In ARKIPEL 2021 - Twilight Zone, Event Coverage, Festival Program, Festival Stories, Festival Updates, Film Screening Reviews, Special Screening
Bahasa Indonesia

Bahasa Sinema Vertikal

Pada tahun 1930, pembuat filem asal Soviet, Sergei Eisenstein, menulis sebuah esai yang mengeluhkan standardisasi layar bioskop (widescreen) sebagai format tunggal dalam kegiatan presentasi sebuah filem. Layar widescreen, bagi Eisenstein, hanya sekadar tiruan pucat dari lukisan-lukisan abad ke-19 yang kebanyakan berwujud horizontal. Eisenstein lalu mempertanyakan sebuah tawaran bagaimana sinema juga seharusnya dapat menghadirkan upaya eksperimen dan moda presentasi yang baru, dengan, misalnya, mengadopsi kecenderungan bentuk layar yang vertikal sebagaimana hanging scroll dari budaya Jepang atau tangkapan-tangkapan fotografi Edgar Degas pada akhir abad ke-19.

Eisenstein pernah coba mengimplementasikan dalam Battleship Potemkin (1925), di mana ia menangkap gambar sebuah tangga dengan bidikan vertikal. Tetapi seperti yang dikeluhkannya, presentasi filem masih terikat dengan layar lebar yang menubuh sebagai format tunggal sehingga bidikan vertikal yang ditangkap Eisenstein terpaksa harus “dirusak” untuk diproyeksikan ke dalam layar widescreen. Pada akhirnya, dominasi ini pun membawa kata ‘sinematik’ melekat bagai sinonim dengan lanskap panorama yang serba horizontal.

91 tahun setelah esai yang ditulis Eisenstein, kita diuntungkan dengan kemunculan media baru, dan gawai smartphone untuk mengakomodasi perkembangannya mengantarkan kita pada kemungkinan-kemungkinan yang baru: di mana lazim hukumnya membawa-bawa layar video vertikal untuk merekam kegiatan di Instagram Stories, melakukan panggilan video, atau berdansa-dansa di TikTok — dengan kata lain: format vertikal sudah menjadi bagian dari keseharian kita!

Tak pelak, filmmaking vertikal turut pula menjamur sebagai dampak dari perkembangan teknologi dan penggunaan smartphone. Meski, sayangnya, sinema vertikal masih mendapatkan keterbatasan berupa hambatan kelayakan pemutaran di ruang putar komersial yang masih memakai format layar lebar sehingga filem vertikal yang tegak hanya dapat ditampilkan sebanyak 30% saja dari proyeksi layar lebar tersebut. Maka muncullah statement bahwa: habitat alami filem vertikal adalah smartphone!

Menarik melihat ARKIPEL kemudian mewadahi filem-filem vertikal secara daring dari Milisifilem Collective yang dihelat mulai kemarin (12/12/2021) dalam program Special Screening 02. Filem-filem tersebut adalah Hantu Banyu (2021) karya Theo Nugraha, Just Remind (2020) karya Ahmad Humaidi, 24M2 (2020) karya Valencia Winata, dan Rotasi (2021) karya Taufiqurrahman Kifu. Saya yang baru saja pulang ke Indonesia dan menjalani karantina pun dapat dengan leluasa menyaksikan filem-filem ini dalam “habitat” aslinya. Situasi menonton filem vertikal sungguh asing bagi saya, tetapi juga unik. Ada momen di mana berkali-kali saya merotasikan layar gawai saya mengikuti ke mana filem vertikal berjudul Rotasi memutarbalikkan tampilannya. Ada juga momen ketika realitas sinematik dalam filem 24M2 yang bereksperimentasi dengan ruang virtual smartphone menabrak pikiran saya yang tanpa sadar turut memencet layar gawai saya ketika tampilan media sosial Instagram muncul.

Pengalaman yang asing juga terjadi ketika saya menyaksikan Just Remind yang mendokumentasikan upaya penanganan dan pencegahan Covid-19. Filem ditangkap tak hanya melalui kamera smartphone, tetapi juga melibatkan sebuah screen recorder. Pilihan ini efektif memontasekan situasi sosial yang sedang direkam dengan kerja telepon genggam lewat hiruk-pikuk komunikasi si perekam pada aplikasi-aplikasi yang sedang berjalan. Sementara pada tingkatan yang lebih mencangkok imajinasi sang penonton, filem Hantu Banyu mengumpulkan kolase cerita anonim dari warga sekitar sungai mengenai mitos Hantu Banyu dalam format layar tegak yang atmosferik.

Jika filem adalah sebuah bahasa, maka keempat filem vertikal tersebut mempunyai bahasa, diksi, dan gramatika yang tidak terikat pada cara bertutur filem tradisional pada umumnya. Ada komposisi dan logika bingkai-ruang yang relatif berbeda dengan apa yang lazimnya digunakan film berformat widescreen. Selaku penonton, kehadiran sinema vertikal adalah sebuah kebaruan yang perlu untuk meninjau kembali kerja-kerja layar dalam membentuk imajinasi peristiwa.

Program Special Screening 02 ini masih berlangsung dan dapat diakses di website Festival ARKIPEL sampai 18 Desember 2021.

 

Terjemahan Bahasa Inggris oleh Innas Tsuroiya

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Contact Us

We're not around right now. But you can send us an email and we'll get back to you, asap.

Not readable? Change text. captcha txt

Start typing and press Enter to search

X