s Boat (2017) by Wahyu Utami Wati. The 15-minutes short film tells a story of two fishermen, Nico and Stefen, in the island of Pellworm, Schleswig-Holstein, Germany. With a montage of vast sea and fishing equipment edited into a continous sequence, the film presents an intensive relations between the audience and the film itself so I feel as if experiencing the sensation of standing on that boat.

Rahung Nasution.

The second film Bavarian Fragments (2017) by Rahung Nasution. The documentary film observes the life of some people in Bavaria. It seems that the value of communality still stands tall within the society. Bavaria was presented with a film construction that highlights their everyday life of enjoying beer together in a gathering.

Tunggul Banjaransari.

The third film, Hantu Mekanis (2017) by Tunggul Banjaransari. The film records a small village in eastern Germany which was surrounded by private companies. Due to their small population, the villagers must ‘walk the line’ in order to prevent social rupture caused by ambition. The chaotic situation causes their social relationship to appear more vague. However, in this film, the director tries to highlight their happiness for the togetherness they share in order to built another image of happiness within themselves in the future.

Adrianus Oetjoe.

The fourth film is Der Grenzgang (2017) by Adrianus Oetjoe. The film tells a story about an abandoned office block in Sumte which then became a temporary living space for 700 refugees from Middle-East. The head of the village which is also the owner of the office block began to show his anxiety for the future of his village. He was afraid that the 100 villagers he led will be dominated by the Middle-Eastern refugees.

Bani Nasution.

The fifth film was Neutrale Strasse (2017) by Bani Nasution. The hilly terrain of Leidingen has a history as a war zone. the village of Leidingen is quite desolate in activities with many of its buildings were closed down. This village can only look crowded during the election of France president and a marriage party of German couple.

Dr. Heinrich Blömeke, the Regional Director of Goethe-Institut of Southeast Asia, Australia and New Zealand.

From the five documentary films screened, the audience were presented by a fresh perspective through the reflection of different reality in the lives of German suburbian. After all of the movie were screened, each of the filmmakers and Heinrich Blömeke, as the directer of Goethe-Institut Indonesien, were presented on stage to start a discussion session with the audience. Manshur Zikri as the moderator led the Q&A session.

Some audience gave their question about the approach that directors made in editing the film. Then, the filmmakers also shared their story about how they approach the local community. Some uses smile (Wahyu Utami) while some goes so far as to get drunk in a local bar (Tunggul) in order to get closer with local communities.

Another question was also asked by an audience regarding the poetic approach of Maja’s Boat by Wahyu Utami Wati. She responded by saying that her next films will also include the poetic elements.

The Q&A session was quite short due to the limitation of time. On 21:00, the event was finally ended. The clapping of 123 audiences in that screening session that enliven the night. Outside the auditorium, some of the filmmakers were seen having informal discussion with the audience. ***

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Contact Us

We're not around right now. But you can send us an email and we'll get back to you, asap.

Not readable? Change text. captcha txt

Start typing and press Enter to search

X