In ARKIPEL 2021 - Twilight Zone, Event Coverage, Festival Program, Festival Stories, Festival Updates, Kultursinema Exhibition, Public Discussion
Bahasa Indonesia

Mencari "Indonesia" dalam Harimau Tjampa

Program Kultursinema tahun ini menghadirkan filem Harimau Tjampa (1953) sebagai objek penelitian. Seperti biasa, dari tiap tahun penyelenggaraannya sejak 2014, Kultursinema mencoba memposisikan kembali bagaimana publik melihat sinema Indonesia. Pada tahun sebelumnya, Kultursinema dihelat dalam format pameran yang menyediakan arsip-arsip dan data mengenai bahasan filem Indonesia pada pameran itu. Di tahun ini, Kultursinema menerbitkan hasil risetnya dalam bentuk buku mengingat masih terjadinya pandemi. Buku ini ditulis oleh Afrian Purnama, Dini Adanurani, I Gde Mika, Luthfan Nur Rochman, Prashasti W Putri, Volta Ahamad Jonneva, dan Wahyu Budiman Dasta. Peluncuran buku ini dihelat secara daring pada 15 Desember 2021.

Peluncuran buku Harimau Tjampa dihadiri oleh I Gde Mika dan Dini Adanurani sebagai penulis dan periset, serta Seno Gumira Ajidarma sebagai pembahas. Diskusi dibuka oleh Mahardika Yudha, salah satu kurator Kultursinema, yang membahas awal latar belakang pengerjaan buku ini. Setelah itu, I Gde Mika menjelaskan mengapa filem Harimau Tjampa (1953) dipilih sebagai bahasan program tahun ini. Ia mengatakan bahwa Kultursinema ingin mencoba mencari tandingan atas gagasan filem nasional terhadap Darah dan Doa (1950) milik Usmar Ismail. I Gde Mika menilai bahwa wacana nasionalisme yang ditawarkan oleh Usmar Ismail dalam Darah dan Doa (1950) cenderung bersifat militeristik; pengangkatan senjata dan tentara. Hubungan antara hal yang bersifat nasionalisme dan militeristik ini, dinilai I Gde Mika menjadi alasan atas warisan wacana nasionalisme dalam sinema sampai ke era Orde Baru. Dalam catatan kuratorialnya, Kultursinema menjelaskan bahwa Harimau Tjampa (1953) mendefinisikan “filem Indonesia” sebagai filem yang memanfaatkan budaya yang ada di Indonesia, kemudian menerjemahkannya dalam medium filem. Usaha penerjemahan budaya inilah yang diapresiasi oleh tim riset Kultursinema sebagai alasan kuratorial Harimau Tjampa (1953).

Selanjutnya, I Gde Mika juga menyebutkan bagaimana aspek Minangkabau saat itu bisa menjadi hal unik, melihat bagaimana filem di masa itu cenderung menggunakan perspektif Jakarta dan pulau Jawa sebagai pandangan filemnya. Setelah itu, Dini Adanurani mencoba untuk bertanya kepada Seno Gumira Ajidarma mengenai responnya terhadap buku Harimau Tjampa. Seno Gumira Ajidarma ternyata sudah memiliki niat untuk menyusun buku mengenai nasionalisme dalam filem. Di bukunya nanti, ia ingin menelaah bagaimana wacana soal nasionalisme berkembang di filem, khususnya filem Indonesia. Peluncuran buku ini kembali mengingatkan padanya akan esai mengenai Harimau Tjampa (1953) yang ia tulis beberapa dekade lalu. Dibandingkan dengan esai yang pernah ia tulis, ia merasa bahwa tulisan esai di buku ini progresnya lebih jauh berkembang. Ia berkomentar bagaimana tulisan Volta Ahmad Jonneva mengkaitkan filem Harimau Tjampa dengan kultur Minangkabau, bagaimana tulisan Dini Adanurani masuk pada peta ruang konflik, tentang relasi kuasa karakter perempuan, dan lain-lain. Seno Gumira Ajidarma mengkatan bahwa esai yang ia tulis beberapa dekade lalu lebih mengutamakan pada keilmuan filmmaking ketimbang film studies.

Diskusi buku Harimau Tjampa ini tidak fokus dalam melihat konten atau isi filem. Namun, fokusnya bertitik pada wacana yang ada di dalamnya: mengenai ketertarikan Djajakusuma sebagai sutradara terhadap budaya wayang, konteks politik, berkesenian, dan sosial budaya pada saat itu. Muncul juga pembahasan tentang bagaimana mengangkat tradisi ke dalam sinema di masa kini melalui bahasa yang tepat, di mana Seno mengatakan bahwa bahasa lahir dari kebutuhan yang ada.  Seno memberi contoh Asrul Sani ketika dalam proses pembuatan skenario Maling Kundang (1971). Saat itu, Asrul Sani mendapatkan kritik mengenai skenario tersebut lantaran skenario tersebut tidak sesuai dengan kisah asli Malin Kundang. Di skenario, Asrul tidak membuat adegan kutukan ibu kepada Malin. Ia merasa bahwa ibu yang baik tidak akan mengutuk anaknya. Hal ini menunjukan bagaimana pembahasaan kontemporer mengenai cerita tradisi bisa dilakukan dalam sinema.

