In ARKIPEL 2021 - Twilight Zone, Event Coverage, Festival Program, Festival Stories, Festival Updates, Film Screening Reviews, International Competition
Bahasa Indonesia

Melihat Lanskap Berubah dan Membingkainya

Mungkin lanskap juga tentang bagaimana ia berubah, bagaimana kita melihatnya bergerak setiap saat dan menyadari perubahan itu sendiri. Berada di titik di mana kita berdiri, duduk, tengkurap atau bergelantungan, bagaimanapun itu, kita tetap berada atau menjadi bagian darinya. Bagaimana kita melihat ‘lanskap’, ya mungkin saja melalui cara kita membingkainya, dengan mata atau kamera.

Pada tanggal 5 Desember 2021, ARKIPEL menayangkan berbagai kurasi filem, salah satunya Candrawala. Ada empat filem, di antaranya; Katarsis Yang Tak Kunjung Selesai (2020), Di Pinggir Kali Citarum (2019), Anak Merak (2020), dan  Diary of Cattle (2019). Filem ini adalah kurasi Dhuha Ramadhani dan Dini Adanurani.  

Katarsis Yang Tak Kunjung Selesai, sebuah filem yang disutradarai oleh Riski Rianda. Pengalaman menonton yang seru, di mana saya si penonton menyaksikan lanskap dengan bingkaian dan fokus saya sendiri. Durasi satu shot cukup untuk melihat kedetilan. Menggerakkan bola mata ke sudut-sudut layar, memperhatikan satu objek, kadang juga seperti berada dalam lanskap itu. Lalu, di beberapa bagian saya “keluar” dari dalam lanskap itu. Mendengar jelas suara knalpot motor, orang berjalan, dan suara hujan di tempat saya menonton, (Rumah Tamera – Solok Creative Hub) suara-suara yang lebih keras dari filem ini.

Filem selanjutnya adalah Di Pinggir Kali Citarum, Ali Satri Efendi. Seorang petani, pembuat batu bata, sekaligus penyedia jasa penyebrangan motor dan orang yang melintasi kali. Ia menjadi pemandu kita melihat aktivitas di sekitar Kali Citarum. 

Filem ini merekam perubahan yang terjadi pada sebuah lanskap. Jika pepatah Minang mengatakan “sakali aia gadang, sakali tapian barubah” (Sekali air besar, sekali tepian berubah). Artinya, sesuatu yang besar di luar diri kita turut mempengaruhi kita, seperti pandemi. Atau sesuatu yang intens juga perlahan memberikan perubahan.  Ya, tapi bisa jadi tepian berubah dan air akan melebar.  Seperti filem ini yang menggiring kita bagaimana memaknai  ulang bencana alam.

Film ke-3 adalah Anak Merak, Saleksa Srengenge. Bagaimana kamera hadir di sekitar kita. Merekam seorang anak sekolah bersiap-siap pergi ke sekolah, kemudian merekam aktivitasnya. Sepulang sekolah mereka berkenalan dengan  kamera dengan cara ‘memainkan’ kamera itu sendiri. Para pembuat filem mengajak anak-anak sekolah untuk menceritakan pengalamannya soal filem, lalu mereka menjawabnya dengan cepat, malu-malu, dan ada yang diam. Lalu, mereka ditawari untuk mengarang cerita untuk satu filem. Selanjutnya, filem Anak Merak digiring oleh para anak sekolah, mereka memegang kamera, menjadi aktor, dan lainnya. Ini mengingatkan saya pada filem Jagal (The Act of Killing) karya Joshua Oppenheimer. Menampilkan adegan sedang membuat filem di dalam filem. 

Diary of Cattle, Lidia Afrilita dan David Darmadi, merupakan film keempat dalam kuratorial ini. Merekam aktivitas di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Kota Padang. Sebelumnya, saya cukup akrab dengan lokasi ini, seorang kawan juga menjadikannya sebagai materi skripsinya. Juga TPA yang berada dekat dari markas Gubuak Kopi, komunitas tempat saya beraktivitas. Di TPA tersebut, para sapi-sapi mencari makan dan bermain. Sepanjang film ini kita dikenalkan dengan ekosistem ‘daur ulang’ atau siklus yang berulang tak berhenti.

Filem ini dapat ditonton di website Festival ARKIPEL hingga 11 Desember 2021.

 

Terjemahan Bahasa Inggris oleh Gladyza Vanska

English

To Witness a Changing Landscape and Frame It

To talk about landscape is probably to see how it changes, to see it move all the time and to be aware of the change itself. However we stand, sit, lie on our stomach or hang, we would still be in or be part of the landscape. The way we see “landscape” is probably just how we frame it with our eyes or the camera.

On December 5th, 2021, ARKIPEL presented a number of film curations, one of which was the Candrawala program, in which four films were showed: Katarsis Yang Tak Kunjung Selesai (literal translation: The Never-Ending Catharsis) (2020), Di Pinggir Kali Citarum (literal translation: At the Edge of the Citarum River) (2019), Anak Merak (literal translation: Children of Merak) (2020), and Diary of Cattle (2019). These films are the curatorial work of Dhuha Ramadhani and Dini Adanurani.

Katarsis Yang Tak Kunjung Selesai (literal translation: The Never-Ending Catharsis) is a film directed by Riski Rianda. It was a fascinating viewing experience in which I, as the audience, witnessed the landscape with my own frame and focus. One shot was just enough to see the details. I moved my eyeballs to the corners of the screen, observed just one object, sometimes I even felt like being in the landscape shown on the screen. Then in some parts, I was thrown out of it, hearing clearly the noises of muffler, people walking, and rainfall from where I watched the film (Rumah Tamera – Solok Creative Hub), noises louder than the film.

The next film was Di Pinggir Kali Citarum (literal translation: At the Edge of the Citarum River), by Ali Satri Efendi. He was a farmer, a brickmaker, who also provides the service of getting motorbikes and people across the river. He was our guide to see the activities around the Citarum river.

This film captured how landscape changes. In the tradition of Minang people, there is a saying, “Sakali aia gadang, sakali tapian barubah” (literal translation: Once the water got big, the riverbanks change). It means, something bigger than ourselves has an effect on us, such as the pandemic. Or something intense slowly gives way to change. But it can also mean the riverbankschange and the water overflowsas a result, like this film, which led us to new interpretations of disasters.

The third film was Anak Merak (literal translation: Children of Merak), by Saleksa Srengenge. It showed the presence of cameras around us. It captured a child getting ready for school, then captured their activities. At school, the kids got to know the camera by playing with it. The filmmaker asked them to share their experience with films, some answered quickly, some were shy, and the rest were quiet. The children were offered a chance to make up stories for a film. Afterwards, the film itself was led by the school kids, they held the camera, they acted and so forth. This reminded me of the film Jagal (official English title: The Act of Killing) by Joshua Oppenheimer, with scenes of a film made within a film.

Diary of Cattle, by Lidia Afrilita and David Darmadi, was the fourth film in this curatorial. It captured the activities in a landfill in the city of Padang. I have been quite familiar with this site before, since a friend studied it in their thesis. This landfill is close to the Gubuak Kopi base, a community where I am active in. In said landfill, the cattle came out to eat or play. During the film, we were introduced to the “recycling” ecosystem or a cycle with never-ending loops.

These films are currently available to watch on the Festival ARKIPEL website until December 11th, 2021.

 

English translation by Gladyza Vanska

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Contact Us

We're not around right now. But you can send us an email and we'll get back to you, asap.

Not readable? Change text. captcha txt

Start typing and press Enter to search

X