Seno Gumira Ajidarma menilai tulisan esai di buku ini sudah cukup komprehensif dalam menjelaskan nilai, wacana, dan ruh dalam filem Harimau Tjampa (1953). Satu hal yang menurutnya kurang adalah analisis sosiologis tentang kaum intelektual di tahun ‘50-an, sehingga Harimau Tjampa dapat lebih jauh ditempatkan di konteks pemikiran zaman tersebut. Kendati begitu, Seno Gumira Ajidarma cukup salut akan buku ini.

Buku Harimau Tjampa sendiri bukan buku yang menggunakan teori kerangka berpikir akademis. Buku ini dibentuk layaknya kumpulan esai dari pelbagai perspektif dari penulis. Kendati begitu, buku ini cukup penting untuk memahami ulang tentang cara masyarakat melihat tentang sejarah sinema dan sebagai sarana distribusi pengetahuan bagi khalayak luas.

Buku Harimau Tjampa dapat dipesan dengan mengisi formulir ini.

Rekaman diskusi dapat disaksikan di akun YouTube Jurnal Footage.

 

Terjemahan Bahasa Inggris oleh Agatha Danastri Pertiwi

English

To Seek “Indonesia” Through Harimau Tjampa

This year’s Kultursinema program presented the film Harimau Tjampa (1953) as the object of research. As usual, every year since 2014, Kultursinema has been trying to reposition how the public sees Indonesian cinema. In the previous year, Kultursinema was held in an exhibition format that provided archives and data regarding the discussion of Indonesian films at the exhibition. This year, Kultursinema published the results of its research in the form of a book considering that the pandemic is still happening. This book was written by Afrian Purnama, Dini Adanurani, I Gde Mika, Luthfan Nur Rochman, Prashasti W Putri, Volta Ahamad Jonneva, and Wahyu Budiman Dasta. It was launched online on December 15, 2021.

The launching of Harimau Tjampa was attended by I Gde Mika and Dini Adanurani as writers and researchers and Seno Gumira Ajidarma as the reviewer. The discussion was opened by Mahardika Yudha, one of the curators of Kultursinema, who discussed the background of the work on this book. Afterwards, I Gde Mika explained why the film Harimau Tjampa (1953) was chosen as the subject of this year’s program. He said that Kultursinema wanted to find a counter to the national film construct against Usmar Ismail’s Darah dan Doa (1950). I Gde Mika considered that the nationalism discourse offered by Usmar Ismail in Darah dan Doa tends to be militaristic; arms and soldiers. The relationship between nationalism and militarismꟷconsidered by I Gde Mikaꟷwas the reason for the national discourse legacy in cinema until the New Order era. In his curatorial notes, Kultursinema explained that Harimau Tjampa (1953) defined “Indonesian film” as a film that utilizes the existing culture in Indonesia, then translates it into the film medium. This cultural translation effort was appreciated by the Kultursinema research team as the curatorial reason for Harimau Tjampa (1953).

Furthermore, I Gde Mika also mentioned how the Minangkabau aspect at that time could be unique, seeing how films at that time tended to use the perspectives of Jakarta and the island of Java as their film’s point of view. After that, Dini Adanurani tried to ask Seno Gumira Ajidarma about his response about the Harimau Tjampa book. Apparently, Seno Gumira Ajidarma already has the intention to compile a book about nationalism in films. In this book, he wants to examine how the discourse on nationalism develops in films, especially Indonesian films. The launch of this book reminded him again of the essay on Harimau Tjampa (1953) that he wrote decades ago. Compared to the essays he has written, he feels that the essay writing in this book has progressed further. He commented on how Volta Ahmad Jonneva’s writings related the film to Minangkabau culture, how Dini Adanurani’s writings entered the map of conflict spaces, about the power relations of women’s characters, and so on. Seno Gumira Ajidarma said that the essays he wrote several decades ago prioritized filmmaking rather than film studies.

The discussion of Harimau Tjampa does not focus on viewing the film content. However, the focus is on the discourse in it: about Djajakusuma’s interest as a director in wayang culture, the political, artistic, and socio-cultural contexts at the time. There was also a discussion about how to bring tradition into today’s cinema through the right language, in which Seno said that language was born from existing needs. Seno gave the example of Asrul Sani when he was in the process of making the scenario of Malin Kundang (1971). At that time, Asrul Sani received criticism about how the scenario did not match the original story of Malin Kundang. In the scenario, Asrul did not make a scene of his mother’s curse on Malin. He felt that a good mother would not curse her child. This shows how contemporary discussions of traditional stories can be carried out in cinema.

Seno Gumira Ajidarma assesses that the essays in this book are comprehensive enough in explaining values, discourses, and the spirit of Harimau Tjampa (1953). There is one thing that he thinks is lacking: a sociological analysis of intellectuals in the 1950s, so that Harimau Tjampa can be further placed in the context of the thought of that era. Even so, Seno Gumira Ajidarma took his hat off to this book.

The book of Harimau Tjampa itself does not use a theoretical framework of academic thinking. This book is formed like a collection of essays from various perspectives from the author. Nevertheless, this book is important enough to re-understand the way society views the history of cinema and as a means of distributing knowledge to a wide audience. 

Order a copy of Harimau Tjampa by filling this form.

The recording of this discussion can be watched in Jurnal Footage’s YouTube account.

 

 

English translation by Agatha Danastri Pertiwi

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Contact Us

We're not around right now. But you can send us an email and we'll get back to you, asap.

Not readable? Change text. captcha txt

Start typing and press Enter to search

X